Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 10:37 WIB | Sabtu, 19 September 2015

Presiden Harus Punya Terobosan Baru Terkait Kebakaran Hutan

Ilustrasi: Petugas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dibantu warga setempat berusaha mencegah agar kebakaran tidak meluas ketika terjadi kebakaran di hutan sabana Gunung Bromo, Malang, Jawa Timur. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Institut Hijau Indonesia (IHI) Chalid Muhamad menilai peristiwa kebakaran hutan dan kebun yang terus terulang setiap tahun di Indonesia.

Ia berpendapat dalam 15 tahun terakhir titik panas (hot spot) hampir tidak pernah berubah. Masih di provinsi yang sama, dan dalam konsesi atau wilayah kerja perusahaan hutan tanaman industri serta perkebunan skala besar yang sama.

"Pengulangan bencana asap yang sebagian besar disebabkan oleh korporasi seolah menghina akal sehat bangsa. Energi yang dibutuhkan untuk merepons peristiwa ini selalu besar, karena dampaknya tidak tanggung-tanggung. Kesehatan warga terdampak adalah prioritas utama disusul kerugian ekonomi yang juga terbilang besar," kata Chalid Muhammad dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, hari Sabtu (19/9).

"Belum lagi cibiran internasional lantaran negara jiran menjadi sangat terganggu oleh asap dan juga isu pelepasan karbon ke atmosfer penyebab pemanasan global," dia menambahkan.

Sementara itu, kata Chalid, pernyataan tegas Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi untuk mencabut izin perusahaan pelaku pembakaran serta menyeret mereka ke meja hijau, patut diapresiasi.

"Pencabutan izin untuk perusahan yang bermasalah dan menyeret ke meja hijau oleh Presiden kita apresiasi, biar ada efek jera terhadap mereka," kata dia.

Selain itu, kesigapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dan Kepala BNPB dalam mengerahkan sumber daya untuk tanggap darurat bencana, juga patut diapresiasi.

Namun, semua upaya itu belum cukup untuk mencegah peristiwa yang sama tidak terulang tahun mendatang. Pasalnya, pelaku yang diduga aktor pembakaran dan atau lalai mengamankan wilayah konsesinya dari kebakaran adalah perusahaan besar yang sangat terlatih menghindari penalti dari negara.

"Celah hukum sekecil apa pun bisa dipakai untuk membebaskan mereka dan sanksi pencabutan izin dan atau sanksi pidana. Pengacara ternama dan 'intelektual tukang' mudah mereka kerahkan dalam memenangkan perkara. Belum lagi dukungan politik yang sering kali mereka dapatkan bila posisi terdesak," kata dia.

Dengan demikian,  dalam situasi seperti itu diperlukan terobosan baru dari Presiden agar tahun depan tidak mengulangi kesalahan. "Presiden harus mempunyai terobosan baru dalam mengangai kasus tersebut biar kita tak lagi menjadi negara yang terus mengulangi kesalahan," kata dia.

Terobosan Asap

Chalid Muhammad mengatakan, unsur kedaruratan sudah sangat terpenuhi dalam peristiwa ini. Belasan tahun terus terulang dengan jumlah korban yang makin meningkat adalah salah satu unsur penting dari kondisi darurat itu.

"Keselamatan generasi mendatang tak bisa ditukar dengan pajak yang dibayarkan perusahaan. Karena itu penting bagi presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)," kata dia.

Chalid Muhammad menjelaskan, poin penting yang harus dimasukkan dalam Perppu tersebut, pertama, kata Chalid, pemerintah pusat diberikan otoritas untuk segera membekukan izin perusahaan yang lokasinya terbakar. Perusahaan diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak membakar dan atau tidak lalai dalam peristiwa kebakaran itu. Waktu untuk pembuktian terbalik itu paling lama 1 bulan sejak izin dibekukan, dan pembuktian itu dilakukan di depan tim yang dibentuk pemerintah. Bila perusahaan tak bisa membuktikan, maka segera dilimpahkan ke penegak hukum dan izinnya dicabut permanen untuk selanjutnya lokasi terbakar segera direstorasi (pulihkan).

Kedua, lanjut Chalid, pemerintah menyatakan dengan tegas bahwa para direksi dan pemilik perusahaan yang terbukti membakar atau lalai sehingga terjadi kebakaran masuk dalam daftar hitam industri perkebunan dan kehutanan. Mereka yang bertanggung jawab ini dibuat 'mati perdata' dalam industri berkebunan dan kehutanan. Bila hanya perusahaan yang diberi sanksi maka dalam sehari mereka dapat mengubah nama perusahaan dengan nama lain.

Ketiga, segera melakukan koreksi mendasàr atas kebijakan pengelolaan lahan gambut dan menyatakan proteksi total lahan gambut sebagaimana tertuang dalam quick win Jokowi-JK yang dibuat rumah transisi.

"Bila langkah ini dilakukan, dapat diyakini tahun depan peristiwa kebakaran hutan dan lahan akan mengalami penurunan drastis. Apalagi bila langkah tersebut disertai dengan pelibatan masyarakat secara luas untuk mencegah kebakaran di lokasi-lokasi yang setiap tahun selalu terbakar. Semoga Revolusi Mental dapat dimulai di perang melawan kebakaran hutan dan lahan," katanya.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home