Loading...
RELIGI
Penulis: Kartika Virgianti 06:03 WIB | Minggu, 17 Agustus 2014

Soft Pluralism Solusi Persoalan Agama, Bukan Hard Pluralism

Para pembicara seminar (dari kiri-kanan) Ketua Umum ICRP dan Direktur Megawati Institute, Siti Musdah Mulia; Kepala Litbang Kemenag RI, Prof. Machasin; Manager Program Setara Institute, Ismail Hasani yang memandu diskusi; Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos (Choky); dan Sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti. (Foto: Elvis Sendouw)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menjelaskan selama ini dalam menyelesaikan konflik agama, kita cenderung menyelesaikan persoalan pluralisme dengan hard pluralism, dan kurang membangun soft pluralism.

Disampaikan dalam Seminar Nasional “Kepemimpinan Nasional Baru dan Pemajuan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan” yang diselenggarakan Setara Institute dan Sobat KBB di The Akmani Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/8), hard pluralism itu bagaimana persoalan agama diatur dan diselesaikan dengan Undang-Undang dan peraturan.

Akan tetapi kita lihat selama ini, betapapun Undang-Undang itu ada, yang terjadi justru dilakukannya tekanan-tekanan bahkan kekerasan oleh negara untuk menegakkan peraturan yang ada. Misalnya peraturan menteri tentang pendirian tempat ibadah, itu bisa dijadikan alat oleh kelompok tertentu untuk pelarangan mendirikan tempat ibadah agama lain terutama untuk agama minoritas.  

Soft pluralism yaitu menekankan kepada membangun mindset atau pola pikir, sikap dan perilaku yang terbuka, kemudian diikuti membangun budaya keterbukaan yang sengaja dilakukan oleh negara. Selama ini negara tidak melakukan proses intervensi ini.

“Ada dua hal yang saya sampaikan untuk didiskusikan. Pertama Indonesia secara eksklusif menyebut dirinya sebagai negara yang majemuk atau pluralistik, berkali-kali kita mengatakan bhineka tunggal ika yang kalau diterjemahkan berbeda-beda tapi satu unity is diversity. Kalau terjemahan itu adalah arti yang sebenarnya, maka seharusnya kita tidak perlu ragu menunjukkan kepercayaannya, karena perbedaan itu sebagai bagian dari karakter bangsa,” urai pria yang akrab disapa Mu’ti itu.

Persoalannya, lanjut dia, selama ini kita mengaku majemuk, tapi kita tidak punya cetak biru pluralisme yang kita akui, sehingga kita tidak tahu pluralisme seperti apa yang dianut oleh bangsa Indonesia.

“Jika kita pernah dengan fatwa MUI haramnya pluralisme, itu kan hanya satu definisi dari mereka sendiri. Sementara negara harusnya membuat rumusan yang jelas, yaitu cetak biru definisi pluralisme yang dianut bangsa Indonesia,” usul Mu’ti.

Ke depan, kita tidak bisa mengkapitalisasi pluralisme dengan cetak biru semata, tetapi soft pluralism harus dilakukan dalam rangka memenangkan revolusi mental. Mu’ti menilai bahwa itu adalah tugas kultural kita bersama-sama.

Selain itu, ruang-ruang publik juga harus dibuka, sehingga kita tidak terjebak pada toleransi semu, di mana kita berlaku baik hanya ketika di ruang formal, dan sebaliknya kita berlaku curiga ketika kembali pada habitat masing-masing. Ini harus didorong bukan hanya oleh Kemenag, tetapi juga Kemendikbud, dan kementerian-kementerian lainnya.

Munculnya Segregasi Sosial

Saat ini ada kecenderungan segregasi sosial (pemisahan secara paksa) yang dibiarkan, dan berpotensi menjauhkan kelompok agama yang satu dengan yang lainnya. Di sini harus ada intervensi negara guna mengupayakan membangun pemukiman di mana ada integrasi sosial di dalam neighborhood system-nya, dengan melibatkan kelompok-kelompok lintas agama.

Misalnya sekarang ini ada kecenderungan masyarakat tinggal dalam lingkungan monoreligi (hanya kelompok dalam satu agama saja), yang muncul dengan alasan mereka ingin merasa aman secara agama, dan juga karena ingin menyiasati aturan agama itu.

Pasalnya, dalam aturan mendirikan rumah ibadah harus ada setidaknya 90 masyarakat yang memeluk agama tersebut, dan ini tidak bisa terjadi kalau tidak melibatkan pemukiman monoreligi seperti itu.

Sebagai contoh lainnya yaitu kondisi pascakonflik di Ambon yang melokalisir masyarakatnya ke dalam sebuah kampung yang disebut kampung Muslim dan kampung Kristen. Mungkin saat ini pemisahan tersebut dapat menyelesaikan masalah karena mereka terlalu lelah berkonflik. Tapi untuk jangka panjang, katakanlah bagi generasi kedua atau ketiga yang tidak terlibat langsung, konflik bisa kembali muncul di kemudian hari kalau tidak diberikan solusi dari sekarang.

Hal-hal yang berkaitan dengan interaksi, bahkan kita usulkan kepada partai politik agar lebih inklusif, sehingga interaksi antar kelompok yang berbeda itu akan berlangsung secara lebih intensif, dan semakin terbuka proses yang memungkinkan orang mengenal kelompok lainnya yang secara alamiah sudah berbeda.

“Negara diharapkan tidak hanya mengandalkan kerukunan pada peraturan yang ada, tetapi lebih hadir di dalam pembangunan soft pluralism. Dengan demikian kita tidak capek membuat aturan, dan terus-menerus memaksa aparat keamanan menegakkan hukum, saya kira soft pluralism itu bisa mulai dilaksanakan dalam revolusi mental kita,” gagas Mu’ti.

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home