Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 13:37 WIB | Sabtu, 16 April 2016

Ulil Kritik Hukum Cambuk Perempuan Kristen Aceh

Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Ulil Abshar Abdalla. (Foto: Dok. pribadi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Ulil Abshar Abdalla, mengkritik pelaksanaan hukuman cambuk sebanyak 30 kali yang diberikan kepada seorang perempuan beragama Kristen di Provinsi Aceh, hari Selasa (12/4) lalu.

Menurutnya, tidak adil memberlakukan hukum Islam untuk umat beragama lain.

“Pelaksanaan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat seharusnya hanya untuk umat Islam, tidak adil bila diberlakukan untuk kaum non-Muslim,” kata Ulil kepada satuharapan.com, di Kantor ICRP, Jalan Cempaka Putih Barat XXI No. 34, Jakarta Pusat, hari Jumat (15/4) malam.

“Tidak bisa itu,” dia menegaskan.

Ulil mencontohkan, Qanun Jinayat memuat larangan tentang minuman keras (khamar). Menurutnya, larangan tersebut tidak bisa diterapkan kepada umat beragama lain. Karena agama selain Islam, belum tentu memiliki larangan yang berkaitan dengan minuman keras.

“Tidak adil, hukum yang bersifat keagamaan tidak bisa diberlakukan untuk umat beragama lain,” ujar Ulil.

Perlu Kajian Ulang

Berangkat dari peristiwa yang dinilainya tidak adil tersebut, Ulil menyatakan, Qanun Jinayat perlu ditinjau kembali dengan pemikiran yang serius agar tidak menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat.

“Qanun-qanun di Provinsi Aceh banyak yang justru menimbulkan masalah dan menimbulkan kecaman dari publik. Pemerintah daerah harusnya mempertimbangkan kritik itu, karena kritik itu membuat citra Aceh kurang menarik,” kata Ulil.

Selain itu, dia khawatir, kebijakan yang berlaku di Provinsi Aceh akan menginspirasi wilayah lain di Indonesia untuk memberlakukan hal serupa. “Karena ini agama dan karena agama pasti dianggap benar,” kata Ulil.

Cara Kuno

Padahal, menurutnya, pelaksanaan hukuman badan dengan mencambuk, sudah kuno atau ketinggalan zaman. Terlebih, ketika eksekusi hukuman tersebut dapat disaksikan masyarakat umum secara bebas.

Dia berpendapat, cara mempermalukan seperti itu tidak mendidik.

“Itu seperti yang terjadi di benua Eropa pada abad pertengahan, primitif. Seperti di desa, bila ada pelanggaran asusila, pelakunya diarak ramai-ramai keliling desa,” katanya.

“Itu tidak mendidik,” sosok yang merupakan Ketua Jaringan Islam Liberal (JIL) itu menambahkan.

Qanun Jinayat secara resmi berlaku sejak bulan Oktober 2015 silam, setelah masa sosialisasi selama satu tahun selesai. Beberapa jenis pelanggaran yang termuat di dalam Qanun ini, antara lain, Khamar (miras), Maisir (judi), Khalwat (mesum), Ikhtilath (bercumbu), Zina (bersetubuh tanpa ikatan perkawinan), Liwath (gay), Mushaqah (lesbian), Qadzaf (menuduh orang melakukan zina).

Bagi yang melanggar akan dikenai hukuman cambuk. Jumlah cambuk tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan.

Perkembangan terkini, seorang wanita non muslim dicambuk sebanyak 30 kali di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, karena dianggap bersalah telah menjual minuman beralkohol. Wanita berusia 60 tahun itu dicambuk di hadapan ratusan penonton pada hari Selasa (12/4).

Pada hari yang sama, sepasang wisatawan Jerman dilaporkan ditegur oleh aparat setempat dan dilepaskan dengan peringatan karena mengenakan bikini di salah satu pantai Aceh.

Meskipun hukum agama sebelumnya hanya berlaku untuk umat Islam, amandemen yang mulai berlaku tahun lalu memperluas jangkauannya ke penganut  agama lain dalam kasus-kasus tertentu, menurut seorang pejabat dari kantor kejaksaan Aceh Tengah.

Hukuman cambuk terhadap non muslim ini adalah untuk pertama kalinya.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home