Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 11:16 WIB | Jumat, 14 Agustus 2015

70 Tahun Merdeka, Tionghoa Kampung Maruga Berhenti Pelihara Babi

70 Tahun Merdeka, Tionghoa Kampung Maruga Berhenti Pelihara Babi
Sebagian warga Kampung Maruga ketika berfoto pada Rabu 12 Agustus 2015. Suwardi tampak duduk nomor tiga dari kiri. (Foto-foto: Eben E.Siadari)
70 Tahun Merdeka, Tionghoa Kampung Maruga Berhenti Pelihara Babi
Tahe Tjannio, warga Kampung Maruga yang mengaku lebih suka menggunakan Bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari.
70 Tahun Merdeka, Tionghoa Kampung Maruga Berhenti Pelihara Babi
Han Hengki dan Liem Yani Kristiani di depan warung milik Sao Mame. Sao Mame berada di dalam warung, tidak mau difoto.

TANGSEL, SATUHARAPAN.COM -  Sampai awal tahun 2000-an, warga Tionghoa di kampung Maruga masih beternak babi. Perkampungan yang terletak di Kelurahan Ciater, Kecamatan Serpong, Tangsel itu,  relatif masih terpencil. Belum muncul perumahan-perumahan baru seperti sekarang, yang terkesan sudah mengepungnya dari seluruh sudut.

Seiring dengan semakin banyaknya perumahan penduduk, peternakan babi tersebut ternyata semakin dianggap sebagai gangguan. "Dari perumahan tetangga datang utusan yang mengatakan agar peternakan babi itu dihentikan," kisah Sao Mame, perempuan setengah baya, yang dulu menjadi salah satu yang memelihara babi dan kini membuka warung di depan rumahnya.

Menurut Han Hengki, 32 tahun, warga Maruga yang kala itu masih remaja, sesungguhnya peternakan babi dimaksud tidak bisa dibayangkan sebagai peternakan besar. "Seperti biasa, warga Tionghoa suka memelihara babi untuk mendukung ekonomi keluarga," tutur Han Hengki, yang bekerja sebagai staf honorer di Kanwil Departemen Agama Provinsi Banten.

Kendati tradisi memelihara babi tersebut sudah mereka lakukan turun-temurun jauh sebelum perumahan-perumahan baru itu hadir, warga Tionghoa di Maruga tampaknya cukup berbesar hati untuk akhirnya menghentikan dengan sukarela. "Akhirnya satu per satu kita jual," kata Sao Mame.

Sao Mame agak enggan menceritakan lebih detil bagaimana kisah berhentinya peternakan babi itu. "Pokoknya supaya sama-sama enak, kita akhirnya jualin semua babi yang kita pelihara."

Ketika satuharapan.com menanyakan, apakah tidak ada ganti rugi, Sao Mame tersenyum dan menggeleng. Menurut dia, semua peternak babi ketika itu sepakat untuk berhenti.

Secara diplomatis, Han Hengki mengatakan dihentikannya peternakan babi itu bukan hanya karena protes warga tetapi juga karena sebagai usaha tidak menguntungkan lagi. "Mengalami inflasi laba," kata Han Hengki.

Tampaknya itu merupakan salah satu cara warga Tionghoa di Kampung Maruga itu untuk tetap dapat memelihara kerukunan dengan penduduk sekitar. Sejak Indonesia merdeka  hingga saat ini, menurut mereka, tidak pernah ada bentrokan yang serius antara warga Maruga dengan penduduk desa-desa lain, yang umumnya dihuni oleh kebanyakan penduduk beragama Islam.

"Bahkan ketika kerusuhan tahun 1998, daerah ini aman," kata Han Hengki, yang saat itu, mengaku baru lulus sekolah dasar. Sedangkan menurut informasi yang diperoleh satuharapan.com, di kompleks perumahan lain tak jauh dari Kampung Maruga, ada rumah yang dirusak dan dilempari batu pada saat kerusuhan tersebut.

Kurang lebih 200 keluarga di Kampung Maruga, mayoritasnya adalah etnis Tionghoa. Leluhur mereka sudah bermukim di daerah itu sejak zaman penjajahan Belanda. "Kalau orang bilang, kita ini Cina Benteng," kata Suwardi, yang sehari-hari bekerja sebagai supir dan sejak tahun 1990-an bermukim di situ mengikuti istrinya yang asli penduduk Maruga. Ketika ditanya apa menurut dia pengertian Cina Benteng, sambil tertawa dia berkata, "Cina yang tidak punya apa-apa, miskin."

Kendati sisa-sisa ketertinggalan masih tampak pada kehidupan sejumlah warga Kampung Maruga, geliat meningkatnya kesejahteraan juga terlihat dari rumah-rumah berdinding beton yang kini semakin banyak hadir dengan catnya berwarna cerah. Menurut Han Hengki, jumlah anggota komunitas warga Tionghoa di Maruga dari dulu hingga kini relatif stabil. Tidak banyak bahkan dapat dikatakan tidak ada yang berpindah dari tempat itu.

"Mau kemana lagi. Di sini adem. Udaranya lebih enak," kata Han Hengki.

Menurut Tahe Tjannio, perempuan berusia 62 tahun yang sudah bermukim di Maruga sejak awal menikah, mereka umumnya sudah menganggap Maruga sebagai kampung halaman. Mereka juga merasa diri sebagai orang Betawi. Jarang menggunakan bahasa Mandarin, Tahe Tjannio bahkan mengaku tak lagi bisa menggunakan bahasa itu. Bahkan ketika beribadah di klenteng, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Indonesia.

Masih ada saudara di Tiongkok?, tanya satuharapan.com.

Tahe Tjiannio tertawa sambil menutupkan telapak tangan ke mulutnya. "Tidak ada. Kenalan pun tidak ada di sana," tutur dia.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home