Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 14:00 WIB | Sabtu, 22 Februari 2014

Suara Rakyat: Tidak Pilih Caleg yang Pasang Spanduk di Pohon!

Pohon di daerah Kalimalang, Bekasi yang ditempeli berbagai spanduk. (Foto: Sotyati)

SATUHARAPAN.COM – Menjelang pemilu, banyak mereka yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif (caleg) yang memasang spanduk di sembarang tempat, termasuk dengan dipakukan ke pohon di pinggir jalan, sehingga pohon menjadi sakit dan tidak sehat. Hal itu bisa menyebabkan pohon mudah tambang. Spanduk lain juga demikian.

Apa komentar masyarakat? Ternyata, semua sepakat tidak setuju.  Rintan Septearima (27) Karyawan BNP2TKI mengungkapkan, “Tidak setuju, karena masih banyak media untuk promosi caleg. Daripada di pohon lebih baik dipasang di bambu terus ditancapkan ke tanah.”  Raditya Padmawangsa (47), karyawan swasta perusahaan jasa konsultan di bidang IT dan manajemen (PT ABeam Consulting Indonesia).

Bahkan ada yang menghubungkan fenomena itu dengan pemanasan global, seperti kata Yepi Bagus (35), karyawan Swasta, “Bumi ini sudah terjadi pemanasan global, polusi udara, ditambah caleg yang memasang spanduk di pohon. Selain dapat merusak lingkungan hijau juga pemandangan jadi terlihat semrawut akibat banyaknya yang memasang spanduk di pinggir jalan dan di pohon.”

Pamela Yuniar Vertikawati (21) Mahasiswa FKIP Jakarta menyoal, “Kalau ingin promosi adakan penyuluhan dong, langsung terjun ke lapangan, lihat langsung rakyatnya.

Ajeng (26), Staff Admin dan konsultan kursus di Bimbel Bahasa Inggris beragumen, “Merusak mata dan lingkungan. Cara itu dinilai kurang efektif dan caleg tersebut tidak menjaga keindahan dan kebersihan kota.” Pendapat ini diamini Lita Tungka (31), dosen di Poso, Sulawesi Tenggara dan Dra. Endang Wilandari (69).

Laras, mahasiswa dari Salatiga juga malah menyindir caleg tersebut, “Nyaleg tidak modal. Seharusnya pasang iklan yang benar dan bayar.” Seperti juga kata Abdul Hakim (44), karyawan, “Tindakan itu juga menggambarkan rendahnya inovasi caleg dalam memperkenalkan diri dan program atau motto mereka.” “Bikin tambah ruwet,” kata Nasir, tukang gorengan sekitar kantor Kanwil Kemenkumham Jakarta, Jl.MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur.

Marwan, seorang redaktur media lingkungan malah lebih keras lagi, “Narsisme yang dilakukan caleg dengan memajang foto/spanduk di pinggir jalan dan di pohon, malah bisa kontra produktif dan tidak simpatik bagi pemilih.”

Mereka pun mencoba berempati. Seperti Desi, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, dan Ady Kristanto, pekerja di sebuah LSM internasional. Mereka sepakat, “Pohon dipaku, pasti berteriak kesakitan.”

Menarik yang dikatakan Drs. Supardan, M.A., (74) pensiunan. Ia  menduga bahwa itu disebabkan oleh ketidaktertiban para caleg sendiri dan tim suksesnya. “Apalagi kalau memasangnya tidak pada waktu yang sudah dijadwalkan pihak KPU,” kata Ujang, warga Tasikmalaya yang sedang nongkrong di sekitar pusat perbelanjaan di Jl. Dewi Sartika.

Melanggar Hukum

Bagaimana dengan legalitas atas pemasangan spanduk di pohon tersebut? Rintan berpendapat, “Ya itu merupakan pelanggaran hukum, pelanggaran hukum alam. Pohon itu kan sudah punya kulit buat apa ditempeli lagi sama spanduk caleg. Coba caleg kalau ditempel di pohon emang enak?”

Rintan mengungkapkan, “Tugas pemerintah untuk selalu mengingatkan para caleg agar tidak melakukan pemakuan di pohon demi mempromosikan dirinya. Tetapi kalau di Indonesia agak susah yah, sepertinya peraturan dibuat untuk dilanggar.”

Ajeng yang tinggal di Cirebon mengungkapkan, “Melanggar. Setahu saya ada aturannya kan pasang-pasang spanduk seperti itu seperti izin, pajak, dan lain-lain.” Ajeng dengan tegas mengungkapkan, “ Cabut setelah pasang. Pemerintah harus tegas. Masyarakat harus galak dan tegas.”

Menurut Raditya, itu termasuk pelanggaran hukum, karena tiap daerah mempunyai perda tentang pemasangan iklan/reklame, yang harus dapat izin dari pemerintah setempat dan harus membayar pajak. Jika para caleg atau capres sekalipun sudah bayar pajak, ya tentunya itu legal.

Hakim yakin, di beberapa kota/kabupaten ataupun provinsi, ada perda yang melarang perusakan pohon atau tindakan yang mengganggu kebersihan dan keindahan lainnya.

Ady mengungkapkan peraturan Pemprov  DKI yang melarang perusakan pohon, “Karena ada peraturan yang melarang untuk menebang atau memotong pohon, Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1988 tentang Ketertiban Umum. Dan, terkadang ketika memasang spanduk pasti ada bagian pohon yang ditebang.

Kalau menurut Marwan ada peraturan KPU juga yang dilanggar. “Pemasangan spanduk di pohon itu merupakan pelanggaran, berdasarkan Peraturan KPU tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif. Pasal 17 peraturan tersebut menyatakan alat peraga kampanye tidak dipasang di tempat-tempat antara lain jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman, dan pepohonan,” kata dia.

Pamela menyarankan, “Mestinya warga dan dinas kebersihan juga harus turut menjaganya. Jika harus menempel spanduk caleg sudah seharusnya disediakan tempat khusus buat menempelkan spanduk atau atribut partai politik.”

“Seperti contohnya di daerah saya kalau mau menempel spanduk tidak asal tempel. Harus izin dan jelas tempat menempelkannya tidak di pohon. Di daerah saya disediakan plang dan tiang, ada juga yang di tempel di pos ronda dari pada di pohon,” Pamela menambahkan.

Sepakat Tolak Caleg Narsis

Seperti diduga, mereka sepakat tidak akan memilih caleg yang memasang spanduk mereka di pohon. Seperti kata Ajeng, Lita, dan Laras, “Tidak.”

“Saya menyarankan bagi para masyarakat di seluruh Indonesia untuk para caleg yang sering memasangkan spanduk di pohon, diingatkan dan mencirikan wajahnya dari partai mana terus jangan dipilih,” kata Yepi.

Vania Kezia, mahasiswa FK Ukrida, juga menolak, “Saya pribadi kemungkinan besar tidak akan memilih caleg tersebut.”

Hakim malah lebih ekstrem, “Karena akan kembali golput, apa pun cara para caleg mengampanyekan diri, saya tidak memilih.” Namun, Ady berusaha bijaksana. Ia berkata, “Diberi tahu dulu kesalahannya apa, syukur-syukur berubah. Kalau tidak, jangan dipilih.”

Saran Mereka

Pamela mengungkapkan, “Kalau saya tidak memandang caleg dari partai mana, asal jelas visi dan misi, dan tidak hanya cuma bicara. Dia harus berbuat dengan apa yang dibicarakannya ke pada rakyat. Langsung turun melihat rakyat, menerima kritikan dan saran. Serta yang terpenting caleg itu harus jelas asal usul pendidikan, tahu politik, terus prestasi dan pengalaman yang dia raih selama terjun di dunia politik.”

Sony Tan, (45)Pengurus Indonesia Certified Human Resources professional (ICHRP) ini mengungkapkan, “Masyarakat tidak akan mencari tahu siapa itu yang tersangkut di pohon. masyarakat akan bersimpati jika si calon bertemu muka dan memperkenalkan diri secara langsung.”

Dengan tegas Sony mengatakan, “Pemilih mempertimbangkan isi kepala si caleg, bukan tampang dan partainya.”

Saran Marwan cukup menarik, “Menurut saya, lebih baik caleg turun langsung ke masyarakat memperkenalkan diri, termasuk visi misi yang ingin diperjuangkan, kedua menggunakan social media atau beriklan di media..baik cetak maupun elektronik..namun kalau mau yang paling murah ya, social media, sudah banyak  success story politisi lokal dan internasional seperti Obama dan Jokowi, terpilih karena pintar memaksimalkan social media..kalau saya tidak terpengaruh dengan spanduk kampanye, tapi tertarik melihat jejak rekam dan personal sang caleg...termasuk kemampuan dia menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat.”

Desi berusaha menengahi, “Bukan masalah memilih yang tidak menempel spanduk, tetapi yang capable saja karena yang menempel spanduk kan bukan si calegnya jadi gak bisa ngejudge dia.”

Supardan menegaskan, “Memilih atau tidak memilih partai atau caleg tidak tergantung pada di mana spanduk kampanye itu dipasang: di pohon, di tiang listrik, atau memakai tongkat yang ditancapkan di tanah.  Saya akan menentukan pilihan partai atau caleg berdasarkan program partai, kualitas, karakter dan komitmen partai atau caleg untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.”  (Ati, Pras, Diah, Andre, Dedy, Alen)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home