Loading...
SMASH AYUB
Penulis: Ayub Yahya 00:01 WIB | Senin, 05 Maret 2018

Selingkuh

Ilustrasi: Marco Bianchetti

SATUHARAPAN.COM - (*Pssttt: Ini bukan bermaksud ngomongin urusan pribadi orang. Kalau pun sampai menyebut nama, yang mau diangkat adalah kasusnya bukan tetek bengek tentang orangnya. Juga bukan bermaksud memberi “excuse” (apalagi membela) peselingkuh, tapi lebih untuk mengungkap “hal yang mungkin tidak terlihat” dibalik sebuah perselingkuhan. Dan tentu saja, Anda boleh setuju, boleh juga tidak).

 

Ketika “kisruh” Ahok dan Vero mencuat menggegerkan jagat raya, seorang teman berkomentar, “Bodoh ya, Vero. Ahok itu kurang apa?! (mantan) Gubernur Jakarta, terkenal dan diidolai banyak orang pula.”

Persis 20-an tahun yang lalu, dalam kasus serupa tapi tak sama, “kisruh” Pangeran Charles dan Putri Diana. Beberapa orang berkomentar, “Bodoh ya, Charles. Diana itu kurang apa? Cantik, lembut, baik hati pula. Lha, Camilla Parker?! Alamak!” (Note: Camilla Parker selingkuhan Charles).

Sebuah tanya pun mengemuka: Koq bisa? 

 

Begini…

Manusia itu bukan melulu mahluk rasional, tetapi juga mahluk emosional. Artinya ia memiliki kebutuhan rasio, juga kebutuhan emosi. Kebutuhan rasio berkenaan dengan hal-hal fisik atau material, kebutuhan emosi berkenaan dengan rasa. Dan namanya kebutuhan, tentu harus dipenuhi; baik yang rasio, maupun yang emosi. Yang satu tidak boleh diabaikan, yang lain harus diperhatikan.

Celakanya, kadang orang itu suka berat sebelah; memenuhi kebutuhan yang satu, dan mengabaikan kebutuhan yang lain. Akibatnya, ada “ruang kosong” yang menganga lebar di sana. Lalu ketika “best friend” datang mengisi kekosongan itu, “bendungan” pun jebol. Dari situlah perselingkuhan berawal.

 

Jadi…

Tampaknya kedua kasus di atas dipicu, dan kemudian juga dipacu, oleh adanya “ruang kosong” itu tadi. Ahok begitu sibuk dengan panggilan jiwa dan idealismenya sebagai politikus dan pejabat negara, hingga lupa bahwa ada hati yang “merana sepi”. Dan kesepian itu akan terasa lebih menggigit di tengah keramaian orang yang bertepuk tangan.

Diana begitu sibuk memoles diri untuk selalu tampil cantik dan menawan, hingga lupa menyeimbangi “frekuensi jiwa” Charles – Charles suka filsafat dan politik, Diana suka balet dan keriangan dunia anak-anak. Charles suka baca buku, Diana suka dansa-dansi dan explore tempat-tempat baru, dsb. Intinya ada yang “tidak nyambung” di sana.

Kesepian dan ketidaknyambungan itu lalu “diisi” oleh sosok lain. Akibatnya, jalan menuju cinta terlarang terbuka lebar. Dalam situasi demikian, bahkan akal sehat pun bisa tidak berfungsi. Konon, ada tiga hal yang bisa membuat manusia menjadi super bodoh: ambisi kekuasaan, fanatisme agama, dan cinta buta! 

 

Maka…

Andaikan kita ini suami, jangan berpikir, kalau kita sudah bisa memenuhi kebutuhan materi istri – menyediakan sandang, pangan, papan. Bahkan pula, mengangkat “derajatnya” dari yang “bukan siapa-siapa” menjadi orang terpandang; lalu cukup sudah hanya sampai di situ. Seolah kebutuhan istri hanya itu.

Dan andaikan kita ini istri, jangan berpikir, kalau kita sudah bisa menjaga penampilan – wajah cantik menawan, body singset atletis; lalu cukup sudah bisa membuat suami nempel kayak perangko selamanya. Seolah kebutuhan suami hanya itu.

Betul, kita perlu “menata raga” supaya bisa memenuhi kebutuhan rasional pasangan kita. Tetapi itu baru separuh “tugas” kita. Separuh lainnya adalah, kita juga perlu “mengolah jiwa” supaya bisa memenuhi kebutuhan emosionalnya. Bila kedua kebutuhan itu terpenuhi secara baik dan benar, tidak ada kebutuhan yang defisit; niscaya relasi batiniah akan terjalin erat. Dan komunikasi pun akan tersambung rekat. 

 

Editor: Tjhia Yen Nie

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home