Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 20:16 WIB | Jumat, 28 Maret 2014

Satu Ton untuk Papua, Membangun Mimpi Anak Papua

Satu Ton untuk Papua, Membangun Mimpi Anak Papua
Riyanti Teresa Gunadi, Koordinator Satu Ton untuk Papua, saat memberikan buku bacaan anak-anak sebagai kenang-kenangan pada pemerintah setempat. (Foto-foto: Dokumentasi Satu Ton untuk Papua)
Satu Ton untuk Papua, Membangun Mimpi Anak Papua
Frinsoni Buaton Nainggolan, anggota Satu Ton untuk Papua, yang turut berpartisipasi dalam program kegiatan yang dilaksanakan sejak 28 Desember 2013 hingga 5 Februari 2014.

SATUHARAPAN.COM – Komunitas yang lahir dari mimpi sepuluh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (FISIP UNPAD) ingin melihat Papua yang lebih baik, Satu Ton untuk Papua, bergerak menuju Papua untuk merealisasikan visi mereka, membangun dan memberanikan putra putri asli Papua memiliki mimpi menciptakan Papua yang sejahtera, cerdas, dan mandiri.

Dengan program kegiatan membangun mimpi anak Papua, mereka mulai menapaki kaki di tanah Papua sejak 28 Desember 2013 hingga 5 Februari 2014. Kegiatan berlokasi di Kampung Samenage, Distrik Samenage, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua. Wilayah ini terletak di Pegunungan Jayawijaya, perbatasan antara Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Jayawijaya.

“Kekuatan terbesar untuk membangun sebuah masyarakat hebat bermula dari keberanian bermimpi dan mewujudkan mimpi itu, terlepas berbagai tantangan, rintangan, dan kondisi sosial yang ada. Kami rindu melihat dokter, arsitek, dosen, pengusaha yang merupakan putra dan putri asli Papua. Kita perlu bergerak memberi mimpi bagi anak-anak di Papua. Itulah visi Satu Ton untuk Papua,” ucap Riyanti Teresa Gunadi, Koordinator Satu Ton untuk Papua, saat dihubungi melalui telepon seluler, pada Jumat (28/3).

Dalam program kali ini, Satu Ton untuk Papua hanya mengirimkan dua wakil ke Kampung Samenage, Riyanti dan Frinsoni Buaton Nainggolan. Mereka langsung melakukan survei mimpi anak-anak Papua. Hasilnya, mereka mendapati anak-anak Papua hanya memiliki tiga mimpi, yakni menjadi guru, pilot, dan pastor.

“Ternyata hanya terdapat tiga varian mimpi anak-anak Papua, karena hanya itulah yang mereka tahu dan lihat. Tiga pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang baik, namun jauh lebih baik jika mereka dapat bermimpi lebih lagi sehingga dapat mengisi ruang-ruang pekerjaan lain serta bersama membangun Indonesia,” kata Riyanti.

Selama selama 39 hari, mereka menjalankan tiga program, dari program pendidikan formal dalam bentuk mengajar berhitung dan membaca, pendidikan informal dalam ajakan hidup bersih (mandi dan sikat gigi) dan menceritakan sejarah Indonesia, hingga pembangunan "Honai Mimpi", sebagai rumah baca untuk membangun mimpi anak-anak Papua.

Hasilnya, mereka menemukan perubahan pada mimpi dua anak didik. Perubahan tersebut dapat menjadi bukti, apa yang mereka impikan sebelum menyentuh tanah Papua berhasil diwujudkan.

“Keberhasilan perubahan memang tidak bisa diukur dalam waktu singkat, tapi apa yang ditemukan dalam diri Tonius Momiake dan Lortius Momiake, dapat menjadi inspirasi bagi kami. Awalnya, Tonius bermimpi menjadi pastor, sedangkan Lortius ingin menjadi guru. Namun, setelah program selesai, mimpi mereka berubah. Tonius ingin menjadi seorang pelukis, sementara Lortius ingin menjadi bupati, dengan harapan menolong saudara-saudaranya,” Riyanti menambahkan.

Program kegiatan Satu Ton untuk Papua hanya sebagian kecil dari kegiatan yang pernah dilakukan komunitas lain dalam upaya membangkitkan kesejahteraan masyarakat Papua. Harapannya, di kemudian hari masyarakat Indonesia lebih memperhatikan tanah Papua, sehingga tanah Papua menjadi lebih baik.

“Satu Ton untuk Papua merupakan langkah kecil dalam mengupayakan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat Papua. Kami berharap, apa yang kami lakukan ini dapat menghadirkan perubahan kecil yang akan berdampak besar di kemudian hari,” tutup Riyanti.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home