Loading...
FOTO
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 09:45 WIB | Rabu, 06 November 2019

“Post A Picture” 51 Perupa Muda

“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Karya lukisan dalam pameran perupa muda bertajuk "Post A Picture": Jari Berbunga – mix media di atas kanvas – 90 cm x 110 cm – Djafar - 2019. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Mimpi Sebelum Tidur– cat akrilik di atas kanvas –70 cm x 70 cm (3 panel) – I Made Dabi Arnasa – 2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
My Self Control, Control My Self, Over Control – arang, pensil, cat air di atas kanvas – 130 cm x 100 cm – Chandra Rosselinni – 2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Elang Jawa – kayu jati, sensor gerak, motor – 70 cm x 70 cm x 70 cm – Dedy Shofianto – 2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Disket Old Game Series – floppy disk di atas kayu – 94 cm x 81 cm (2 panel) – Asep Prasetyo – 2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
You Want Me Bagaimana – kain perca – variabel dimensi – Lifyatin Ainiyah – 2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Slowly Paralized – cat akrilik di atas kaca – 20 cm x 20 cm (15 panel) – Novella Hafidzoh – 2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Generasi Terpilah – porselain - 10 mm x 5 mm (10 panel) – Feroz Alvansyah Ramsi Siregar – 2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Orang-orang Sekitar Dusun Brongkol – cat akrilik/cat minyak/jamur kayu di atas kanvas – 135 cm x 145 cm – Teguh Sariyanto -2019.
“Post A Picture” 51 Perupa Muda
Burning Desire (paling kanan) – cukil kayu di atas kertas – 130 cm x 100 cm - Fauzi Rijal – 2019.

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seniman-perupa muda Asep Prasetyo menyusun 180 floppy disc ukuran 3 ½” menyerupai dua karakter yang ada dalam permainan/game Pac-Man. Ketika perkembangan teknologi komputer masih sederhana dan hanya digunakan untuk keperluan pengetikan serta alat bantu komputasi sederhana, tampilan dalam layar monitor, memory penyimpanan, serta teknologi pun masih cukup sederhana.

Hingga pertengahan tahun 1990-an menjelang akhir 1990-an resolusi sebuah personal computer (pc) yang beredar di masyarakat menggunakan Video Graphics Array (VGA) dalam ukuran pixel 640 x 480 dengan kedalaman warna 8-bit setara dengan 256 warna dan berangsur-angsur meningkat menjadi SVGA degan kedalaman 65.536 warna (16-bit). Jangan membandingkan dengan teknologi LCD monitor hari ini yang sudah ditanamkan pada telepon genggam hari ini yang sudah mencapai 24-bit dengan kedalaman warna sebanyak 16 juta. Game Pac-Man dengan tampilan yang sangat sederhana untuk ukuran hari ini, pada masanya menjadi game yang digandrungi banyak kalangan. Game lain dalam tampilan sejenis bisa ditemukan pada Tetris, Super Mario Bross.

Pada ke-180 floppy disc itulah Asep Prasetyo mencoba merekonstruksi tampilan layar monitor sebuah personal computer ke dalam karyanya berjudul Disket Old Game Series. Bisa jadi tidak terpikirkan oleh Asep bahwa sekeping flopy disc tersebut pada masanya adalah nyawa bagi jutaan mahasiswa serta pekerja kantoran dalam menyimpan data dan hasil kerjanya saat itu.

Di dalam ke-180 floppy disc tersebut tersimpan data sebesar 260 MB mengingat kapasitas dari satu floppy disc mencapai 1,44 MB. Dalam kapasitas tersebut cukup banyak menyimpan data teks, angka, ataupun karakter sehingga bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kerja saat itu yang lebih banyak untuk pengetikan data angka-huruf. Untuk keperluan image? Teknologi saat itu masih berkutat pada teknologi analog sehingga potret gambar/foto pun masih mengandalkan pada kamera analog dengan film selluloid-nya.

Dalam konteks visual, karya Asep Prasetyo menjadi menarik ketika seni rupa tidak bisa dilepaskan dari segala hal yang berkaitan dengan citraan visual. Asep seolah membawa realitas teknologi informasi purba yang bisa jadi pun tidak terpikirkan oleh generasi muda saat ini. Hanya dengan sekeping flash disk seukuran korek api, data setara dengan 14 kali karya Asep Prasetyo bisa dimasukkan ke dalam saku celana. Realitas tersebut implikasinya bisa beragam yang bisa membawa konsekuensi pembacaan seniman-perupa hari ini dalam ranah yang semakin berwarna atas realitas yang terus terjadi.

Disket Old Game Series seolah menjadi kritik Asep pada realitas apakah perkembangan seni rupa hari ini linear dengan perkembangan teknologi informasi dalam memandang perkembangan masyarakatnya? Jawabannya tentu beragam tergantung dari sudut pandang mana melihatnya.

Karya Disket Old Game Series menjadi salah satu karya di antara lima puluh satu karya seniman-perupa muda yang dipresentasikan dalam Pameran Perupa Muda #4 di Bale Banjar Sangkring. Pameran yang mengangkat tajuk “Post A Picture” dibuka oleh vokalis grup musik Shaggydog Heruwa, Senin (4/11) malam.

Ada banyak tawaran dari seniman-perupa muda dalam “Post A Picture” mulai dari eksperimen-eksplorasi medium-teknik hingga masuk ke ranah isu sosial-politik dan lingkungan yang sedang berkembang. Kekuatan eksplorasi tersebut semakin mencairkan batasan dalam disiplin seni rupa.

Kekuatan tangan (craftmanship) dalam sebuah karya yang dipresentasikan oleh Dedy Shofianto dalam karya Elang Jawa, Generasi Terpilah (Feroz Alvansyah Ramsi Siregar), Beautiful Wound (Kholif Mundzir Aldry), You Want Me Bagaimana (Lifyatin Ainiyah), Nir (Dyah Retno Fitriani), Breathe (Gumelar Wahyu Aji), ataupun Bias (Miftahul Khoir), menjadikan batasan karya patung dan karya kriya makin melebur.

Karya panel ataupun obyek yang tidak lagi tunggal menjadi pilihan banyak seniman-perupa muda. Karya panel memberikan keleluasaan pada seniman untuk mengeksplorasi ide dalam beragam medium tanpa dipusingkan dengan kebutuhan visual.

Sebutlah Novella Hafidzoh yang mengeksplorasi medium cat akrilik di atas kaca pada karya berjudul Slowly Paralized memberikan keleluasaan untuk mengimajinasikan sebuah dramatika paralized (pelumpuhan), kondisi medis dimana seseorang kehilangan kontrol otot-otak dan gerak-perasaan melambat. Pada medium kaca yang cenderung glossy, Novella memberikan aksen doft. Hal sama dilakukan oleh Enggar Rhomadioni dalam karya panel berjudul Organic Vivisection yang membedah obyek kelinci dalam medium cat akrilik, decoprint, dan cat semprot di atas kanvas.

Eksplorasi tema yang menarik ditawarkan I Made Dabi Arnasa pada tiga lukisan panel realis-surealis berjudul Mimpi Sebelum Tidur. Hingga saat ini Dabi kerap mengeksplorasi paradoks, misteri, realitas kehidupan manusia, kesunyian diantara keramaian dalam karya-karya sunyi-nya. Menarik ketika Dabi yang biasa menggunakan warna soft-pastel, pada Mimpi Sebelum Tidur warna coklat tua mendominasi karyanya.

Pada goresan arang dan pensil di atas kanvas berjudul My Self Control, Control My Self, Over Control, Chandra Rosselinni menarasikan dirinya dalam goresan sederhana namun kuat secara konsep. Problem kontrol terhadap diri sendiri dalam dunia terhubung hari ini semakin menggejala di dunia maya maupun dunia nyata. Kurangnya pemahaman literasi digital kerap memerangkap manusia dalam jebakan post truth sehingga kesulitan mengontrol dirinya dalam membedakan antara kebenaran dan realita. Gambaran kontestasi pilkada, pileg-pilpres yang dipenuhi dengan keriuhan, perselisihan, ujaran kebencian, caci maki, menempatkan manusia dalam titik nadir relasi antar sesama. Dan yang pertama kali menjadi korban adalah dirinya sendiri.

Karya kuat kerap hadir dari kondisi keseharian yang ada di sekitarnya. Bisa jadi dalam karya berjudul Orang-orang Sekitar Dusun Brongkol, Teguh Sariyanto sedang memotret orang-orang di sekitarnya. Dengan coretan dekoratif-figuratif potret warga, dalam bawah sadar Teguh sesungguhnya sedang memotret kondisi sosial masyarakat melalui ekspresi wajah warganya. Sebuah ekspresi yang cenderung jujur.

Potret sosial juga dilakukan oleh Fika Khoirunnisa dalam karya berjudul Hijab, a Battleground dalam medium campuran di atas kanvas. Fenomena hijab/cadar/niqab hari ini dekat sekali dengan politik identitas yang sering digunakan oleh elite politik untuk mendapatkan dukungan dalam meraih kekuasaan. Di sisi lain, hijab/cadar/niqab sebagai bentuk ekspresi penggunaan produk budaya berpakaian menjadi kehilangan esensi dan maknanya ketika justru hanya menjadi komoditas politik semata. Penggunaan hijab/cadar/niqab sebagai politik identitas hanya menempatkan manusia dalam “wilayah peperangan” (battleground) yang saling berseberangan: baik-buruk, benar-salah, salah-saleh. Realitas itulah yang kerap terjadi hari ini di masyarakat Indonesia.

Dewi Keadilan terombang-ambing arus yang kuat yang merusak timbangan dan menghilangkan pedang keadilannya dituangkan Anjastama Hamidi Putra dalam karya hardboard cut  di atas kertas berjudul Dilema. Hingga hari ini penegakan hukum dan keadilan di Indonesia  masih selalu berhadapan dengan kekuatan besar uang dan mafia-mafia yang masih terus berupaya memegang kekuasaan. Menjadi kondisi yang rapuh dan dilematis ketika Dewi Keadilan hanya berdiri di atas pondasi yang kecil, tidak kokoh, dan selalu dalam hantaman arus kuat dari mereka yang hanya ingin menang untuk menyelamatkan golongan dan dirinya sendiri.

Dalam presentasi “Post A Picture” setidaknya seniman-perupa muda mulai mengembangkan sensitivitasnya membaca kondisi lingkungan sekitar terdekatnya dan tidak hanya terhenti pada visual semata namun ada tawaran nilai-nilai yang coba dituangkan dalam karyanya.

Pameran Perupa Muda #4 bertajuk “Post A Picture” akan berlangsung hingga 3 Desember 2019 di Bale Banjar Sangkring Jalan Nitiprayan No 88, Ngestiharjo, Kasihan - Bantul.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home