Loading...
INDONESIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 13:15 WIB | Senin, 21 September 2015

YLKI Bantah Tutup Mata PHK Buruh Rokok

Ilustrasi: demo menolak PHK. (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi membantah pihaknya menutup mata atas pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh industri rokok, hanya karena selama ini aktif menyuarakan dukungan terhadap pengendalian tembakau.

"Penilaian YLKI tutup mata, tidak berdasarkan bukti, fitnah, dan merupakan pembunuhan karakter yang serius. Masyarakat perlu tahu alasan sebenarnya di balik PHK besar-besaran buruh industri rokok," kata Tulus Abadi melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, pada Senin (21/9).

Tulus mengatakan, PHK besar-besaran terhadap buruh industri rokok bukan disebabkan isu pengendalian tembakau, ataupun penetapan kawasan tanpa rokok di berbagai kota. Hal itu disebabkan industri beralih ke sistem mekanisasi dalam proses produksinya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Keuangan, produksi rokok meningkat 47 persen dari 235,5 miliar batang pada 2005, menjadi 346 miliar batang pada 2013. Sementara itu, jumlah pekerja industri pengolahan tembakau terus menurun sejak 2006 hingga 2012.

"Berdasarkan penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia Jakarta, PHK buruh tidak sepenuhnya akibat kenaikan tarif cukai tembakau, tetapi lebih karena persaingan industri rokok besar melawan industri kecil," katanya.

Tulus mengatakan, pabrik rokok kecil sudah mendapat perlindungan dari pemerintah karena tarif cukainya paling murah.

Cukai tembakau sigaret kretek tangan (SKT), juga lebih murah daripada sigaret kretek mesin (SKM).

"Itu menunjukkan kebijakan cukai rokok sudah melindungi industri rokok kretek kecil beserta tenaga kerjanya," katanya.

Di samping itu, menurut Tulus, perubahan selera konsumen yang lebih menyukai rokok SKM, juga turut berkontribusi pada pemutusan hubungan kerja pada industri SKT. Perubahan selera itu, memang diinginkan industri rokok, karena SKM lebih menguntungkan daripada SKT.

Menurut penelitan Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA), dengan perubahan selera tersebut, proporsi SKM naik dari 57 persen menjadi 66 persen, sementara SKT turun dari 35 persen menjadi 26 persen.

Tulus mengatakan, selama 2013 terjadi ekspansi dan mekanisasi besar-besaran industri rokok, dengan menambah mesin baru berkapasitas 1,5 miliar batang per tahun atau 15 batang per menit bila mesin dioperasikan 24 jam.

"Akibatnya, selama 2013 saja, ada 17.288 buruh industri rokok yang di-PHK-kan. Buruh industri rokok turun setengah selama 2010 hingga 2012 dari sekitar 689 ribu menjadi sekitar 339 ribu," katanya.

Tulus mengatakan hal itu merupakan keputusan internal perusahaan rokok besar untuk melakukan mekanisasi demi mengejar profit yang lebih besar, bukan karena kebijakan cukai dari pemerintah.

"Hal itu juga menunjukkan ketidakpedulian perusahaan-perusahaan rokok besar terhadap nasib pekerja. Ironisnya, pekerja kerap digunakan sebagai dalih untuk menolak kenaikan cukai," katanya.

Padahal, kata Tulus, kenaikan cukai merupakan upaya pemerintah untuk menurunkan konsumsi rokok demi masa depan Indonesia yang lebih sehat, produktif, dan adil. (Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home