Loading...
INDONESIA
Penulis: Wim Goissler 10:53 WIB | Selasa, 08 Mei 2018

Terungkap Motif Rahasia Australia Dukung Invasi RI ke Timor Leste

Kim McGarth (Foto:joy.org.au)

CANBERRA, SATUHARAPAN.COM - Harian terkemuka Inggris, The Guardian, menurunkan laporan yang mengatakan sejumlah dokumen yang baru saja dideklasifikasi mengungkapkan bahwa dukungan Australia terhadap invasi Indonesia atas Timor Leste pada pertengahan dekade 1970-an bukan karena alasan persahabatan dan menghormati kedaulatan negara tetangga. Dukungan itu lebih didorong oleh keinginan atas hak-hak minyak dan gas di perbatasan kedua negara.

Dokumen-dokumen itu, yang berasal dari awal 1970-an, termasuk di antara dokumen yang menjadi bahan sengketa kebebasan informasi yang sudah lama berlangsung antara seorang akademisi Australia dan lembaga Arsip Nasional Australia.

Sidang selama lima hari atas kasus ini berlangsung pekan lalu di Pengadilan Banding Adiministratif (Administrative Appeal Tribunal). Sebagian besar bukti-bukti dari pemerintah diberikan secara tertutup. Pemohon sidang, yaitu akademisi dan penulis, Kim McGrath, serta pengacaranya, dicegah untuk mendengar alasan pemerintah secara berturut-turut memblokir permohonan informasi pemohon selama beberapa tahun. 

Berdasarkan Undang-Undang Kearsipan, dokumen kabinet dibuka untuk umum setelah 30 tahun, dengan pengecualian. Namun, selama sidang, Arsip Nasional merilis beberapa dokumen yang dipermasalahkan, termasuk surat-surat kabinet dan kabinet  kabel diplomatik.

McGrath mengklaim bahwa dokumen-dokumen itu mendukung temuan penelitiannya bahwa pemerintah Federal tampaknya sengaja menyembunyikan adanya kepentingan Australia atas cadangan minyak dan gas dari sejarah diplomatik Australia dengan Indonesia dan Timor-Leste.

Indonesia menyerbu Timor-Leste pada tahun 1975, dan pada tahun 1979 Australia menjadi satu-satunya negara Barat yang secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Leste. Pendudukan dengan kekerasan atas negara itu berlanjut sampai 1999.

McGrath, yang tahun lalu menerbitkan sebuah buku berjudul Crossing the Line: Australia's Secret History in the Timor Leste, mengatakan dokumen-dokumen yang dipublikasikan minggu ini memberi kesan bahwa pemerintah Australia “malu” untuk mengungkapkan secara terbuka bahwa negosiasi perbatasan adalah masalah utama yang memotivasi Australia untuk memberikan legitimasi terhadap pendudukan Indonesia.

“Bukan hanya karena kita ingin memuaskan Indonesia demi keramahan kepada Tetangga yang Besar. Itu karena kita memiliki kepentingan komersial langsung."

Pada 1978, sebuah usul muncul dari kabinet baru Australia yang dikemukakan oleh Menlu waktu itu, Andrew Peacock. Gagasan itu membahas implikasi dari perubahan kebijakan Australia atas Timor Leste, apakah akan menyatakan  pengakuan "de facto", yaitu mengakui Timor-Leste secara efektif tetapi informal di bawah kendali Indonesia, atau secara resmi menyatakan "de jure ” pengakuan kedaulatan Indonesia.

Pengakuan de jure akan memungkinkan kedua negara untuk bernegosiasi secara formal.

"Dalam materi yang dirilis, ada baris kalimat yang biasanya menyatakan, 'perkembangan alamiah dan mantap untuk pengakuan de facto' dan kemudian itu disunting dalam beberapa baris berikutnya," kata McGrath.

“Apa yang terungkap di balik tinta hitam adalah bahwa hal itu dilanjutkan dengan mengatakan 'dan akhirnya, dengan adanya perkembangan internasional, penerimaan penuh Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia memungkinkan negosiasi batas dasar laut antara Australia dan Indonesia yang merupakan garis yang hilang (missing link) di perbatasan dengan Timor Leste'.”

Usulan yang diajukan Peacock - yang telah vokal menentang tindakan Indonesia - merekomendasikan pemerintah Australia seharusnya menggunakan istilah "penerimaan penuh" sebelum bergerak menuju pengakuan de jure, yang akan memungkinkan percepatan menuju negosiasi. Tetapi kabinet kemudian mengubahnya dan menggunakan kata de facto, yang secara efektif menyabot upaya-upaya percepatan negosiasi, kata McGrath.

Saran lain adalah agar permulaan negosiasi dijadikan simbol pengakuan resmi Australia terhadap kedaulatan Indonesia. Namun pada saat yang sama diingatkan juga agar jangan sampai hal itu membuat Australia terlihat cemas, agar jangan sampai Indonesia menggunakannya untuk menawar harga yang lebih baik bagi mereka sendiri.

Semua proses ini terjadi di tengah situasi kemanusiaan yang memburuk di Timor-Leste.

McGrath mengatakan dokumen yang dirilis juga menggambarkan upaya pemerintah untuk menghindari serangan balik dari publik. Pada saat itu, anggota masyarakat dan beberapa anggota parlemen merasa tidak nyaman dengan diplomasi Australia dengan Indonesia dan marah tentang pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kelaparan massal, di Timor-Leste, yang mencapai puncaknya pada tahun 1978.

Sementara tetap kritis terhadap invasi RI atas Timor Leste, pada awal 1978 Peacock secara terbuka membenarkan Australia memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Indonesia dan mengakui kedaulatannya atas Timor Leste. Alasannya, adalah karena hal itu diperlukan untuk bekerja dengan pemerintah RI dalam rangka memberikan bantuan kemanusiaan ke Timor-Leste dan memfasilitasi reuni keluarga.

Pada saat yang sama, kata McGrath, pernyataan publik tentang negosiasi perbatasan sama sekali tidak ada.

Pada bulan Desember, Peacock dan menteri luar negeri Indonesia saat itu, Mochtar Kusumaatmadja, mengumumkan pengakuan Australia terhadap Timor Timur yang secara bersamaan  ditandai dengan dimulainya negosiasi dasar laut dengan Indonesia.

Dua kabel diplomatik tahun 1972 juga terungkap, termasuk salah satu dari duta besar Australia untuk Indonesia, yang menunjukkan bahwa pemerintah Australia sepenuhnya sadar akan hukum internasional yang cenderung berlawanan terhadap posisi Australia dalam negosiasi perjanjian perbatasan dengan Indonesia.
 
Perundingan perbatasan maritim antara Australia dan Indonesia kala itu memang rumit dan sulit, berlangsung selama beberapa dekade yang ditandai oleh rusaknya hubungan akibat perselisihan diplomatik dan tuduhan spionase.   Namun, Maret lalu sebagian besar kekisruhan itu berakhir, karena Timor-Leste dan Australia menandatangani perjanjian yang menyetujui perbatasan maritim permanen. Dalam perjanjian itu juga disepakati membangun daerah "rezim khusus" untuk berbagi ladang gas bernilai miliaran dolar yang belum tergali di Laut Timor. Bagaimana persisnya hal itu akan dibagi, tetap dipertanyakan.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan para pengamat mengklaim perjanjian itu memastikan bahwa Australia telah mengambil keuntungan selama bertahun-tahun dari sumber daya yang selama ini adalah milik Timor-Leste. Namun, Menteri luar negeri, Julie Bishop, mengatakan kepada Guardian Australia bahwa perjanjian itu membentuk kerangka kerja pembangunan bersama "untuk kepentingan kedua negara".

"Kedua pemerintah menganggap perjanjian ini adil dan setara," katanya.

Bishop menolak berkomentar tentang hal-hal lain di sidang AAT.

Pada awal sidang pengadilan, 24 dokumen dinyatakan tetap dalam sengketa, sembilan di antaranya dibuat oleh departemen luar negeri, sisanya oleh departemen jaksa agung, kantor kabinet, dan departemen wilayah eksternal, sumber daya alam, dan perdana menteri dan kabinet.

Mayoritas dari dokumen itu terkait dengan negosiasi antara Australia dan Indonesia pada batas-batas landas kontinen dan hukum delimitasi laut dengan Timor-Leste.

Seorang juru bicara Gordon Legal, yang mewakili McGrath pro bono dalam kasus tersebut, mengatakan bahwa sidang tertutup yang memberikan kesempatan pemerintah membela keputusan menahan dokumen itu "sangat memprihatinkan".

“Transparansi dan akuntabilitas di pihak pemerintah adalah bagian penting dari demokrasi kita, faktanya kita tidak dapat menyelidiki mengapa pemerintah tidak akan menyerahkan dokumen dalam kasus ini, sehingga membuat Kim [McGrath] tetap lebih banyak mendapatkan pertanyaan daripada jawaban dalam mengejar kebenaran tentang keterlibatan kita di Timor. ”

Arsip Nasional telah dihubungi untuk dimintai komentar. (The Guardian)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home