Tokoh Gereja: Papua Sudah Lama Ingin Merdeka
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Diangkatnya isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) oleh sejumlah negara dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pekan ini mengungkit lagi persoalan utama yang sudah sangat lama menghinggapi provinsi paling timur Indonesia itu. Persoalan itu adalah pelanggaran HAM di Papua yang sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia sejak lebih dari dua dekade lalu tetapi sampai kini tidak ada perubahan.
Akibatnya, rakyat Papua sudah sejak lama ingin merdeka dan meminta Indonesia melepaskannya dengan baik-baik. Permintaan itu bahkan sudah pernah disampaikan secara resmi kepada pemerintah Indonesia di Istana Negara, dihadiri oleh pejabat-pejabat resmi.
Hal ini dikatakan oleh Pendeta Karel Phil Erari, Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) serta mantan Sekretaris Umum Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, dalam percakapan dengan satuharapan.com Kamis (23/6) di Jakarta.
Karel Phil Erari adalah salah satu dari Tim 100, yang pada tanggal 26 Februari 1999 menghadap Presiden Indonesia, B.J. Habibie, secara resmi, mewakili rakyat Papua untuk menyampaikan keinginan merdeka. Tim 100 dibentuk ketika itu karena maraknya aksi unjuk rasa di Papua yang menginginkan merdeka. Alasan keinginan untuk merdeka, menurut Erari, adalah karena pelanggaran HAM di Papua yang tidak pernah selesai. Bukan karena alasan kesejahteraan.
"Mengenai masalah pelanggaran HAM sudah berulang kali disampaikan kepada pemerintah Indonesia secara terbuka, di Istana sejak 1998. Kalau lewat media yang lain sudah banyak. Tetapi secara resmi disampaikan di Istana 26 Februari 1999. Itu sebagai alasan mengapa Tim 100 minta untuk Papua dilepaskan dengan baik-baik, dengan terhormat. Lalu respons Habibie adalah permintaan itu baik tetapi pulanglah dan renungkan itu," kisah Phil Erari.
Lalu, lanjut dia, tentang pelanggaran HAM tersebut B.J. Habibie mengutip pernyataan Yesus di kayu salib, yaitu "Ampunilah mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM karena mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan."
Namun, kata Erari, ucapan Yesus itu sebetulnya tidak tepat dalam kasus pelanggaran HAM Papua. "Saya kira yang terlibat itu bukan tidak tahu apa yang mereka lakukan, tetapi mereka sengaja melakukan itu. Mereka tahu membunuh itu dilarang oleh agama," kata dia.
Oleh karena itu, kata dia, kala itu mereka meminta agar Papua dimerdekakan saja, karena negara gagal memperbaiki pembangunan di Papua.
"Hal itu secara resmi disampaikan dan secara terbuka, disaksikan oleh Mendagri, Kapolri, semua ring satu istana hadir ketika itu. Suara itu sudah disampaikan tetapi tidak ada perubahan sampai hari ini," kata Erari.
Dengan latar belakang sejarah itu, kata Erari, yang perlu merenung dan berpikir saat ini bukan rakyat Papua melainkan justru pemerintah Indonesia. Apa yang dapat dilakukan untuk mengakhiri pelanggaran HAM di Papua?
"Apakah mengakhiri pelanggaran HAM di Papua dapat dilakukan lewat suatu kebijakan khusus?. Ini yang saya mau sampaikan kepada Pak Jokowi," kata dia.
Menurut Erari, kalau tidak ada pelanggaran HAM di Papua, Papua tidak ingin merdeka. "Kalau tidak ada pelanggaran HAM, Papua baik-baik saja, karena banyak orang Indonesia datang ke Papua mau membangun Indonesia dengan baik-baik. Tetapi ada orang Indonesia yang datang merampok. Kita menghargai orang Indoensia yang datang untuk membangun. Tetapi mereka yang datang untuk merampok, itu harus ditegur," ia mengatakan.
Erari juga mengeritik upaya mendekati permasalahan Papua dengan melakukan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan. "Kalau pelanggaran HAM tidak diselesaikan, rakyat Papua tidak akan sejahtera," tutur dia.
Erari mendorong agar Jakarta membangun dialog yang menyeluruh dengan semua elemen di Papua, bukan seperti yang diinisiasi oleh Menkopolhukam Luhut Pandjaitan, yang menurut dia, hanya mendekati orang-orang pilihan pemerintah.
"Saya kira kalau orang Papua yang murni, dari adat, dari gereja, itu jelas mereka ingin ada perubahan. Tidak boleh ada pelanggaran HAM, bahkan mereka mau merdeka. Ini yang harus dikatakan kepada pemerintah Indonesia. Orang Papua itu sudah lama ingin merdeka karena pelanggaran HAM," kata dia.
Ia memahami Menkopolhukam Luhut memiliki niat baik untuk memperbaiki keadaan. Namun, jika ingin mengakhiri pelanggaran HAM, seharusnya ia berbicara dengan semua orang. "Bicaralah dengan pimpinan gereja, tokoh gereja, tokoh adat, tokoh perempuan, akademisi. Dan tidak boleh lagi, Papua diciptakan sebagai wilayah konflik. Jangan lagi jadikan pembangunan Papua sebagai proyek. Itu yang membuat Papua tidak ada perubahan sampai saat ini."
Editor : Eben E. Siadari
Pancasila Jadi Penengah Konflik Intoleransi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Leonard Chrysostomos Epafras ...