Studi: Warga Sipil Suriah Jadi Sasaran Serangan
BRUSSELS, SATUHARAPAN.COM – Sebuah studi menyebutkan bahwa warga sipil di Suriah yang menjadi sasaran serangan cenderung sebagai faktor yang memicu krisis pengungsi dari negara yang dilanda perang saudara selama lebih dari empat tahun itu.
Studi yang dirilis pada hari Rabu (30/9) itu menyebutkan seperempat darisekitar 200.000 warga sipil yang tewas dalam konflik Suriah sejak 2011 adalah perempuan dan anak-anak. Tingginya tingkat kematian pada kelompok non-kombatan itu memicu krisis pengungsi.
Proporsi dan penyebab kematian warga sipil tersebut berbeda pada daerah yang dikuasai pemerintah dan pemberontak, kata studi yang dipublikasikan pada British Medical Journal.
Di zona yang dikuasai rezim Presiden Suriah, Bashar al-Assad, sebanyak 23 persen warga sipil yang tewas adalah anak-anak. Di daerah yang dikuasai oleh Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau kelompok oposisi lainnya, korban anak-anak sekitar 16 persen.
Ketika dikaitkan dengan penyebab kematian, data itu menunjukkan kontras yang lebih tajam. Tiga perempat anak-anak yang meninggal di wilayah yang dikuasai kelompok bersenjata non negara dibunuh dengan tembakan pemboman dari udara, sebagian besar dilakukan oleh pasukan rezim.
Di daerah yang dikuasai pemerintah, tidak ada anajk-anak yang mati karena pemboman udara, namun dua-pertiga kematian akibat tembakan saja.
"Pemerintah dan faksi pemberontak di Suriah biasanya mengklaim bahwa target dari bom dan serangan mereka adalah musuh dari kubu mereka," kata catatan studi itu. "Tapi temuan kami menunjukkan bahwa senjata adalah yang paling mungkin menyebabkan kematian anak-anak Suriah."
Pola Sama di Irak
Pola yang sama terjadi dalam konflik selama satu dekade perang di Irak. Tapi kematian pada anak akibat pemboman dan penembakan selama kurun 1991-1995 perang di Kroasia sangat jarang, kata studi tersebut.
Di Suriah, tidak diketahui apakah anak-anak dengan sengaja didijadikan targetkan, atau sekadar dianggap "dampak kerusakan kolateral".
Penelitian itu dipimpin oleh Debarati Guha-Sapir, seorang profesor epidemiologi bencana di Universite Catholique de Louvain di Brussels. Studi ini yang pertama menganalisis dampak berbagai senjata pada warga sipil dalam perang sipil Suriah.
"Kami menemukan bukti bahwa anak-anak dan perempuan kemungkinannya lebih tinggi meninggal karena senjata peledak dan persenjataan kimia, dan penembakan, dibandingkan dengan laki-laki sipil," tulis para peneliti.
Sipil Jadi Target Perang
Laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari bulan Maret 2011 (awal perang) hingga April 2014, ada 191.369 kematian akibat kekerasan di Suriah, baik itu kombatan atau warga sipil.
Dari berbagai sumber, sebagian besar LSM dan kelompok pemantauan , tetapi hanya, yaitu Pusat Dokumentasi Pelanggaran, yang mendata tentang status korban, kombatan atau status sipil, serta bagaimana mereka meninggal.
Studi ini meneliti 78.769 kematian yang tercatat oleh kelompok itu. Sebagian besar, 77.646 terjadi di daerah yang tidak dikuasai pemerintah.
"Studi kami menunjukkan bahwa warga sipil menjadi sasaran utama senjata, dan mereka menanggung akibat pemboman," katanya. "Jika kita mencari akar penyebab krisis migran dan pengungsi di Eropa saat ini, ini pasti kontributor utama," para penulis studi menyimpulkan. (AFP)
Penasihat Senior Presiden Korsel Mengundurkan Diri Masal
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para penasihat senior Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, termasuk kepala...