Loading...
RELIGI
Penulis: Trisno S Sutanto 11:41 WIB | Kamis, 07 November 2013

Sidang WCC: Margaretha Hendriks-Ririmase, Menjadi Minoritas Kreatif dan Transformatif

Sidang WCC: Margaretha Hendriks-Ririmase, Menjadi Minoritas Kreatif dan Transformatif
Margaretha Hendriks-Ririmase di depan gedung Bexco. (Foto-foto: Trisno S. Sutanto)
Sidang WCC: Margaretha Hendriks-Ririmase, Menjadi Minoritas Kreatif dan Transformatif
Margaretha bersama rekannya dari gereja di Korea.

BUSAN, SATUHARAPAN.COM – Sering orang menyangkal bahwa kekristenan itu minoritas di Indonesia. Tapi itu fakta. Kita harus menerima fakta itu, dan mengusahakan agar kekristenan menjadi minoritas yang kreatif dan transformatif, yakni minoritas yang mampu mengubah dan mengembangkan kehidupan bersama.

Pernyataan itu dikemukakan Pdt. (em.) Margaretha M. Hendriks-Ririmase dari GPM (Gereja Protestan Maluku) kepada Trisno S. Sutanto, wartawan satuharapan.com, saat rehat di sela-sela Sidang Raya ke-10 Dewan Gereja-gereja se-Dunia (World Council of Churches / WCC) di Busan, Korea Selatan.

Sidang kali ini juga punya makna penting bagi Margaretha, sebab tahun ini dia mengakhiri tugasnya sebagai wakil moderamen WCC. Perempuan berusia 65 tahun itu akan menjalani masa tenangnya sebagai pendeta emeritasi GPM, sembari sesekali mengajar di Fakultas Teologi UKIM.

Berikut ini petikan wawancara dengan satuharapan.com mengenai Sidang Raya WCC dan maknanya bagi gereja-gereja di Indonesia:

Satuharapan.com: Apa sesungguhnya concern utama Sidang Raya WCC kali ini?

Margaretha: Seperti dalam tema, concern utama Sidang Raya kali ini adalah life, kehidupan yang berkualitas. Dan ini harus dihidupi dalam perjuangan keadilan dan perdamaian. Ini sebenarnya concern Asia, Afrika, dan bahkan seluruh dunia, karena kita melihat dunia sekarang terpecah-pecah oleh banyak masalah, mulai dari ketidakadilan, jurang antara negara atau gereja kaya dan yang miskin, dan lainnya.  Juga masalah orang-orang yang terpinggirkan, entah karena ras, bahasa, agama, maupun penyakit dan gender. Kita hidup dalam fragmented and broken world, dan kita butuh dunia yang dipulihkan.

Jadi undangan WCC adalah suatu proses healing untuk dunia sekarang. Itulah sebabnya orang-orang yang terpinggirkan perlu dibawa ke center agar persoalan-persoalan yang selama ini meminggirkan mereka dapat dibuka dan dipertanyakan. Sebagai gereja kita percaya, bahwa Tuhan itu satu-satunya sumber kehidupan, keadilan, dan perdamaian. Oleh karena itu gereja-gereja tidak dapat berbuat lain selain daripada menjalani fungsinya sebagai tubuh Kristus di dunia.

Satuharapan.com: Dokumen apa yang paling penting yang akan dihasilkan dalam persidangan kali ini?

Margaretha: Salah satunya The Church: Towards a Common Vision yang berbicara mengenai gereja. Kita harus mengakui gereja-gereja juga terpecah belah. Dokumen itu mau mendorong ke arah keesaan gereja yang dicita-citakan. Misalnya dalam soal perjamuan kudus (eucharist). Kapan kita bisa duduk semeja dan merayakan perjamuan kudus bersama? Itu masih jadi persoalan, walau WCC sudah lama melahirkan dokumen BEM (Baptism, Eucharist, Ministry). Tetapi tetap saja itu jadi persoalan.

Satuharapan.com: Bahkan di antara gereja-gereja Protestan?

Margaretha: Nggak. Itu persoalan antara gereja-gereja Protestan dengan gereja-gereja Orthodoks yang sudah menjadi bagian dari WCC. Namun tetap saja masih persoalan, kapan kita bisa duduk semeja merayakan perjamuan kudus. Gereja-gereja Orthodoks merasa bahwa duduk semeja dalam merayakan perjamuan kudus itu hanya boleh jika memiliki konfesi (pengakuan iman) yang sama.

Belum lagi banyak kelompok yang menentang WCC, seperti kita saksikan dalam demo-demo sepanjang Sidang Raya kali ini. WCC sudah berusaha keras untuk merangkul kelompok-kelompok kharismatik dan pantekosta itu, misalnya lewat Global Christian Forum yang melibatkan mereka agar gereja-gereja makin dekat.

Satuharapan.com: Apa ada pergeseran pandangan, misalnya dalam soal misi seperti tertuang dalam dokumen Together towards Life?

Margaretha: Di situ ditegaskan soal life giving mission, misi yang mengembangkan kehidupan, maupun yang lebih utama lagi soal mission from the margin. Selama ini orang yang berada di pinggiran hanya dilihat sebagai obyek misi. Sekarang kita melihat mereka juga subyek misi. Jadi mereka sekaligus subyek dan obyek misi, yakni sebagai tanda kehadiran Tuhan yang merawat, menyembuhkan, dan mengembangkan kehidupan di dunia ini.

Itu sebabnya bringing them to the center, membawa orang-orang marjinal ke pusat perhatian sehingga kita dapat belajar bersama mengenai kekuatan yang menghancurkan kehidupan, sangat diperlukan.

Satuharapan.com: Apa artinya bagi gereja-gereja di Indonesia?

Margaretha: Kita juga mengalami masalah serupa di Indonesia, baik masalah antar-gereja, antar-agama, kemiskinan, ketidakadilan, dstnya. Itu semua masalah yang mendesak untuk dihadapi. Dan, tema Sidang Raya WCC sesungguhnya berbicara mengenai masalah-masalah itu.

Gereja-gereja di Indonesia, sebagai bagian dari WCC, mengemban panggilan untuk melakukan perjuangan bersama menegakkan keadilan dan perdamaian, melakukan rekonsiliasi dan healing guna mengembangkan kehidupan yang berkualitas.

Satuharapan.com: Sebagai delegasi dengan anggota terbanyak, tampaknya peserta dari Indonesia kurang memperjuangkan isu bersama gereja-gereja di Indonesia?

Margaretha: Seingat saya, PGI sudah melakukan tiga kali konsultasi pra-Sidang Raya Busan ini. Tetapi mungkin fokusnya hanya mempersiapkan soal dokumen-dokumen yang akan dibahas di sini, dan kurang menggali isu persoalan-persoalan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di Indonesia. Saya sendiri di Madang berbagi pengalaman mengenai bagaimana saya, sebagai minoritas Kristen di Indonesia, hidup di tengah masyarakat yang mayoritas Muslim.

Teman-teman dari India dan Srilanka juga menceritakan pengalaman mereka hidup di mayoritas Hindu dan Buddhis. Di situ saya bilang, kita harus mengakui bahwa kita adalah minoritas. Itu fakta. Namun minoritas dalam artian kuantitatif itu tidak harus membuat kita terpojok. Karena bukan soal jumlah yang penting, tetapi bagaimana kita menjadikan hidup kita sebagai kekuatan transformatif bagi sesama.

Seperti biji sesawi yang disebut dalam Injil, yang mampu bertumbuh menjadi pohon dan burung-burung bisa datang dan hidup di situ. Ini bagi saya harus menjadi ciri minoritas yang kreatif dan transformatif. Dan, itulah tugas gereja-gereja di Indonesia. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home