Loading...
FOTO
Penulis: Eben E. Siadari 23:06 WIB | Jumat, 17 Juli 2015

Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri

Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Shinta Ratri, seorang waria yang memimpin asrama waria di pesantren Al Fatah, sedang solat pada 8 Juli 2015 lalu (Foto-foto: Ulet Ifansasti/Huffington Post/GettyImages)
Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Jamaah Al Fatah salat pada bulan Ramadan 2015
Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Pesantren Al Fatah merupakan oase bagi transgender yang sering tersisihkan
Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Penduduk mayoritas Indonesia adalah Muslim, tetapi transgender Muslim sering tidak memiliki tempat untuk beribadah, kecuali di satu dari sedikit pesantren yang menerima mereka, seperti pesantren Al Fatah.
Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Salat bersama para trasngender Yogya saat-saat menemukan momen hening.
Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Para transgender berbuka puasa bersama pada 12 Juli lalu.
Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Inez merias diri di pesantren Al Fatah.
Transgender Yogya Menyambut Hari yang Fitri
Inez khusyuk dalam doa

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Transgender, istilah yang relatif baru di Indonesia, dulunya dikenal dengan sebutan Wadam, atau wanita Adam, atau Waria, Wanita Pria. Banyak di kalangan mereka berpendapat bahwa hanya tubuh mereka yang pria, tetapi jiwa mereka sesungguhnya adalah wanita.

Di tengah masih luasnya penyisihan oleh sementara kalangan masyarakat akan kehadiran mereka, termasuk dari kalangan agama, di Yogyakarta para transgender Muslim menemukan oase di sebuah pesantren bernama Al-Fatah. Pesantren ini secara teratur menjadi pertemuan sesama mereka untuk salat dan mendengar ceraham tentang Islam.

Menurut Stephen Suleeman, Dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta  yang banyak terjun dan mendalami isu-isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual and Transgender), seperti jutaan umat Islam di seluruh dunia yang juga mengambil bagian dalam puasa, selama Ramadan para trasngender itu  pun menjauhkan diri dari makanan dan minuman di siang hari. Mereka juga mendengarkan dengan tekun ketika Al Quran dibacakan. Mereka juga mengunjungi makam kerabat dan transgender lainnya yang sudah meninggal.

Ketika matahari terbenam, mereka berbuka puasa bersama seperti sebuah keluarga di Al-Fatah, satu dari sedikit pusat spiritual yang memberikan ruang bagi orang-orang dari 'jenis kelamin ketiga.'

The Huffington Post, selain majalah Time, menampilkan foto-foto para transgender itu ketika menjalani bulan Ramadan menyambut Idul Fitri, yang ditampilkan ulang di sini. Pesantren Al Fatah,   didirikan oleh waria bernama Maryani, yang tujuannya untuk membantu sesama waria Muslim berkumpul dan beribadah dengan bebas.

Menurut Stephen Suleeman kepada Huffington Post, waria yang terlihat populer dalam budaya pop Indonesia, sesungguhnya sering menjadi korban diskriminasi di dunia nyata. Mereka belum diterima oleh masyarakat Indonesia yang lebih luas, kata Suleeman.

"Mereka muncul dalam berita, film, pada komedi TV, dll," kata Suleeman, yang di STT mengelola program yang berkaitan dengan isu-isu LGBT.  "Tapi hanya sebagai penghibur. Orang belum memberi mereka status penuh secara sama dengan dua jenis kelamin lainnya," kata dia dalam jawaban melalui surat elektronik.

Berikut ini aktivitas para transgender itu, sebagaimana ditangkap oleh kamera fotografer purnawaktu, Ulet Ifansasti.

Editor : Eben E. Siadari

Baca Juga:

Foto Waria Salat Bersama di Pesantren Yogya Menangi Penghargaan Dunia

Maria Magdalena Melawan  Diskriminasi Gender


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home