SE Ujaran Kebencian Diharap Tak Jadi Mainan Politik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bambang Soesatyo, mengkhawatirkan Surat Edaran (SE) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) justru membangun rasa takut publik untuk mengkritik pemerintah.
Sebab, menurut dia, SE Ujaran Kebencian dapat dimaknai sebagai bentuk lain dari pendekatan keamanan (security approach) untuk membungkam kebebasan masyarakat mengemukakan pendapatnya.
“Agar SE itu tidak melumpuhkan prinsip demokrasi, sosialisasi SE Ujaran Kebencian harus intensif agar dipahami semua elemen masyarakat. Kapolri dan seluruh jajarannya harus memberi jaminan kepada publik bahwa SE itu tidak menyasar siapa pun yang mengkritik pemerintah,” kata dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada hari Kamis (5/11).
Dia menyarakan, Polri membuat rumusan yang jelas dan tegas dalam membedakan makna kritik dengan fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.
“Tentu saja publik juga butuh jaminan bahwa SE Ujaran Kebencian itu tidak akan disalahgunakan sebagai alat politik penguasa dan keluarganya. Presiden, wakil presiden, para menteri, dan pejabat tinggi lain tidak boleh menunggangi SE Ujaran Kebencian itu untuk membungkam arus kritik dari masyarakat,” ujar politikus Partai Golkar itu.
Jaga Kebinekaan
Berbeda dengan Bambang, Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi, mengajak publik melihat SE Ujaran Kebencian sebagai komitmen negara dalam menjaga kebinekaan dan toleransi. Sebab, praktik demokrasi di Indonesia saat ini telah membangun pola interaksi yang tidak sehat dan jauh dari sikap saling menghormati dan menghargai.
“Hal ini menjadi ancaman yang serius bagi tata kelola negara dalam menjaga pola hubungan yang harmonis antarwarga,” kata dia.
Muradi juga melihat SE Ujaran Kebencian sebagai bagian dari praktik memandu anggota Polri lebih sigap dan jeli dalam melihat ujaran kebencian yang memecah belah persatuan, meskipun sebenarnya hal tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Harus diakui, selama ini setiap pengaduan yang berkaitan dengan ujaran kebencian tidak secara efektif direspons dengan baik oleh Polri. Itu terjadi karena implementasi atas sejumlah pasal yang ada di dalam KUHP membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan keberadaan SE Kapolri tersebut adalah bagian dari skema tersebut,” kata dia.
Menurut Muradi, poin penting yang tertuang dalam SE Ujaran Kebencian adalah cara negara hadir untuk menjaga warganya dari ancaman dan ekses atas sejumlah praktik dari ujaran kebencian tersebut. Namun, SE Kapolri tersebut perlu penegasan lebih lanjut, agar tidak dimanfaatkan oleh oknum kepolisian atau elite politik untuk kepentingan yang sempit.
“Polri harus memastikan agar SE Ujaran Kebencian tetap berada dalam semangat untuk memastikan agar negara hadir untuk menjaga kebinekaan dan toleransi khas keindonesiaan. Salah satunya, memastikan menindak oknum-oknum yang ingin bermain-main dengan SE Ujaran Kebencian tersebut,” tutur Muradi.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech). Surat tersebut dikeluarkan pada 8 Oktober 2015 lalu.
Badrodin mengatakan, pada dasarnya SE itu bersifat normatif karena mengacu ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). SE itu merupakan penegasan saja dari apa yang sudah diatur di dalam KUHP terkait penanganan perkara yang menyangkut ujaran kebencian.
Diharapkan, SE itu tidak membuat pimpinan Polri, khususnya di daerah-daerah yang rawan konflik tak ragu dalam mengambil keputusan dalam penyelesaian perkara itu.
Editor : Sotyati
Penasihat Senior Presiden Korsel Mengundurkan Diri Masal
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para penasihat senior Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, termasuk kepala...