Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:14 WIB | Jumat, 15 April 2016

JKLPK: Qanun Jinayat di Aceh Bertentangan dengan UUD 1945

Direktur Eksekutif Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen, Woro Wahyuningtyas. (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) menilai Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat bertentangan dengan sejumlah poin yang terkandung dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

“Kami berpendapat, hukum Qanun Jinayat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 dalam beberapa hal,” kata Direktur Eksekutif JKLPK, Woro Wahyuningtyas, dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Jumat (15/4).

Dia menjabarkan, pertama, bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) yang menyatakan, ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

“Hukuman cambuk di hadapan orang banyak meruntuhkan martabat diri seseorang. Ketika masa hukuman selesai, maka si pelaku akan mengalami konflik batin di lingkungannya karena sudah terlanjur malu dan merasa rendah diri,” ucap Woro.

Kedua, bertentangan dengan Pasal 28 H (1) yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkunganhidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Menurutnya, setiap orang berhak atas hidup sejahtera lahir dan batin. “Pelaku hukuman cambuk akan sulit mendapatkan hak ini karena sudah dipermalukan di depan umum,” katanya.

Ketiga, Woro menilai Qanun Jinayat bertentangan dengan Pasal 28 I (1) yang menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Artinya, kata dia, setiap orang berhak untuk tidak disiksa. Dengan tegas, Woro menyatakan, pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum jelas-jelas merupakan legalisasi penyiksaan.

Terakhir, dia menilai, Qanun Jinayat bertentangan dengan Pasal 28 I (2) yang menyatakan, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif,” tutur Woro.

Qanun Jinayat secara resmi berlaku sejak Oktober tahun 2015, setelah masa sosialisasi selama satu tahun selesai. Beberapa jenis pelanggaran yang termuat di dalam Qanun ini, antara lain, Khamar (miras), Maisir (judi), Khalwat (mesum), Ikhtilath (bercumbu), Zina (bersetubuh tanpa ikatan perkawinan), Liwath (gay), Mushaqah (lesbian), Qadzaf (menuduh orang melakukan zina).

Bagi yang melanggar akan dikenai hukuman cambuk. Jumlah cambuk tergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan. Perkembangan terkini, seorang wanita non muslim dicambuk sebanyak 60 kali di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, karena dianggap bersalah telah menjual minuman beralkohol. Hukuman cambuk terhadap non muslim ini adalah untuk pertama kalinya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home