Loading...
EKONOMI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 17:15 WIB | Senin, 23 November 2015

Tiga Negara Tertarik Adopsi SVLK

Ilustrasi: Pelaku usaha industri kecil furnitur, Zainul Arifin, berada di area tempat usahanya.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebanyak tiga negara yakni Vietnam, Myanmar, dan Malaysia tengah mendekati Indonesia untuk mengadopsi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sistem yang merupakan alat untuk memastikan legalitas kayu serta pengelolaan hutan lestari.

"Memang saat ini mereka belum punya (SVLK), namun mereka mendekati kita untuk belajar karena mereka tidak akan bisa masuk ke Uni Eropa," kara Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ida Bagus Putera Parthama, di Jakarta, hari Senin (23/11).

Putera mengatakan, saat ini ketiga negara tersebut masih berada pada tahapan datang ke Indonesia untuk mempelajari SVLK, atau mengundang Indonesia ke masing-masing negara untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana sistem tersebut dijalankan.

Kemendag Hapus SVLK

Namun, meskipun sistem tersebut tengah dilirik oleh negara lain, khususnya yang berada di wilayah ASEAN, Indonesia sendiri tidak mewajibkan penyertaan Dokumen V-Legal untuk ekspor produk industri kehutanan yang masuk dalam golongan B, namun harus disertai dokumen yang dapat membuktikan bahwa bahan baku dari produk tersebut berasal dari penyedia bahan baku yang memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).

Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, di mana produk industri kehutanan kelompok B tersebut terdiri atas 15 Nomor Pos Tarif (HS).

"Permendag tersebut membebaskan 15 HS Code untuk SVLK, namun peraturan dirjen akan kita susun sedemikian rupa yang menyebutkan klausul bukan berarti bisa menggunakan kayu ilegal," kata Putera.

Menurut Putera, saat ini, kayu-kayu ilegal sesungguhnya masih banyak yang beredar di Indonesia. Sementara jika SVLK hanya diterapkan untuk kayu-kayu dari sektor hulu, hal itu dirasakan masih belum mencukupi.

"Industri mebel itu kayunya bisa datang dari mana saja. Tidak cukup dari hulu saja (untuk SVLK), karena kayu ilegal itu masih banyak. Nanti kita minta Menko Perekonomian untuk menjembatani," ujar Putera.

Kementerian Perdagangan tidak lagi mewajibkan penyertaan Dokumen V-Legal untuk ekspor produk industri kehutanan yang masuk dalam golongan B, namun harus disertai dokumen yang dapat membuktikan bahwa bahan baku dari produk tersebut berasal dari penyedia bahan baku yang memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).

Dalam aturan yang ditetapkan pada 19 Oktober 2015 tersebut, produk industri kehutanan yang termasuk dalam kelompok B di antaranya adalah perabotan kayu, perkakas, dan juga bingkai kayu. Dokumen V-legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sementara untuk yang masuk dalam kelompok A, wajib dilengkapi dengan Dokumen V-Legal yang diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK). Produk industri kehutanan yang masuk dalam kelompok A khususnya berupa bahan baku, di antaranya adalah kayu dalam bentuk keping, lembaran kayu veneer, papan partikel, pulp kayu, kertas dan kertas karton, serta kayu lapis.

Peraturan tersebut akan mulai berlaku 30 hari sejak tanggal diundangkan dan menganulir Permendag No. 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Permendag No. 66/M-DAG/PER/8/2015.

Peraturan baru itu merupakan salah satu turunan dari Paket Deregulasi dan Debirokratisasi Perdagangan, yang merupakan langkah lanjutan dari pemerintah setelah dikeluarkannya Paket Kebijakan Ekonomi September 2015 Tahap I beberapa waktu lalu. (Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home