Loading...
RELIGI
Penulis: Francisca Christy Rosana 19:35 WIB | Kamis, 19 Maret 2015

Solidaritas Antaragama Jika Nyepi Jatuh di Minggu atau Jumat

Ilustrasi. Warga Banjar Bukian Kaja, Payangan, Gianyar, Bali tengah melaksanakan Odalan. (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Bali yang dikenal sebagai Pulau Seribu Pura memang identik dengan umat Hindu yang mayoritas mendiami wilayah tersebut.

Namun, tak semua warga Bali beragama Hindu. Di pulau yang terkenal dengan keindahan alam dan warna seni yang kental itu, terdapat pula perkampungan-perkampungan umat Muslim dan Nasrani.

Keberagaman yang terdapat di pulau berukuran 5.780 kilometer persegi itu tampak cukup mewarnai. Di tengah keberagaman, solidaritas pun tumbuh baik di Bali.

Pada Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka di Bali, umat beragama lain seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Konghucu turut menghormati ritual ibadah umat Hindu yang melaksanakan catur dharma. Catur dharma meliputi empat hal yang harus dilakukan umat Hindu selama Nyepi.

Pertama amati geni, yakni tidak boleh menyalakan api. Amati karya, yakni tidak boleh melakukan aktivitas atau pekerjaan. Amati lelungan, yakni tidak boleh bepergian. Amati lelangunan, yakni berpantang menghibur diri.

Menyatu rasa dengan umat Hindu, umat-umat agama lain pun turut menghormati dengan berdiam di rumah seharian.

Namun, apabila Nyepi jatuh pada hari Minggu atau Jumat, I Gusti Ngurah Raka Suartana, warga Gianyar, Bali, mengungkapkan umat Nasrani tetap dapat melaksanakan ibadah di gereja dan umat Muslim tetap dapat melaksanakan ibadah Jumat di masjid.

“Boleh, tetapi tidak boleh menggunakan pengeras suara, tidak boleh menggunakan kendaraan di jalan, artinya harus jalan kaki. Dari rumah jalan biasanya dituntun oleh Pecalang (polisi adat, Red). Disarankan untuk melakukan sembahyang di gereja terdekat. Kalau Jumat, bagi yang Muslim sama juga. Tidak menggunakan speaker, tidak boleh menggunakan kendaraan juga. Kalau jatuh di luar Jumat atau Minggu, semua tidak boleh keluar, termasuk tamu,” ujar Raka saat dihubungi satuharapan.com, Rabu (18/3) malam.

Tamu-tamu yang berkunjung di Bali pun dijelaskan Raka turut menghormati jalannya ibadah Nyepi.

“Kalau sampai ada nyala listrik, nanti diingatkan pecalang. Kalau sampai diingatkan tapi bandel, ya akan ada sanksi adat,” ujar Raka.

Raka menjelaskan, selama ini biasanya sebelum Nyepi diadakan pertemuan terlebih dahulu antarpemimpin agama.

Pemimpin-pemimpin agama ini bertemu untuk menerima sosialisasi imbauan-imbauan permakluman.

Dari pertemuan tersebut, kata Raka, ada ketentuan yang disepakati bersama. 

Sebelumnya, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), majelis tertinggi umat Hindu di Bali seperti dikutip laman berita Antara mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936 yang jatuh pada hari Senin, 31 Maret 2014.

"Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936," kata Ketua PHDI Provinsi Bali, Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan, rangkaian upacara pelaksanaan hari suci Nyepi disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaan di desa Pekraman (desa kala patra), termasuk tradisi di masing-masing desa adat di Pulau Dewata.

Kegiatan tersebut diawali dengan mengadakan prosesi "Melasti/Melis" di kawasan pantai yang bermakna membersihkan "pratima" atau benda yang disakralkan oleh umat Hindu.

Tidak hanya ke pantai, "Melasti" juga bisa dilakukan ke tepi danau atau sumber mata air (kelebutan) yang dianggap suci. "Ritual ini dilakukan umat pada salah satu dari dua hari yang ditetapkan, yakni Minggu (30/3) dan Senin (31/3).

Ngurah Sudiana menjelaskan, umat yang bermukim dekat pantai melakukan prosesi "Melasti" ke laut, dan yang tinggal di daerah pegunungan melakukannya ke danau atau ke sumber mata air.

Sementara masyarakat yang tinggal di tengah-tengah daratan Pulau Dewata, jauh dari laut maupun danau, dapat melakukan ritual "Melasti" di sumber mata air terdekat.

Ngurah Sudiana menambahkan, setelah "Melasti", menyusul dilakukan "Bhatara Nyejer" di Pura Desa/Bale Agung di desa adat masing-masing, dilanjutkan dengan "Tawur Kesanga" atau persembahan kurban pada hari Minggu (30/3), sehari menjelang Nyepi.

"Tawur Kesanga" itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.

Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan dan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

"Tawur Kesanga" yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala" yakni roh atau makhluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.

Keesokan harinya, Senin (31/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936 dengan melaksanakan "Catur Brata" Penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.

Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (Amati Karya), tidak menyalakan lampu atau api (Amati Geni), tidak bepergian (Amati Lelungan) dan tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang atau hura-hura (Amati Lelanguan).

Pelaksanaan "Catur Brata" Penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat, ujar Ngurah Sudiana.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home