Loading...
HAM
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 21:39 WIB | Selasa, 01 Oktober 2013

SETARA Institute: Seharusnya Pemerintah Minta Maaf pada Korban 65

(Foto: Istimewa)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - SETARA Institute sebuah lembaga yang mendedikasikan diri untuk kesetaraan dengan menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia, menilai sudah terjadi tragedi kemanusiaan berupa pelanggaran HAM berat pada masa tahun 1965/66. Pelanggaran HAM berat yang meliputi penghilangan orang secara paksa, penculikan, pembunuhan, penahanan, penyiksaan, perampokan, diskriminasi sosial, politik dan ekonomi, pembuangan, kerja paksa/perbudakan atas orang-orang yang dituduh sebagai  anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pengikut Presiden Sukarno yang dilakukan oleh aparat kekuasaan/aparat militer Orde Baru telah berlangsung hampir setengah abad, sejak 1965.

Stigma yang telah disematkan pemerintah Orde Baru dan kepada korban Tragedi 65 membatasi hak-hak hidup mereka sebagai warga negara. Walaupun telah bebas dari bui, mereka tetap diwajibkan melapor, di KTP mereka dibubuhi tanda ET (Eks Tapol), keluarga mereka tidak dapat menjadi pegawai negeri sipil, wawasan mereka dipersempit dengan dibatasinya akses pendidikan dan yang lebih menyakitkan adalah mereka dikucilkan dalam pergaulan di masyarakat.

Komnas HAM dalam laporan mengenai tragedi 65 yang dirilis pada tanggal 23 Juli 2013. telah menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM berat. Laporan yang dikeluarkan  melalui penyelidikan yang dilakukan selam 4 tahun. Lengkapnya telah terjadi 9 kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusian.

Meskipun Komnas HAM telah merekomendasikan perlunya Negara/Pemerintah RI melalui Jaksa Agung agar membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan atau mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut, namun dalam sebuah pertemuan korban dan keluarga korban dengan aparat penegak hukum, Kejaksaan Agung mengatakan tidak memiliki batas waktu untuk meneliti laporan Komnas HAM tentang pelanggran HAM berat tragedy ini. Pernyataan Kejaksaan Agung ini sekali lagi membuat kecewa para korban dan keluarga korban. Dengan kata lain, Kejaksaan Agung enggan menindaklajuti temuan Komnas HAM.

Jaksa Agung justru ingin melanggengkan impunitas dan melindungi para pelaku kejahatan kemanusiaan yaitu para algojo, paramiliter dan aparat militer yang oleh Komnas HAM dengan sangat jelas menyebut keterlibatan  institusi Kopkamtib, Laksusda, Kodam, Kodim, Koramil dalam aksi kekerasan, kejahatan kemanusiaan pelanggaran HAM berat 1965-66.

Mantan presiden Gus Dur sempat meminta maaf kepada para korban Tragedi 65 sebagai bentuk rekonsiliasi tetapi setelah Gus Dur tidak menjabat lagi, tidak ada pihak yang secara serius meneruskan itikad baik tersebut. Zaman pemerintahan (alm) Gus Dur, korban dan keluarga korban tragedi 65 sudah diberikan tempat untuk memulihkan hak. Faktanya hingga hari ini diskriminasi terhadap anak cucu korban 65 masih saja menyeruak ke ruang-ruang sosial. Paranoid terhadap bangkitnya faham komunisme menjadi salah satu halangan. Militer dan ormas-ormas akan memenuhi ruang publik dengan agitasi-agitasi kebencian terhadap komunis.

SETARA Institute, memandang berlarut-larutnya dan tidak adanya kemauan pemerintah dalam penyelesaian tragedy 65 akan selalu menjadi beban politik bagi pemerintah Indonesia selanjutnya. Pemerintah akan menjadi sasaran pertama yang patut disalahkan. Baik pemerintah orde baru ataupun pemerintah yang sekarang berkuasa.

SETARA Institute, mendorong Pemerintah harus bisa belajar dari pemerintah Afrika Selatan pasca politik apartheid runtuh di sana. Pemerintah hingga saat ini belum memiliki keberanian untuk menghaturkan kata maaf atas perilaku pemerintah sebelumnya. Permintaan maaf harus disertai dengan tindakan politik lainnya seperti mengembalikan hak-hak korban dan keluarga korban serta tindakan hukum dengan menyeret mantan pelaku yang melakukan tindakan melanggar hukum saat peristiwa ini terjadi. (pr)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home