Loading...
INDONESIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:03 WIB | Rabu, 27 Juni 2018

Politik Identitas Ramai di Pilgub Sumut, Isu Korupsi Terabaikan

Ilustrasi. Berbeda dengan pilgub sebelumnya, kali ini ramai isu tentang pentingnya putra daerah untuk memimpin Sumut. (Foto: bbc.com)

MEDAN, SATUHARAPAN.COM – Menjelang proses pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah serentak 2018, ada warna tersendiri dalam pilgub Sumatera Utara.

Mulai dari jumlah pemilih tambahan yang mendadak membengkak, 'pocong' gentayangan mengkampanyekan antigolput, spanduk larangan pilih pemimpin kafir, serta imbauan memilih putra daerah, yang bertebaran di Kota Medan pada masa tenang.

Pertarungan politik di Sumatera Utara memang tak bisa lepas dari rasa kedaerahan. Faktor putra daerah, dianggap masih cukup penting oleh sebagian besar masyarakat Sumut. Ishak Nasution, warga Medan, salah satunya.

"Karena kalau di Medan ini, di Sumatera Utara ini, putra daerah masih diangkat-angkat. Istilahnya masih disanjung-sanjunglah," kata warga Medan Ishak Nasution. Senin (25/6).

Diakui Ishak, pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah digadang-gadang sebagai putra daerah, yang mengacu setidaknya pernah tinggal dan besar di Sumut, meski tak lahir di provinsi itu.

Sementara lawannya, Djarot Saiful Hidayat dianggapnya sebagai "pendatang".

Ketua Tim Pemenangan Relawan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, Ahwan Asmadi, mengungkapkan, isu putra daerah menjadi salah satu strategi pemenangan pasangan tersebut.

"Masyarakat Sumatera Utara kan tidak bodoh. Apakah harus dikirim dari luar sana sementara di Sumatera Utara sendiri banyak orang hebat. Ini menjadi salah satu strategi kita," katanya.

"Karena kita sudah pengalaman kita pernah dipimpin orang dari luar sana, setelah duitnya banyak dibawa ke sana, akhirnya perekonomian Sumatera Utara menjadi tersendat," kata Ahwan.

Namun, Betty Simarmata, warga Kisaran, Kabupaten Asahan, berpendapat lain.

Pengalaman Djarot, dalam mengelola pemerintahan saat menjadi kepala daerah di Blitar dan DKI Jakarta, justru menjadi daya tarik untuk memilih pasangan nomor urut dua itu. "Jadi di Jakarta sudah berhasil katanya," kata Betty.

Ditemui di kediamannya di pusat kota Medan, Djarot mengatakan isu putra daerah dalam pemilihan kepala daerah tak lagi relevan. Semestinya, seorang calon kepala daerah dinilai dari program yang ditawarkan, rekam jejak, integritas, kemampuan dan kompetensi.

"Terkait dengan isu putra daerah, saya ini kan warga negara Indonesia, yang bisa untuk mengabdikan diri saya, di mana pun saya ditugaskan, sepanjang itu di wilayah kesatuan Republik Indonesia dan sepanjang itu tidak menabrak ketentuan yang berlaku. Jadi saya pikir isu putra daerah itu tak lagi relevan," katanya.

Isu putra daerah ini tergolong baru di Sumut, kata pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara, Henri Sitorus.

Ketika Gatot Pujo Nugroho yang berasal dari Jawa Tengah, mencalonkan diri sebagai gubernur Sumut, pada pada pilkada 2013, isu putra daerah ini tak jadi soal.

Dalam kontestasi pilgub kali ini, Edy yang kelahiran Aceh berduet dengan Musa yang lahir di Medan dan beragama Islam. Adapun Djarot berdarah Jawa dan seorang Muslim, sedangkan pasangannya, Sihar Sitorus adalah pengusaha berdarah Batak yang lahir di Jakarta.

"Isu putra daerah digunakan sebagai propaganda dan dikawinkan dengan politik identitas, oleh salah satu paslon, dan ini tidak baik demi kepentingan nasionalisme," kata dia.

Bagi Henri, pemilihan Djarot sebagai calon gubernur oleh PDI-P, karena Sumatera Utara merupakan barometer keberagaman Indonesia.

Sumut, dipandang sebagai daerah yang berhasil merawat keberagaman dan percampuran budaya karena selain Islam dan Kristen yang menjadi agama mayoritas, terdapat juga pemeluk agama Khatolik, Buddha, dan Hindu.

Pada pilkada 2013 lalu, Gatot yang beretnis Jawa memenangkan suara di Sumut. Meski akhirnya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena korupsi, terpilihnya Gatot merupakan bukti bahwa masyarakat Sumut dapat menerima figur dari luar etnis Batak.

Maka dari itu, Henri mengatakan sekarang sudah bukan zaman etnosentrisme.

"Karena persoalannya adalah ketika kita berkomitmen bahwa ini adalah NKRI, semua warga negara berhak memilih dan dipilih, bangkit dong dari etnosentrisme seperti itu," kata dia.

"Apa jaminan kalau putra daerah tidak korupsi? Apa jaminan kalau putra daerah bisa memajukan visi yang bagus mengawal proses pembangunan? Di situ tantangannya,” katanya.

Bias Pilgub Jakarta

Djarot berdarah Jawa dan seorang Muslim berpasangan dengan Sihar Sitorus, pengusaha berdarah Batak yang lahir di Jakarta.

Isu agama yang menjadi komoditas politik dalam Pilgub DKI Jakarta tahun lalu, juga terjadi di Sumut.

Apalagi, Djarot sempat mendampingi gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai calon wakil gubernur. Ahok gagal menjabat kembali sebagai gubernur lantaran terseret kasus penistaaan agama.

Bias kasus Ahok, menurut Henri, berdampak pada Pilkada Sumut. Ketegangan sempat muncul ketika ada imbauan untuk tidak memilih pasangan calon gubernur yang tidak seiman.

Bahkan, ketika memasuki masa tenang jelang pencoblosan pilkada, spanduk larangan memilih pemimpin kafir bertebaran di beberapa jalan protokol kota Medan.

Ini pula yang kemudian menjadikan Sumut sebagai salah satu daerah rawan saat Pilkada, menurut Kemendagri dan Kepolisian Republik Indonesia.

Kemendagri memasukkan Sumut ke dalam daftar daerah rawan saat Pilkada, karena memiliki dua pasangan calon gubernur-wakil gubernur, di mana fanatisme pendukungnya menjadi tinggi. Kepolisian Republik Indonesia juga menjadikan Sumut sebagai satu dari lima daerah rawan, karena 'merupakan salah satu daerah paling padat penduduk' di Indonesia. Provinsi ini ditinggali hampir 14 juta jiwa, sementara jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 9 juta jiwa.

Meski demikian, Henri menuturkan percikan-percikan dari isu SARA ini tidak menimbulkan konflik horizontal, seperti yang terjadi dalam Pilgub Jakarta tahun lalu.

"Memang itu rentan, tapi sejauh ini konflik seperti itu bisa diredam karena masyarakat Sumut cukup rasional," kata dia.

Hal ini diakui oleh salah satu warga Tionghoa di Tanjung Balai, Ang Tek Hui. Pengurus Vihara Huat Cu Keng yang sempat dirusak dan dibakar massa pada Juli 2016 ini mengaku "tak ambil pusing" dengan pilkada di daerahnya, namun dia berharap pemimpin baru nanti dapat menghadirkan pemerintahan yang bersih.

Partisipasi pemilih di Sumatera Utara memang terbilang rendah.

Pada pilgub 2013 lalu, partisipasi pemilih hanya mencapai 48 persen, artinya mayoritas penduduk Sumut yang berjumlah sekitar 10,2 juta orang ini memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya alias golput.

Bahkan, dalam Pilkada kota Medan tahun 2015 lalu, jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 1,47 juta, atau 74,44 persen dari daftar pemilih.

Ini pula yang menjadi perhatian calon gubernur Edy Rahmayadi. Bahkan, Mantan Pangkostrad ini menegaskan tak masalah jika para pemilih tersebut memilih lawan politiknya. Yang terpenting ialah warga datang ke tempat pemilihan suara dan memilih.

Momentum Bebas Korupsi?

Ang Tek Hui, warga Tionghoa di Tanjung Balai, berharap siapa pun gubernur yang akan memimpin Sumatera Utara dapat menjadi pemimpin yang bersih.

Pengamat politik dari USU, Henri Sitorus, menganggap pilkada kali ini sebagai ujian bagi Sumatera Utara, karena beberapa kali, kepala daerah sebelumnya terjebak pada isu korupsi.

"Jadi sangat momentum sebetulnya proses ini," katanya.

Praktik korupsi di Provinsi Sumatera Utara, memang sangat mengkhawatirkan. Bahkan, saking banyaknya praktik korupsi di Sumatera Utara, salah satu provinsi terbesar di Indonesia ini bahkan berkali-kali menempati posisi teratas sebagai provinsi terkorup di Indonesia.

Dua mantan gubernur sebelumnya, Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho, terjerat kasus korupsi. Syamsul Arifin yang memimpin Sumut pada sejak terpaksa berhenti dari jabatannya sebagai gubernur pada 2010 lantaran terbukti korupsi saat menjabat sebagai Bupati Langkat pada periode 1999-2004 dan 2004-2008.

Penggantinya, Gatot Pujo Nugroho, dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara karena terbukti memberikan gratifikasi terhadap 38 anggota DPRD Sumut pada periode 2009-2014 dan 2014-2019. Dia memimpin Sumut pada periode 2010-2014.

Sementara, pengganti Gatot, Tengku Erry Nuradi, masih diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus korupsi massal tersebut.

Calon wakil gubernur Sumut Musa Rajekshah alias Ijeck Shah yang mendampingi Edy Rahmayadi, sempat diperiksa KPK atas keterlibatannya dalam kasus tersebut.

"Mau tak mau ini menjadi perhatian masyarakat," kata Henri.

Maka dari itu, soal pemberantasan korupsi dan pemerintahan yang transparan, kata Henri, menjadi isu prioritas dari masing-masing pasangan calon.

Dalam debat kandidat Pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2018 tahap pertama dengan mengusung tema "Tata Kelola Pemerintah Bersih, Bebas Korupsi" - yang digelar oleh KPU Sumut pada Sabtu (5/5/2018) lalu, pasangan Djarot-Sihar mempertanyakan soal tata kelola anggaran tanpa korupsi kepada Eddy-Musa.

Edy menjawab, untuk mencegah korupsi pada pelaksanaan APBD Sumut, ia akan melibatkan penegakan hukum untuk melakukan pengawasan keseluruhan pelaksanaan APBD Sumut tersebut.

Meski salah satu calon diduga terlibat kasus korupsi, hal ini tak mempengaruhi preferensi pemilih, kata Henri. Buktinya, berdasar survei, masih banyak pemilih yang memilih pasangan Edy dan Ijeck.

"Paslon yang tersangkut pemeriksaan KPK, itu masih mendapat preferensi besar, Artinya, itu menandakan bahwa pemilih Sumatera Utara belum menjadi pemilih yang rasional," kata dia.

Lalu, mengapa pasangan ini bisa meraup suara meski tersangkut kasus korupsi? Menurut Henri, itu tak lepas dari isu agama juga berperan dalam pilkada kali ini.

"Yang kami amati, beberapa kampanye tema itu dijual, menjadi salah satu cara mengambil suara."

Namun, elektabilitas kedua pasang calon berdasarkan hasil survei cukup bersaing. Tak semua survei menyatakan pasangan Edy-Musa menang, ada juga yang menyebut Djarot-Sihar sebagai pemenang. Sehari menjelang proses pemungutan suara, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemui sejumlah kejanggalan dalam Pilkada Sumut.

Bawaslu mendapat laporan daftar pemilih tetap di lembaga pemasyarakatan Kabupaten Simalungun yang awalnya hanya 100 orang tiba-tiba bertambah menjadi 600 orang pemilih.

Bawaslu meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera melakukan rapat pleno menetapkan daftar pemilih tetap yang baru guna mengantisipasi pemilih yang telah terdaftar namun tidak mendapatkan surat suara di tempat pemungutan suara (TPS).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan jumlah pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Sumatera Utara (Sumut) 2018, sebanyak 9.015.387 pemilih. Dari jumlah pemilih yang ditetapkan itu, sebanyak 4.485.290 jiwa di antaranya merupakan pemilih laki-laki. Sedangkan pemilih perempuan berjumlah 4.566.097 jiwa. Para pemilih itu tersebar pada 6.110 desa/kelurahan pada 444 kecamatan se-Sumut. (bbc.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home