Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 12:47 WIB | Selasa, 16 Agustus 2016

Refleksi Warga Negara Merdeka

SATUHARAPAN.COM – Hari-hari menjelang kita memperingati 71 tahun kemerdekaan, Istana Presiden ‘’dipermalukan’’ oleh adanya seorang menteri yang memiliki kewarganegaraan lain. Padahal itu adalah menteri baru bagian dari sembilan menteri hasil reshuffle pada 27 Juli.

Presiden Joko Widodo dengan cepat mengambil keputusan mengoreksi dengan memberhentikan yang bersangkutan, Arcandra Tahar, (dari jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral /ESDM), sehingga masalah tidak menjadi berlarut-larut.

Namun demikian, setelah 20 hari menduduki jabatan itu, keputusan apa saja yang telah diambil Arcandra? Pemerintah semestinya juga mengambil sikap tentang hal ini, agar juga tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Misalnya, semua keputusannya dinyatakan batal. Sebab, Arcandra sempat berbicara tentang perpanjangan kontrak karya PT Freeport yang masih diperdebatkan.

Keprihatinan muncul, karena pemerintah kecolongan dan kurang teliti dengan informasi dalam memilih orang duduk dalam kabinet, dengan wewenang yang cukup besar. Dan bahkan Arcandra sendiri tidak terbuka dengan status kewarganegaraannya ketika akan diberi mandat menjadi menteri ESDM.

Refleksi Kebangsaan

Kasus ini terasa getir justru karena terjadi dalam suasana peringatan kemerdekaan. Jadi, pantas menjadi refleksi bagi kita mengenai rasa sebagai bagian bangsa Indonesia. Refleksi  tentang makna sebagai kewarganegaraan Indonesia.

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan hanya memerdekan wilayah (Tanah Air), tetapi juga memerdekakan manusia, Rakyat Indonesia, Warga Negara Indonesia. Dan kemerdekaan ini melampaui makna ‘’lepas’’ dari belenggu penjajah, dan mencakup kemerdekaan untuk hidup sebagai warga yang bermartabat dan bangsa yang bermartabat.

Kasus kewarganegaraan menteri ini memang menampar seolah-olah tidak ada warga negara yang mampu untuk mengelola bidang ini, sehingg harus diambil orang yang memiliki kewarganegaran lain. Tapi juga ini indikasi bahwa ‘’pertahanan’’ kita kedodoran, sehingga dengan mudah kepentingan luar masuk.

Bukankah sudah sering kita mendengar peringatan sejumlah cendekiawan bahwa sudah terlalu banyak kekayaan negara ini dikuasai pihak asing. Sementara banyak warga negara yang hanya diposisikan menjadi penonton.

Pemerintah tengah berupaya menarik dana yang diparkir di luar melalui pengampunan pajak (tax amenesty) juga menunjukkan bagaimana, rasa sebagai satu bangsa menipis. Padahal, kekayaan itu juga diperoleh dari Indonesia.

Kita harus lebih tegas bahwa perasaan sebagai satu bangsa muncul ketika menghadapi penjajah, dan persatuan itu yang mejadi kekuatan utama mencapai kemerdekaan. Perasaan satu bangsa ini juga semestinya terus hidup ketika di alam kemerdekaan kita membangun negara dan warganya.

Jadi, kita harus berani dan tegas mengenai apa yang pantas dilakukan sebagai warga bangsa dan negara ini, terutama menempatkan kepentingan terbesar untuk bangsa dan negara, bukan kelompok, apalagi pribadi.

Tantangan  Indonesia

Tantangan Indonesia sekarang memang berpusat pada pemaknaan dan tanggung jawab sebagai warga negara. Masalah-masalah yang kita hadapi banyak berkisar pada kepicikan orang di antara kita yang menggadaikan kepentingan bangsa untuk keuntungan sendiri. Bahkan hanya demi keuntungan kecil, menggadaikannya kepada pihak asing.

Dalam bidang ekonomi, misalnya banyak usaha yang dikuasai oleh perusahaan asing. Bahkan sebelumnya ada pihak yang mencari keuntungan sendiri dengan membiarkan kekayaan laut kita dikeruk asing. Di kalangan pengusaha nasional pun banyak yang menyimpan dana mereka di luar negeri, dan tidak peduli bahwa negara membutuhkan dana untuk pembangunan.

Negara kita masih dirundung oleh perilaku pejabat yang melakukan kejahatan korupsi dan pungutan liar yang membuat pembangunan bangsa terhambat. Perdagangan narkotika terus meningkat, karena penjahat juga memperoleh ‘’perlindungan’’ oleh oknum. Mereka yang terlibat kejahatan ini bukan orang yang kelaparan, tetapi ketamakan  mereka mengalahkan solidariras sebagai warga bangsa.

Di dalam kehidupan sosial, kita juga masih menyaksikan ada warga negara yang menolak dasar negara Pancasila, dan terus berupaya menyingkirkan serta menggantinya dengan ideologi lain. Bahkan ada yang melakukan tindakan teror dan diskriminatif sebagai pernyataan penolakan itu.

Dalam kehidupan politik, politisi dan kepasla daerah yang terlibat kejahatan korupsi masih tinggi. Sementara lembaga-lembaga perwakilan dikritik karena kurang peduli pada kepentingan rakyat, tetapi mengutamakan kepentingan kelompok atau pribadi.

Memaknai menjadi warga sebuah negara yang dimerdekakan dengan darah dan nyawa oleh para pahlawan, adalah mengakui bahwa apa yang kita dapatkan sekarang bukan sepenuhnya kerja generasi ini, apalagi kelompok dan individu. Semua itu adalah buah kemerdekaan yang dibangun di atas dasar kebersamaan. Maka pada suasana peringatan kemerdekaan ini, setiap warga negara semestinya berefleksi tentang tindakan terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia, dan berani mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dirgahayu Indonesia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home