Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 17:00 WIB | Kamis, 26 Mei 2016

Sekjen PBB Terima Laporan Genosida di Papua

Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa, Ban Ki-moon (kiri) ketika berbincang-bincang dengan aktivis HAM Pasifik, Emele Duiturage, yang menyerahkan laporan pelanggaran HAM di Papua kepada Sekjen PBB tersebut (Foto: Markus Haluk)

ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM - Laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang menggambarkannya sebagai 'genosida gerak lambat' telah sampai ke tangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kemarin (25/5).

Laporan itu diberikan oleh Direktur Eksekutif  Pacific Islands Association for Non-Governmental Organisations (PIANGO),  Emele Duiturage, pada hari kedua Konferensi Kemanusiaan Dunia (World Humanitarian Summit/WHS) di Istanbul, Turki. Laporan itu diterimakan kepada asisten Sekjen PBB.

Menurut PACNEWS, Duituturaga menyerahkan laporan tersebut kepada Ban Ki-moon pada siang hari. Duituturaga mengatakan dirinya senang sempat melakukan percakapan singkat dengan Ban pada akhir KTT.

Penyerahan ini dilakukan setelah Duituturaga menyampaikan paparannya pada pleno WHS hari pertama, dimana ia menyerukan intervensi PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua.
 
"PIANGO adalah pendukung kuat pendekatan berbasis HAM dan kami berkomitmen untuk menegakkan norma-norma yang melindungi umat manusia, khususnya dalam kaitannya dengan berbicara tentang pelanggaran hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional," kata dia.
 
"Di Pasifik, kami menghadapi konflik yang disebabkan tantangan kemanusiaan. Kami memuji penutupan kamp pengungsi di Papua Nugini, kami prihatin atas konflik di pusat penahanan Nauru dan kami meminta intervensi PBB untuk pelanggaran HAM di Papua," kata dia.

Laporan ini pelanggaran HAM ini merupakan temuan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, yang dilansir secara resmi  pada hari Minggu (1/5) di Brisbane. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua  itu, mencuat rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Dalam laporan setebal 24 halaman itu,  salah satu rekomendasi mereka adalah "Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua."

Laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar "negara-negara di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua."

Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

Misi pencarian fakta ini  mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga  mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. "Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja," kata laporan itu.

"Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua," demikian bunyi laporan tersebut.

"Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat," kata laporan itu.

Selain menyampaikan keprihatianan tentang Papua dalam forum ini Duiturage juga menegaskan bahwa sebagai organisasi masyarakat sipil terkemuka, PIANGO mewakili LSM di 21 negara dan wilayah Kepulauan Pasifik, berkomitmen terhadap Agenda Kemanusiaan.

"Di Pasifik di mana 80 persen dari populasi berbasis di pedesaan, respon yang pertama dan  terakhir selalu respon lokal, karena itu kita perlu memperkuat kepemimpinan lokal, memperkuat ketahanan masyarakat dan memprioritaskan ulang lokalisasi bantuan."

"PIANGO berkomitmen untuk memfasilitasi koordinasi yang efektif dari organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional dengan peran pelengkap LSM internasional."

KTT dihadiri oleh 9.000 peserta dari 173 negara, termasuk 55 kepala negara, ratusan perwakilan sektor swasta dan ribuan orang dari masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah. Konferensi berakhir pada hari Rabu (25/5).

Editor : Eben E. Siadari

 

Baca Juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home