Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 09:40 WIB | Sabtu, 02 Juli 2016

Washington Post: Donald Trump Promosikan Injil Kemakmuran

Bakal calon presiden Donald Trump berkampanye pada 14 Maret 2016 di Vienna Center, Ohio. Rival Trump di Partai Republik sulit membendung pencalonannya setelah terjadi kerusuhan pada saat kampanyenya. (Foto: AFP)

SATUHARAPAN.COM – Calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald J Trump mempromosikan Injil Kemakmuran. Opini Guru Besar Filosofi Florida International University di bawah ini menanggapi James Dobson yang menyebut Trump adalah orang Kristen lahir baru—istilah kaum Evangelikal untuk orang Kristen berkomitmen ulang dengan imannya.

Berny Belvedere mengawali tulisannya di washingtonpost.com, Senin (27/6), dengan kalimat, “Anda tidak bisa percaya miliarder mengutip Khotbah di Bukit.” Kutipan dari salah satu lagu Band Arcade Fire. Memang, sulit untuk melihat bagaimana gerakan yang pendirinya dieksekusi dan para pemimpin paling awalnya mati syahid dapat dikaitkan dengan kesuksesan duniawi.

Namun, itulah yang dilakukan beberapa pendeta Kristen—pendeta yang mempromosikan “Injil Kemakmuran”, kredo bahwa iman kita dapat membuat kita kaya tidak hanya di surga, tapi di bumi. Ini mungkin tidak mengejutkan bahwa salah satu pengkhotbah awal Injil Kemakmuran, Norman Vincent Peale, adalah pendeta masa kecil Donald J Trump.

Kemakmuran adalah pesan Trump yang ia bawa sejak itu.

Padahal, pesan yang disampaikan Trump dan para pengkhotbah itu—khotbah kemenangan tanpa henti, kemuliaan dalam urusan pribadi dan profesional—hampir tidak dikenal di Injil.

Yesus dan para rasul menjalani kehidupan pelayanan melampaui kemuliaan duniawi. Pengikut awal Yesus Kristus—pada abad kedua oleh kritikus Celsus dicirikan sebagai “individu yang bodoh dan rendah” –sering menerima penghinaan tanpa menolak. Mereka menganggap penganiayaan itu sebagai persembahan kepada Allah.

Penyembahan Trump pada kemenangan tidak hanya menyangkali sejarah Kristen, tetapi teologi. Kegagalan adalah intrinsik Kristen.

Doktrin dosa asal mengatakan bahwa kita dilahirkan gagal dan doktrin pengudusan menyiratkan bahwa bahkan setelah kita menaruh iman kita dalam Kristus, kita tidak berhenti gagal. Pengakuan dosa adalah penting untuk membangun sentralitas kasih karunia.

Di dunia, kegagalan dibangun sebagai fitur abadi dari sistem Kristen—bukan karena Allah tidak tertarik pada keberhasilan kita, melainkan karena kegagalan spiritual adalah instrumen untuk merasakan apa yang disebut teolog Friedrich Schleiermacher “ketergantungan mutlak pada Allah”. Jadi, ketika Trump menyatakan bahwa dia tidak perlu meminta Tuhan untuk pengampunan, ia menolak mekanisme sentral Allah memungkinkan manusia yang jatuh harus dibuat baru lagi.

Doktrin Kristen mengajarkan bahwa sampai tahap akhir keselamatan—titik Allah dengan tegas akan menghapus kecenderungan untuk dosa kita—akan terus mengalami kelemahan kehendak, fenomena orang-orang Yunani kuno yang disebut “akrasia”. Meskipun kelemahan ini tidak eksklusif Kristen (misalnya, filsuf Inggris John Stuart Mill pernah mencatat bahwa orang “mengejar sensasi seksual yang malah merusak kesehatan, meskipun sangat menyadari bahwa kesehatan adalah lebih baik”), itu sangat menyakitkan bagi kita orang Kristen. Misalnya, Rasul Paulus dalam pasal 7 dari suratnya kepada jemaat di Roma.

Kita berharap tidak dibebani oleh ketidakmampuan memilukan itu saat mengikuti perintah Allah. Karena kita sering menyisihkan Allah demi keinginan kita. Yang membuat kita terus-menerus menghadapi frustrasi spiritual.

Tapi Donald Trump tidak terbebani. Dia tidak frustrasi. Dia bercahaya, Platonis ideal memperlihatkan materialisme secara mencolok. Masalahnya, merek Trump terhadap materialisme sebagai nilai utamanya membuat ajaran Kristiani menemukan hal paling ofensif: pemujaan terhadap keberhasilan duniawi seseorang.

Ada Trump Tower di jantung Injil Kemakmuran. Kemakmuran adalah “kabar baik” untuk Trump, tapi itu benar-benar bertentangan dengan ajaran Kristiani. Kekayaan bukan racun rohani, tapi cinta akan kekayaan. Cinta akan uang, status dan kesuksesan duniawi adalah merusak kehidupan rohani yang baik.

Ada alasan bagi Socrates, dalam karya Plato Apology, mengelompokkan nilai-nilai ini dengan cara yang dia lakukan: “Apakah Anda tidak malu mengejar uang dan ketenaran dan prestise, ketika Anda tidak berpikir atau peduli tentang kebijaksanaan dan kebenaran, perbaikan jiwa Anda?“

Kita melihat kedangkalan menghargai harta lebih dari hubungan di dunia modern kita—itu terpampang di halaman depan tabloid kita setiap hari. Konsumerisme merusak cakrawala kita tentang apa yang bermakna, menyamakan kebahagiaan dengan memiliki barang-barang.

Kristen menolak peninggian diri yang dijajakan Trump secara berlebihan. Kekristenan membutuhkan kelemahan dan kegagalan.

Jika kita sudah punya otak terbaik, pikiran terbaik, kata-kata terbaik, properti terbaik, orang-orang terbaik, yang semuanya terbaik—mengapa kita merasa perlu Tuhan?

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home