Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 01:00 WIB | Jumat, 01 Januari 2016

Selamat Menapaki 2016!

Gelar ”anak Allah” bukan tanpa konsekuensi.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – ”Dan ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya” (Luk. 2:21).

Jika Natal diperingati pada 25 Desember, maka tahun baru (1 Januari, delapan hari kemudian) merupakan peringatan nama Yesus. Perayaan tahun baru sejatinya merupakan perayaan nama Yesus. Jadi, ketika seorang Kristen merayakan tahun baru, sesungguhnya dia sedang merayakan nama Yesus.

Ya, nama-Nya Yesus—Allah adalah keselamatan. Dan karena nama itulah, maka sekarang saya dan Saudara tidak lagi disebut hamba Allah, tetapi kita adalah anak Allah. Apa beda hamba dan anak? Jelaslah posisi anak lebih tinggi ketimbang hamba.

Kita adalah anak Allah. Pada hemat saya, dari segala kenyataan yang kita alami, inilah kenyataan utama dan merupakan sumber kebahagiaan kita. Allah berkenan menjadi Bapa kita. Siapa tidak suka dengan sebutan ini? Pada masa lampau ini semacam gelar bagi raja-raja—mereka disebut sebagai anak dewa. Gelar ”anak Allah” itu sekarang diberikan kepada kita. Apakah artinya ini?

Pertama, tak ada hubungan yang lebih erat ketimbang hubungan orangtua dan anak. Hubungan suami istri bisa kandas di tengah jalan, sehingga ada istilah mantan untuk suami atau istri. Tetapi, mana ada istilah mantan orang tua atau mantan anak? Ikatan anak dan orangtua kekal sifatnya. Apa pun yang terjadi, entah anak itu menjadi durhaka atau orangtua melupakan anaknya, tidak ada istilah mantan anak atau mantan orangtua.

Kedua, istilah anak Allah juga mengingatkan kita—sebagaimana orangtua jasmani kita—Orangtua rohani kita ingin yang terbaik bagi anak-anaknya. Jarang saya temui orangtua yang ingin hal yang biasa-biasa saja bagi anak-anak mereka. Tak heran, jika sebuah pariwara menyebutkan: ”Buat anak kok coba-coba!” Mengapa? Karena memang tidak ada seorang pun yang memberikan yang jelek bagi anak-anaknya.

Ketiga, gelar anak Allah ini bukanlah berasal dari manusia. Gelar ini pada dasarnya adalah hak prerogatif Allah. Sehingga memang tidak ada seorang pun yang dapat membatalkan gelar anak Allah ini. Bahkan, ketika anak itu mulai menjauh dari orangtua rohani—sebagaimana dalam perumpamaan Bapak yang Baik Hati atau Anak yang Hilang—gelar itu tetap melekat dalam diri anak-anak-Nya. Jika Allah saja tidak ingin gelar itu lepas dari dalam diri kita, maka siapakah yang bisa membatalkan gelar tersebut.

Tetapi, gelar ”anak Allah” ini bukan tanpa konsekuensi. Setiap anak memperlihatkan ciri-ciri orangtuanya bagai pepatah ”buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Yesus Kristus—Anak Tunggal Allah—yang sulung dari semua adalah sumber teladan kita.

Selamat menapaki 2016!

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home