Loading...
MEDIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 14:11 WIB | Minggu, 03 Mei 2015

World Press Freedom Day, Ini Rapor Merah Jurnalis Indonesia

Seorang wartawan dengan poster bertulisan "Pers Bebas Tanpa Intimidasi" dalam aksi damai dukung wartawan Makassar yang mendapat kekerasan dari kepolisian, di bundaran Tugu Selamat Datang, Jumat (14/11). ( Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day) jatuh setiap tanggal 3 Mei menjadi momentum bagi jurnalis, perusahaan media pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat kembali merefleksikan praktik kebebasan pers dan independensi media di masing-masing negara, sebagai prasyarat terwujudnya negara yang demokratis.

Dalam momentum tahun ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta kembali menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers di Tanah Air, terutama pemidanaan dan kekerasan yang menimpa jurnalis serta media di Jakarta dan sekitarnya selama setahun terakhir. AJI Jakarta juga menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers yang berasal dari dalam, yakni intervensi pemilik modal ke dalam ruang redaksi (news room).

"Sayangnya, berbagai ancaman dan intervensi terhadap tugas-tugas jurnalistik di Indonesia masih terus jadi ancaman kebebasan pers," ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Ahmad Nurhasim dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, Minggu (3/5).

Kasus The Jakarta Post

Menurut dia, salah satu kasus pemidanaan yang mendapat sorotan keras satu tahun terakhir adalah langkah Polda Metro Jaya menetapkan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat, sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan penistaan agama. Atas tuduhan tersebut, Meidyatama terancam hukuman penjara di atas lima tahun.

“Meidyatama menjadi tersangka pada bulan Desember 2014 setelah The Jakarta Post pada bulan Juli 2014 memuat karikatur yang mengkritik kekerasan dan pembunuhan atas nama agama yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State (IS). Pelapornya, kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan isi karikatur tersebut,” ujar Ahmad.

Dia menjelaskan, sampai kini Meidyatama masih berstatus tersangka. Polda Metro Jaya hingga kini belum menghentikan kasus tersebut, meskipun Dewan Pers sudah merekomendasikan agar kepolisian menghentikan kasus The Jakarta Post dan mencabut status tersangka terhadap Meidyatama.

Kasus Tempo

Selain itu, Ahmad melanjutkan, ancaman terhadap kebebasan pers lainnya adalah langkah Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) melaporkan majalah Tempo ke Mabes Polri atas berita yang memuat aliran dana yang diduga melibatkan Komjen Polisi Budi Gunawan, akhir bulan Januari 2015 lalu. Pelapor hendak memidanakan Tempo karena majalah ini dianggap menyebarkan data-data rahasia perbankan.

“Dalam kasus ini, Dewan Pers menyatakan pemberitaan tentang aliran dana Budi Gunawan tersebut telah sesuai dengan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers sehingga tidak layak dipidanakan. Kasus ini kini ditangani oleh Polda Metro Jaya,” tutur dia.

Kekerasan Hantui Jurnalis

Selain masalah kriminalisasi dan pemidanaan akibat pemberitaan, Ahmad mengatakan, kekerasan juga masih menghantui para jurnalis. Sejak awal tahun 2015, sejumlah kekerasan kerap menimpa jurnalis yang sedang melaksanakan tugas jurnalistiknya. Terakhir, pekan lalu, kontributor RCTI Rani Sanjaya dan Berita Satu TV Robi Kurniawan dikeroyok belasan petugas keamanan saat meliput aksi protes yang dilakukan penghuni Apartemen Cempaka Mas, Jakarta Pusat.

“Jurnalis lain yang mendapat intimidasi dari petugas keamanan setempat adalah Muhammad Rizki dari Metro TV dan Samarta dari SCTV. Sampai kini Kepolisian Resort Jakarta Pusat belum menetapkan tersangka dalam kasus ini,” ujar dia.

Radar Bekasi

Sebelumnya, Ketua Aji Jakarta itu menambahkan, akhir bulan Februari 2015 lalu, jurnalis harian Radar Bekasi Randy Yosetiawan Priogo juga dikeroyok oleh seorang politikus lokal dari Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Bekasi. Kekerasan ini terjadi sehari setelah Radar Bekasi memuat berita ihwal PAN Kota Bekasi. Dua tersangka sudah ditahan di Kepolisian Resort Bekasi Kota, tapi sampai kini mereka belum diadili.

“Namun belakangan, Randy dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik atas pemberitaan tersebut. Pelapornya adalah Ketua PAN Bekasi Utara Iriansyah. Dalam kasus pelaporan pencemaran nama baik, Kepolisian Resort Bekasi Kota tidak meneruskan kasus tersebut karena menilai masalah itu masuk ranah jurnalistik,” tutur dia.

 Intervensi Pemilik Televisi

Ancaman terhadap kebebasan pers lainnya berupa intervensi pemilik televisi kepada ruang redaksi, kata Ahmad, turut menjadi catatan buruk kebebasan pers di Indonesia. Kondisi terjadi sejak pemilihan umum 2014 hingga detik ini. Secara kasat mata, sebagian besar pemberitaan di Metro TV, TV One, ANTV, dan MNC Grup (RCTI, Global TV, dan MNC TV) hanya menjadi corong politik pemiliknya yang juga seorang politikus. Tidak hanya dalam siaran berita, kepentingan politik pemilik televisi masuk dalam siaran non-berita seperti sinetron dan siaran langsung ajang pencarian bakat.

“Bahkan berita ticker (news ticker) tak luput menjadi corong pemilik televisi memasukkan pesan politik dan kepentingan bisnisnya, seperti sering terlihat di RCTI, Global TV, dan MNC TV,” kata dia.

Cabut Izin Penyiaran

Ahmad menjelaskan, Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh, pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), TV One dan ANTV dimiliki oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar hasil Kongres Bali; dan MNC Grup milik Hary Tanoesoedibjo, pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Perindo dan bekas Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

“Terkadang, siaran berita yang bias kepentingan politik pemiliknya muncul di televisi milik pengusaha Chairul Tanjung (Trans TV dan Trans 7) berupa pidato pejabat tertentu dalam durasi yang cukup panjang,” kata Ketua AJI Jakarta itu.

Menurut dia, para pemilik televisi yang juga seorang politikus jelas-jelas telah menyalahgunakan izin siaran. Sebab mereka telah menggunakan frekuensi milik negara yang bersifat sangat terbatas itu untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Oleh karena itu, Ahmad melanjutkan, AJI Jakarta mendesak pemerintah mencabut izin penyiaran televisi tersebut karena mereka telah menyalahgunakan frekuensi publik milik negara.

“Mereka sudah tidak memenuhi syarat penggunaan frekuensi sebagaimana ditentuntukan di dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran, yang mewajibkan setiap frekuensi digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan umum masyarakat, antara lain melalui pemberitaan yang berimbang dan independen,” ucap dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home