Prancis Batasi Jumlah Jemaat Rumah Ibadah
PARIS, SATUHARAPAN.COM - Pengadilan administrasi tertinggi di Prancis hari Minggu (29/11) memerintahkan untuk mempertimbangkan batas 30 orang untuk layanan keagamaan yang diberlakukan pemerintah untuk memperlambat perebakan virus corona.
Langkah ini mulai berlaku akhir pekan nanti ketika Prancis melonggarkan sebagian pembatasan terkait virus corona, tetapi ditentang oleh tempat-tempat ibadah dan umat, sebagai langkah yang sewenang-wenang dan tidak masuk akal.
Bahkan sebelum keputusan itu dikeluarkan pun, beberapa uskup telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan memberlakukan pembatasan dan berharap gereja-gereja menentang hal itu.
Dewan Negara telah memerintahkan Perdana Menteri Jean Castex memodifikasi langkah itu dalam tiga hari.
Sebagian gereja, masjid dan sinagog di Prancis mulai membuka pintu layanan mereka kembali akhir pekan ini, ketika Prancis secara hati-hati memulai kembali pembukaan rumah-rumah ibadah setelah pemberlakuan lockdown akibat pandemi Covid-19.
Banyak orang yang mengungkapkan kekesalan mereka di luar gereja-gereja di Paris di mana para pastur memberikan layanan pada lebih dari 30 orang.
“Orang-orang sangat menghargai pembatasan sosial, di setiap gereja dengan jarak yang cukup, jadi saya kira tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar Laurent Fremont kepada Associated Press dalam perjalanan pulang ke rumah seusai mengikuti misa.
Untuk menghadiri misa, mereka harus memesan tiket secara online dan memberikan nama. Namun protokol di gereja itu tampaknya tidak membatasi jumlah orang di dalam gereja.
Farid Kachour, sekjen sebuah kelompok yang mengelola masjid di Montermeil, suatu daerah di pinggir timur laut Paris yang dikenal dihuni oleh banyak imigran, mengatakan masjid yang dikelolanya akhirnya memutuskan untuk tidak buka.
“Kita tidak dapat memilih-milih orang” yang dapat masuk untuk berdoa. “Kita tidak ingin menciptakan ketidakpuasan di antara umat,” ujarnya.
Kachour mengatakan warga Muslim harus sholat lima kali sehari, dan hal ini semakin memperumit situasi. Untuk menghormati aturan itu, masjid membutuhkan 40 kali layanan per hari agar semua orang bisa sholat, ujarnya.
Rumah-rumah ibadah diijinkan untuk tetap memberikan pelayanan saat pemberlakuan lockdown di seluruh Prancis, yang akan berakhir Desember nanti. Tetapi ibadah sholat atau berdoa dilarang karena alasan kesehatan.
Di seluruh dunia kegiatan-kegiatan keagamaan telah dikaitkan dengan kluster virus corona, termasuk acara-acara di mana terjadi penularan dalam jumlah luas yang dikenal sebagai “superspreading events.”
Prancis telah melaporkan lebih dari 52.000 kematian terkait Covid-19, kematian tertinggi ketiga di Eropa setelah Inggris dan Italia.
Toko-toko “non-esensial” di Prancis telah dibuka kembali Sabtu lalu (28/11) tetapi bar dan restoran baru diperkenankan beroperasi kembali 20 Januari nanti.
Siapakah Abu Mohammed al-Golani, Pemimpin Pemberontak Yang S...
ALEPPO, SATUHARAPAN.COM-Selama belasan tahun terakhir, pemimpin militan Suriah, Abu Mohammed al-Gola...