Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 02:09 WIB | Jumat, 05 Juli 2013

Produksi Bersih Cara Mengatasi Pencemaran Limbah B3 di Sungai

Limbah B3 di Sungai Citarum (foto: dailymail.co.uk)

JAKARTA, SATU HARAPAN.COM - Indonesia memiliki setidaknya 5.590 sungai utama. Banyak dari sungai tersebut menghadapi ancaman pencemaran dan Citarum adalah contoh sungai yang berada dalam kondisi kritis. Demikian data Greenpeace Indonesia.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum dipadati kegiatan industri yang menyokong perekonomian nasional. Di sisi lain, sungai merupakan sumber mata pencaharian masyarakat tepian sungai, serta sumber air minum bagi 2 (dua) provinsi padat populasi, yakni Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Ada beberapa bahan kimia berbahaya yang dilepaskan oleh industri ke sepuluh lokasi yang tersebar dari hulu hingga hilir sungai. Kesepuluh lokasi tersebut tidak dapat mewakili seluruh badan sungai Citarum dengan luas 6.080 km2, namun investigasi ini menegaskan bahwa kita kehilangan kendali atas keberadaan bahan beracun di alam.

Menurut data Greenpeace, hasil uji sampel air menunjukkan bahwa konsentrasi dari beberapa jenis logam berat telah melampaui baku mutu badan air dan baku mutu limbah industri.

Pada beberapa lokasi, kandungan Krom heksavalen (Cr+6), tembaga (Cu), Zinc (Zn), timbal (Pb), logam raksa (Hg), Mangan (Mn) dan besi (Fe) sangat mengkhawatirkan.

Sistem kontrol polutan lewat bahan baku mutu tidak dapat melindungi masyarakat secara maksimal. Karena sifatnya yang tidak dapat diuraikan (persiten), maka logam berat dapat terus terakumulasi di jaringan tubuh makhluk hidup melalui rantai makanan (bioakumulasi).

Prioritas untuk memberhentikan atau mengeliminasi logam yang bersifat toksik dari proses produksi harus dilakukan.

Contohnya logam krom heksavalen  (Cr+6) sebuah logam yang sangat beracun bahkan dalam konsentrasi rendah.  Logam yang bersifat karsiogenik (menyebabkan kanker) ini masih digunakan oleh indsutri penyamakan kulit. Bahan Cr+6 ini terdeteksi di titik sampel Majalaya, Rancaekek, Margaasih, Batujajar, Cihaur, Jatiluhur.

Dari kejadian tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengendalian pencemaran air di Indonesia masih mengandalkan model pendekatan atur dan awas (command and control), di mana pemerintah menerapkan baku mutu dan persyaratan yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha.

Untuk memenuhi aturan baku mutu, pelaku usaha mengandalkan instalasi pengolahan akhir limbah (IPAL) atau sistem end of pipe. Terlepas dari masalah kurangnya kemampuan pemerintah dalam mendeteksi dan menindak pelanggaran, terutama buangan ilegal; terdapat masalah mendasar/intrinsik yang tidak dapat ditangani oleh sistem end of pipe.

Bagaimana mengolah materi yang sulit terurai? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dengan cara memastikan nol buangan bahan berbahaya beracun di sepanjang proses hingga akhir produksi adalah dengan memastikan tidak ada toksik persisten yang digunakan di awal produksi.

Satu-satunya cara adalah dengan program produksi bersih (Cleaner Production). Produksi bersih adalah usaha berkelanjutan pada seluruh siklus hidup produk dan proses untuk mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan.

Dampak terhadap lingkungan dapat dievaluasi sejak awal merancang produk dan proses, hingga bagaimana produk tersebut dikonsumsi.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home