Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 13:30 WIB | Kamis, 18 Februari 2016

Tanpa Etika Penyelenggara Pemilu, Demokrasi Bisa Rusak

Ilustrasi: Salah satu pekerja saat meletakkan kotak suara yang sudah selesai dirakit untuk persiapan menyambut pemilu.(Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penyelenggara pemilu di tingkat pusat maupun daerah dituntut untuk menjaga etika dengan menjaga independensinya dan bebas dari kepentingan politik. Bukan hanya penyelenggara pemilunya, melainkan juga keluarga harus ikut menjaga etika dan independensinya.

Hal itu dikatakan oleh pakar kebijakan publik lulusan Virginia Tech University, Gautama Adi Kusuma, dalam menanggapi maraknya penyelenggara dan keluarga dari penyelenggara pemilu di Indonesia yang kerap masuk kedalam ranah politik praktis di saat pemilu berlangsung.

"Etika pertama yang harus dijaga dari orang per orang pemimpin penyelenggara pemilu baik itu pilpres ataupun pilkada adalah bersih dari niat masuk ke dalam politik praktis dan mencari keuntungan atas politik praktis,” kata Gautama Adi Kusuma dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com di Jakarta, hari Kamis (18/2).

Gautama mengatakan, penguatan etika dan independensi itu akan mendorong penyelenggaran pemilu baik itu pilpres atau pilkada menghindari sebuah industri politik yang dipenuhi oleh pemain-pemain di internal KPU dan membuat para mafia politik menguasai kondisi perpolitikan di Indonesia.

Di Amerika Serikat, negara yang sudah matang tingkat demokasinya, lanjut Gautama, hal yang paling sakral dipegang adalah soal etika. Komisi Pemilu Umum Amerika Serikat, yang di sana disebut FEC (Federal Election Commission), amat tegas memegang etika.

"Seperti tidak boleh pemimpin penyelenggara pemilu bertemu dengan pihak-pihak yang sedang bertarung dan mengambil keuntungan darinya, atau istri atau suami dari penyelenggara pemilu hadir dalam kegiatan kampanye dan menyatakan dukungan politik kepada kandidat tertentu," kata dia.

Ia menjelaskan, di Indonesia amat brutal dalam soal fatsoen atau etika politik. Ia mencontohkan seperti kejadian baru-baru ini di Kalimantan Tengah, ada gugatan PDIP yang menyatakan bahwa istri dari Ketua KPUD, yang menurut laporan PDIP, ikut dalam kampanye salah satu kandidat dan diindikasi sebagai tim sukses.

"Bila itu terjadi, dan bukti dari PDIP benar, ini harus jadi catatan tersendiri, seperti adanya pilkada ulang dan harus benar-benar dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang dijamin kenetralannya," kata dia.

Karena bila tidak, maka preseden ini bisa jadi sumber niatan buruk para pelaku politik untuk menjadikan KPU sebagai alat intervensi baik itu politik uang ataupun iming-iming ikut masuk dalam kekuasaan.

"Maka dalam hal ini DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) harus tegas dalam mengambil keputusan dan juga berhati-hati, bila indikasi permainan penyelenggaraan pemilu, maka KPU akan jadi sasaran utama permainan politik dan ini amat bahaya dalam perkembangan demokrasi di Indonesia," kata dia.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home