Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 09:52 WIB | Senin, 25 Maret 2024

Seorang Pendeta China Bebas Setelah Tujuh Tahun di Penjara, Tapi Kehilangan Kartu Identitas

Dalam foto UGC yang diambil pada 5 Maret 2024 dan dirilis oleh Keluarga Cao, Pendeta John Sanqiang Cao berpose sehari setelah dibebaskan dari penjara di Changsha di provinsi Hunan selatan. Pendeta John Sanqiang Cao ditangkap dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara ketika kembali dari perjalanan misionaris di Myanmar. Kini, ia kembali ke kampung halamannya di Changsha di provinsi Hunan selatan, tanpa dokumen hukum apa pun di negaranya, dan tidak dapat mengakses layanan paling dasar sekalipun tanpa tanda pengenal Tiongkok. (Foto: Keluarga Cao via AP)

BEIJING, SATUHARAPAN.COM-Karena tidak dapat membeli tiket kereta api, atau bahkan menemui dokter di rumah sakit, seorang pendeta di China menyadari bahwa bahkan setelah dibebaskan dari penjara, ia masih tetap belum bebas.

Pendeta John Sanqiang Cao ditangkap dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara ketika kembali dari perjalanan misionaris di Myanmar. Kini, ia kembali ke kampung halamannya di Changsha di Provinsi Hunan selatan, tanpa dokumen hukum apa pun di negaranya, dan tidak dapat mengakses layanan paling dasar sekalipun tanpa tanda pengenal China.

“Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya adalah warga negara China (kelas) kedua, saya tidak bisa melakukan ini, saya tidak bisa melakukan itu,” kata Cao dalam wawancara dengan The Associated Press. “Saya dibebaskan, saya warga negara bebas, mengapa harus ada begitu banyak pembatasan terhadap saya?”

Cao, yang lahir dan besar di Changsha, telah mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan agama Kristen di China, di mana agama tersebut diatur dengan ketat. Dia pernah belajar di Amerika, menikah dengan seorang perempuan  Amerika dan memulai sebuah keluarga, namun dia merasa terpanggil untuk kembali ke negara asalnya dan menyebarkan agamanya.

Ini adalah misi yang berisiko. Kekristenan di China hanya diperbolehkan di gereja-gereja yang disponsori negara, di mana Partai Komunis yang berkuasa memutuskan bagaimana Kitab Suci harus ditafsirkan. Kegiatan lainnya, termasuk gereja “rumah” rahasia dan sekolah Alkitab tidak resmi, dianggap ilegal, meskipun pernah ditoleransi oleh pejabat setempat.

Cao tidak terpengaruh, ia mengutip keberanian orang-orang Kristen China yang ia temui yang menghabiskan waktu di penjara karena keyakinan mereka. Selama bertahun-tahun di China, dia berkata bahwa dia telah mendirikan sekitar 50 sekolah studi Alkitab di seluruh negeri.

Pada tahun-tahun menjelang penangkapannya, ia mulai membawa misionaris China ke wilayah utara Myanmar yang terkena dampak perang saudara di negara tersebut. Mereka fokus pada upaya bantuan, kampanye melawan penggunaan narkoba, dan mendirikan sekolah di wilayah yang berbatasan dengan China.

Saat kembali dari salah satu penyeberangan inilah dia ditahan pada tahun 2017. Dia dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara atas tuduhan “mengorganisir orang lain untuk melintasi perbatasan secara ilegal,” yang biasanya ditujukan untuk penyelundup manusia.

Keluarga dan pendukungnya telah menganjurkan agar hukuman Cao dikurangi, namun tidak berhasil. Cao adalah seorang tahanan hati nurani, menurut Komisi Federal Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional, yang juga menyerukan kebebasannya.

Setelah menyelesaikan hukumannya, Cao tidak lagi berada di balik jeruji besi. Namun dia menghadapi kendala besar lainnya.

Dia mengatakan bahwa polisi yang datang ke rumah ibunya pada tahun 2006 mengambil buku registrasi “hukou” miliknya, yang juga berisi Cao.

Setiap anak yang lahir di China terdaftar di hukou, yang merupakan sistem identifikasi yang melaluinya tunjangan sosial dialokasikan berdasarkan geografi. Di kemudian hari, hukou diperlukan untuk mengajukan permohonan KTP (kartu tanda penduduk), yang digunakan dalam segala hal mulai dari mendapatkan nomor telepon hingga asuransi kesehatan masyarakat.

Menurut Cao, polisi mengatakan mereka akan membantu ibunya memperbarui hukou tersebut. Baru kemudian dia mengetahui saat memperbarui pendaftarannya bahwa mereka menghapus namanya.

Cao tidak pernah mengambil kewarganegaraan Amerika Serikat karena panggilannya, dan menghabiskan waktunya di antara kedua negara. Dia telah mempertahankan izin tinggal permanennya di AS selama ini, meskipun menurutnya hal itu tidak diterima karena tanpa tanda pengenal di China.

Dia bepergian dengan paspor China-nya. Meskipun dia menyadari fakta bahwa dia tidak lagi memiliki registrasi hukou, dia tidak menyadari betapa seriusnya masalah ini hingga beberapa waktu kemudian.

Di penjara, paspor China-nya telah habis masa berlakunya, katanya, dan dia tidak dapat memperbaruinya.

Cao mengatakan dia telah pergi ke kantor polisi berkali-kali sejak dibebaskan, dan bahkan menyewa seorang pengacara. Sejauh ini, dia mengatakan polisi belum memberikan jawaban yang memuaskan mengapa catatannya tidak ada lagi.

Seorang petugas polisi di kantor polisi Dingwangtai di Changsha, tempat pendaftaran hukou Cao seharusnya dilakukan, mengatakan dia tidak tahu bagaimana menanggapi klaim Cao. “Bahkan jika dia masuk penjara, dia tetap harus memiliki hukou,” katanya kepada AP. Petugas tersebut menolak menyebutkan namanya karena tidak berwenang berbicara kepada media.

Dua putra Cao yang sudah dewasa dapat mengunjunginya bulan ini, menghabiskan dua pekan bersama ayah mereka. Cao mengatakan dia ingin bergabung dengan mereka dan istrinya di Amerika, meski tidak jelas bagaimana dia bisa melakukannya. “Saya pindah dari penjara yang lebih kecil… menuju penjara yang lebih besar,” katanya. (AP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home