Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 08:50 WIB | Senin, 21 Oktober 2013

Polri: Melindungi Yang Kuat atau Yang Lemah?

Komjen Polisi Sutarman, calon tunggal Kapolri. (Foto: dok.satuharapn.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM  –  Komisaris Jenderal Polisi Sutarman secara resmi dan aklamasi terpilih menjadi Kapolri baru menggantikan Jenderal Polisi, Timur Pradopo. Komisi III DPR RI yang melakukan uji kepatutan dan kelayakan menyatakan menyetujui Sutarman untuk menjadi Kapolri.

Proses di uji kepatutan dan kelayakan itui meman tidak mencerminkan bahwa Sutarman cukup menyakinkan untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar di jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pernyataan awal sebagai pengantar di uji tersebut sangat normatif dan terlalu banyak puja puji.

Bahkan mengenai data statistik prestasi Polri dalam pemberantasan korupsi banyak dipertanyakan berbagai kalangan. Hal ini memang menjadi ironi, karena (mantan) petinggi Polri  ada yang tengah menghadapi masalah hukum berkaitan dengan korupsi. Belum lagi masalah “rekening gendut” petinggi Polri yang direspons setengah hati.

Apa yang diungkapkan tidak banyak menyentuh masalah yang paling mendasar  yang dihadapi Polri sebagai garda paling depan dalam mengatasi kriminalitas. Masalah yang paling utama adalah posisi jajaran Polri yang sering tidak pas ketika menghadapi kriminal. Polri sering tidak berada bersama rakyat ketika menghadapi kriminal, sehingga gagal menghadirkan kekuasaan negara melalui tegaknya hukum  sebagai amanat dasar negara ini.

Faktanya rakyat banyak yang dengan sinis berkomentar tentang cara polisi mengatasi kriminal. Karena pelakunya anak pejabat, dia bisa bebas, karena pelakunya orang terkenal, prosesnya lambat. Namun ketika menyangkut rakyat kecil hukum diperlakukan sedemikian tegas, bahkan cenderung berlebihan.

Pengalaman sehari-hari rakyat, di Jakarta misalnya, kemacetan menjadi masalah yang serius, namun sering dalam situasi seperti itu polisi tidak hadir. Di sisi lain, operasi untuk mengecek kelengkapan surat-surat kendaraan terus dilakukan. Namun hal ini tidak banyak mengatasi masalah, karena eksekusi penyelesaiannya tidak didasarkan pada hukum apalagi keadilan. “Bayar di tempat” merupakan cerita yang umum di masyarakat.

Belum lagi, masalah-masalah yang terkait dengan kasus bentrokan dengan TNI. Penyelesaian atas kasus ini sering hanya sebatas pada bentrokannya. Akar masalahnya nyaris terabaikan. Laporan dari daerah banyak yang menyebutkan bahwa sengketa, terutama tanah, antara rakyat dan masyarakat adat dengan pihak perusahaan, banyak polisi yang tidak berdiri di atas hukum.

Jauh dari Rakyat

Situasi ini kemudian mengarah pada berkembangnya sikan enggan dari rakyat untuk melaporkan kasus kepada Polisi. Bukan hanya karena “kehilangan kambing menjadi kehilangan sapi,” juga responsnya yang sering tidak memadai.  Hal ini  merupakan indikasi yang tidak bisa diabaikan oleh institusi ini.

Polisi yang jauh dari rakyat adalah malapetaka bagi negara.  Sebab, kehadiran polisi bagi negara adalah bagaimana alat Negara ini melindungi mereka yang paling lemah. Dan yang kita saksikan justru Polisi sering menjadi momok bagi yang lemah dan pelindung bagi yang kuat.

Risiko awal dari situasi ini, dan sudah di depan mata kita, adalah kejahatan terorganisasi yang makin kuat.  Kelompok kriminal yang kuat akan semakin tidak terjangkau, karena mereka semakin kuat dan semakin aman oleh penegak hukum yang tidak berdiri di atas hukum dan keadilan.

Kegagalan Polisi melindungi warga yang paling lemah adalah pesan yang kuat bagi dunia kriminal untuk tumbuh dengan subur.  Sebab, perlindungan terhadap yang lemah berarti hukum dijalankan dengan dasar keadilan dan berpihak pada korban, tanpa embel-embel yang lain. Sebaliknya ketika penegak hukum “lembek” terhadap yang kuat, maka hukum dijalankan atas dasar berbagai kepentingan yang justru melecehkan hukum.

Ketika hukum dijalankan dengan kecenderungan memihak yang kuat, maka amanat kepada Polri untuk menghadirkan kekuasaan negara hukum  tengah runtuh. Apalagi situasi serupa ditopang oleh institusi dan oknum penegak hukum yang lain.

Melindungi Yang Paling Lemah

Sayangnya, dalam uji kepatutan dan kelayakan  yang dilakukan oleh Komisi III, masalah ini tidak memperoleh porsi yang memadai dan dibashas secara mendalam.  Sebab, selama Polri tidak bisa menunjukkan secara konsisten melindungi yang lemah, maka Polri justru bisa menjadi momok bagi rakyat. Gejalan ini semakin nyata.

Komjen Polisi Sutarman telah disetujui untuk menjadi Kapolri. Dia menyatakan jabatan baru itu bukan anugerah , tetapi amanah, bahkan cobaan. Mantan ajudan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) ini mengaku meneladani kejujuran Gusdur. Dan tampaknya dia juga luput meneladani bahwa Gus Dur juga pembela yang lemah.

Seorang tokoh dunia, Nelson Mandela mengatakan bahwa sebuah negara tidak diukur atas cara memperlakukan warga  kelas atas, tetapi bagaimana melindungi warga yang paling lemah. Dalam bidang hukum dan keadilan, hal ini adalah ukuran keberhasilan bagi polisi.

Jadi, masalahnya sekarang, apakah Kapolri yang baru ini mampu  mengubah Polri sekarang yang jauh dari rakyat dan terus mendapat komentar sinis tentang melindungi yang kuat, menjadi Polri yang dekat dengan rakyat dan konsisten melindungi yang lemah agar hukum ditegakkan dengan keadilan. Sikap Gus Dur (yang dia teladani)  ini didasarkan pada konsisteninya untuk menjadikan Indonesia negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home