Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 11:47 WIB | Senin, 17 Agustus 2015

Presiden PKS Sebut Gatot Kurang Etika Jadi Pejabat Publik

Tersangka Gatot Pujo Nugroho Gubernur Sumatera Utara (kemeja batik). (Foto: Dok.satuharapan.com/Endang Saputra)

BOGOR, SATUHARAPAN.COM – Presiden Keadilan Keadilan Sejahtera (PKS), Mohamad Sohibul Iman, menilai Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumatera Utara, tersangka kasus dugaan suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, kurang beretika menjadi pejabat publik.

"Siapa pun yang menjadi pejabat publik, saya berharap berhati-hati, karena ada koridor hukum dan etika menjadi pejabat publik," kata Sohibul Iman, saat ditemui satuharapan.com di Nusantara Polo Club (NPC) Bogor, Jawa Barat, hari Senin (17/8).

Persoalan etika menjadi pejabat publik itu, menurut Sohibul Iman, walaupun tidak diatur secara hukum, menjadi pegangan untuk pejabat publik.

"Hukum dan etika menjadi pegangan untuk para kader PKS, mudah-mudah kita bisa lebih baik untuk menjalankan menjadi pejabat publik," kata dia.

Selain itu, kata Sohibul Iman, PKS tidak memberikan bantuan hukum untuk Gatot. "Beliau (Gatot) sudah ada bantuan hukumnya," katanya.

KPK pada hari Senin, 3 Agustus, menahan Gatot dan Evi, istrinya, setelah keduanya diperiksa sebagai tersangka untuk pertama kali selama sekitar 10 jam. Gatot ditahan di rumah tahanan kelas I Cipinang sedangkan Evi di rutan kelas I Jakarta Timur di Gedung KPK Jakarta.

Gatot dan Evi disangkakan Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b dan atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp 150 juta dan paling banyak Rp 750 juta.

Selain Gatot dan Evi, KPK juga sudah menetapkan enam tersangka lain, yaitu penerima suap terdiri atas Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro (TIP), anggota majelis hakim Amir Fauzi (AF) dan Dermawan Ginting (DG), serta panitera/Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan (SY). Sedangkan tersangka pemberi suap adalah pengacara senior OC Kaligis dan anak buahnya bernama M Yagari Bhastara Guntur (MYB) alias Gerry.

Perkara itu dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi dan juga Kejaksaan Agung terkait perkara korupsi dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014.

Atas pemanggilan berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang dikeluarkan oleh Kejati Sumut, Fuad pun menyewa jasa kantor pengacara OC Kaligis untuk mengajukan gugatan ke PTUN Medan.

Dalam putusannya pada 7 Juli 2015, majelis hakim yang terdiri atas ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan anggota Amir Fauzi serta Dermawan Ginting memutuskan untuk mengabulkan gugatan Fuad.

Namun, pada 9 Juli 2015, KPK melakukan OTT di PTUN Medan terhadap Tripeni dan Gerry sehingga didapatkan uang 5.000 dolar AS di kantor Tripeni. Belakangan KPK juga menangkap dua hakim anggota bersama panitera/sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.

Selanjutnya diketahui juga uang tersebut bukan pemberian pertama, karena Gerry sudah memberikan uang 10.000 dolar AS dan 5.000 dolar Singapura.

Uang tersebut menurut pernyataan pengacara, yang juga paman Gerry, Haeruddin Massaro, berasal dari Kaligis yang diberikan ke Dermawan Ginting pada 5 Juli 2015.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home