Loading...
RELIGI
Penulis: Trisno S Sutanto 09:25 WIB | Rabu, 06 November 2013

Sidang WCC: Bukan Sekadar Hidup

Sidang WCC: Bukan Sekadar Hidup
Alphinus Kambodji dan bukunya yang baru saja diluncurkan. (Foto-foto: Trisno S. Sutanto)
Sidang WCC: Bukan Sekadar Hidup
Kambodji bersama koleganya saat peluncuran bukunya di lokasi Madang CCA.

BUSAN, SATUHARAPAN.COM – Persoalan HIV/AIDS sampai sekarang terus menghantui dunia. Dan gereja-gereja seharusnya terpanggil untuk melayani mereka yang hidup dengan HIV/AIDS itu.

“Namun sampai sekarang, perhatian gereja-gereja pada soal ini masih sangat kurang. Mungkin karena pengetahuan dan informasinya masih terbatas,” tutur Alphinus Kambodji kepada Trisno S. Sutanto, wartawan satuharapan.com, di gerai CCA (Christian Conference of Asia) kompleks Madang, saat Sidang Raya ke-10 Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Council of Churches / WCC) di Busan, Korsel.

Sudah sejak 1992 Kambodji aktif mengampanyekan isu HIV/AIDS melalui berbagai lembaga. Tahun 2005 – 2010 ia ditunjuk menjadi konsultan untuk isu HIV/AIDS dari UEM (United Evangelical Mission), sebuah lembaga misi dari Jerman, guna mendampingi gereja-gereja anggotanya di hampir seluruh wilayah Asia, mulai dari Indonesia, Filipina, Srilanka, Hongkong dan Cina.

“Strategi saya adalah membanjiri masyarakat luas, terutama gereja-gereja, dengan informasi mengenai penyakit ini,” tutur Kambodji. “Sebab orang masih alergi kalau mendengar HIV/AIDS. Mereka yang hidup dengan HIV/AIDS lalu mendapat stigma buruk, dimarjinalisasikan, dan bahkan dibuang oleh keluarga terdekat.”

Setelah lima tahun membantu UEM, sejak 2010 Kambodji diminta CCA menjadi konsultan HIV/AIDS untuk wilayah Asia. Berulang kali ia harus bolak balik dari Indonesia ke Chiang Mai, Thailand, tempat kantor pusat CCA guna mengkoordinasi dan mengevaluasi berbagai program CCA dalam masalah HIV/AIDS.

“Memang saya melihat ada perubahan pandangan orang mengenai HIV/AIDS sejak saya bekerja untuk isu ini tahun 1992,” tuturnya. “Ada yang berubah secara perlahan atau evolusioner, dan biasanya kelompok ini lebih mantap. Tetapi ada juga yang berubah secara revolusioner. Tadinya menentang habis-habisan, lalu ketika anggota keluarganya terinfeksi jadi mendukung habis-habisan.”

“Namun saya melihat sebagian pimpinan gereja masih melihat persoalan HIV/AIDS hanya dari sudut pandang seksualitas, dan dipandang sebagai dosa,” lanjutnya. “Jadi penularan HIV/AIDS selalu dilihat dari sudut hubungan seks, terutama homoseks. Dan gereja-gereja masih mengidap homofobia. Begitu juga pencegahannya melulu dilihat dari sudut seksualitas, yakni kondom, yang bagi banyak gereja masih kontroversial.”

Persoalan HIV/AIDS bagi Kambodji harus dilihat dari berbagai aspek, tidak direduksi menjadi persoalan seksualitas melulu. “Di situ tantangan teologis gereja-gereja bagaimana menyikapi baik penyakit ini maupun mereka yang hidup dengan HIV/AIDS,” tuturnya.

Karena itulah, ia mengkoordinasi serangkaian lokakarya yang melibatkan para teolog dari berbagai negara. Hasil-hasil dari serangkaian lokakarya dituangkan dalam dua buku yang disunting Kambodji dan diluncurkan di madang CCA saat Sidang Raya ke-10 WCC.

“Sengaja saya memilih judul Living Not Just Existing, karena menurut saya selama ini kita sekadar existing, tapi belum living,” tuturnya. “Dari pengalaman selama ini saya belajar untuk bukan sekadar hidup, tetapi hidup bagi orang lain, hidup yang lebih bermakna.”


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home