Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 17:02 WIB | Rabu, 08 Juni 2016

Ulil: Dugaan Pemerasan Terhadap Gereja Sudah Ada Sejak Dulu

Ilustrasu. Menag didaulat oleh panitia untuk mengenakan baju kebesaran Batak Karo, mulai dari kain sarung songket, selempang, sampai pada topi khas Batak. Dijelaskan oleh panitia bahwa pakaian yang dikenakan Menag menandakan kehormatan dan kemuliaan. Usai mengenakan pakaian tersebut, panitia lalu mengumumkan bahwa Menag bersedia untuk diberikan Marga Barus. (Foto: kemenag.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Cendekiawan Muslim Ulil Abshar Abdalla mengakui bahwa dugaan adanya pemerasan terhadap gereja sudah ada sejak lama.

Untuk itu, “Harus ditindak tegas pelaku pemerasannya,” kata politikus Partai Demokrat itu kepada satuharapan.com, hari Rabu (8/6).

Jumat lalu, Komnas HAM bertemu dengan sejumlah pemimpin gereja di Bandung. Dari pertemuan tersebut terungkap ada beberapa ormas diduga memeras gereja-gereja di sekitar kota Bandung. Dalihnya, bangunan tempat ibadah itu tidak berizin.

Seperti kata Ulil, Komnas HAM menyebutkan bahwa kasus pemerasan seperti itu akan terus berlanjut apabila pemerintah tidak mampu bersikap tegas menghadapi kelompok-kelompok antitoleran yang main hakim sendiri.

“Poin yang ingin diungkap oleh Komnas HAM adalah, bahwa ketidaktegasan pemerintah terhadap aksi main hakim sendiri oleh kelompok intoleran itu berbuntut pada aksi premanisme, pemerasan dan kejahatan yang lain,” kata komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, hari Senin (6/6) sore.

Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Ulil Abshar Abdalla. (Foto: Dok. pribadi)

Lebih lanjut dia mengatakan, sikap pemerintah daerah dan pusat yang “membiarkan status” sebagian gereja-gereja tanpa izin, ikut menyuburkan praktik pemerasan.

Karena itu, Komnas HAM meminta pemerintah melakukan langkah simultan untuk mendampingi pimpinan gereja untuk mengurus izinnya.

“Mana yang memenuhi perizinan segera diterbitkan izinnya, mana yang belum (keluar izinnya) ditanya kesulitannya apa dan dibantu bagaimana cara memenuhi persyaratannya,” kata Imdadun.

RUU PUB Lebih Parah daripada Perber

Ketika ditanya solusi terkait pemerasan gereja oleh ormas keagamaan dengan dalih izin yang belum keluar, salah satu Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt Albertus Patty mengatakan, “Hanya bisa dihadapi dengan komitmen aparat negara terhadap penegakan hukum dan konstitusi negara.”

Pendeta GKI Maulana Yusuf Bandung ini melanjutkan, “Perlu desakralisasi terhadap kelompok-kelompok intoleran berjubah agama yang sering melakukan aksi penutupan rumah ibadah. Karena, aksi-aksi mereka bukan saja melanggar hukum dan konstitusi, melainkan juga aksi mereka bermotif sangat jauh dari nilai-nilai agama.”

Sekelompok orang menggelar unjuk rasa mempertanyakan izin pendirian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Bandung, Minggu (10/04) lalu. (Foto: bbc.com/pgi.or.id)

Ketika disoal tentang penghapusan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dan Mendagri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, Pdt Berti tidak setuju. “Penghapusan Perber bukan solusi mengatasi kasus pemerasan,” katanya.

“PGI pun tidak pernah merekomendasikan penghapusan Perber. Karena, akan terjadi kekosongan hukum lalu menjadi jalan disahkannya RUU PUB yang lebih bermasalah.”

Draf RUU PUB—Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama—sudah beredar untuk mendapat tanggapan dan masukan dari masyarakat. Sejak awal tahun lalu draf ini mendapat kritik keras dari berbagai tokoh agama karena isinya malah memicu konflik di tengah masyarakat. Campur tangan pemerintah terhadap kehidupan beragama rakyatnya juga makin kuat.

Kisah GBKP Bandung Timur

Salah satu korban pemerasan adalah Gereja Bata Karo Protestan (GBKP) Bandung Timur. Bangunan gereja itu terletak di Jalan Kawaluyan, Kecamatan Buah Batu, Bandung.

Pengurus gereja mengakui telah mengurus proses perizinan sejak tahun 2007. Namun, persyaratan dukungan warga yang sudah diperoleh masih terus dipermasalahkan. Bahkan, setelah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Komnas HAM sudah membuat tim verifikasi terhadap dukungan warga, tetap saja dipermasalahkan. Bahkan saat April lalu hendak diresmikan oleh wali kota sendiri, penolakan warga makin kencang.

“Berkali-kali didemo sehingga gereja sempat tidak bisa dipakai. Dan pada akhir 2015, justru ormasnya datang dan minta Rp 200 juta supaya gereja bisa difungsikan,” kata Sura Purba Saputra, pendeta dan ketua majelis jemaat GBPK Bandung Timur, Senin malam kepada BBC.

Sura mengaku menolak memenuhi tuntutan sekelompok orang itu. “Permintaan itu tidak logis dan tentu tidak ada jaminan, apakah nanti tidak kita diperas lagi,” katanya.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home