Loading...
INDONESIA
Penulis: Dewasasri M Wardani 08:20 WIB | Sabtu, 21 Desember 2013

Analisis Kinerja KPK

Gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berumur sepuluh tahun. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada 16 Desember 2003, mereka mulai bekerja seturut dengan diangkatnya Taufiequrachman Ruki sebagai ketua KPK.  Lalu apa saja hasil kerja mereka selama ini?

Hasil Capaian  Kinerja KPK

Tujuan dari penegakan hukum atas kasus korupsi adalah lahirnya efek jera. Efek jera penting untuk mengontrol kejahatan korupsi supaya tidak berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat sistemik. Pasalnya, jika korupsi sudah berada pada level sistemik, maka dampak yang ditimbulkan dari kejahatan ini menjadi lebih serius, karena bukan hanya menyebabkan kerugian negara yang besar, melainkan juga melahirkan kemiskinan, buruknya pelayanan publik, dan merusak pondasi ekonomi negara.

KPK jilid III, di bawah kepemimpinan Abraham Samad, lembaga anti rasuah diharapkan tetap komitmen memberantas korupsi. Penegakan hukum KPK  kini telah mulai secara lebih agresif masuk ke sektor yang strategis seperti parlemen, kementerian, kehutanan dan sektor penegak hukum saat pada periode sebelumnya, keempat sektor ini hampir tidak tersentuh sama sekali. Dari sisi angka, signifikansi penindakan kasus-kasus korupsi besar.

Capaian KPK 2004-2013

Dari  data   penanganan    korupsi  oleh KPK  yang dilakukan instansi  diperoleh angka tertinggi  pada kementerian/lembaga,  tampak  dari tahun 2004 hingga 2013 jumlahnya  sebanyak 150 perkara (43%) , posisi kedua ada pada Pemkab/pemkot sebanyak 75 perkara (21,9%) , sedangkan di Pemprov sebanyak 41 perkara (11,9%), dan berikutnya di DPR RI sebanyak 34 kasus (9,9%) .

Berdasarkan jenis jabatan pelakunya banyak didominasi dari kalangan  pegawai eselon (PNS) yaitu sebanyak  114 orang (29,1%) kemudian, pengusaha/swasta sebanyak 90 orang (23,0%) yang berikutnya dari kalangan anggota DPR sebanyak 73 orang (18,6%)  sedangkan jumlah walikota bupati dan wakil bupati sebanyak 35 orang (8,9%). Tingginya kasus korupsi di beberapa Kementerian/lembaga berbanding lurus dengan  jumlah pelaku korupsi di kalangan pejabat eselon I, II dan III (PNS). Bahkan tercatat  untuk kalangan kepala lembaga dan tingkatan gubernur cukup meningkat pada tahun 2013 yakni masing-masing sembilan orang. Misalnya dengan tertangkapnya Gubernur Banten Atut Choisiyah dalam kasus suap ke Mahkamah Konstitusi sekaligus ditangkapnya Akil Muchtar ketua Mahkamah Konstitusi oleh MK. Juga Tertangkapnya Rudi Rubiandini kepala SKK Migas atas kasus suap  di tahun 2013.

Dari jenisnya perkara  yang ditangani KPK didominasi oleh kasus penyuapan sebanyak 163 perkara (47,5%), kemudian pengadaan barang/jasa 109 perkara (31,7%) dan yang ketiga penyalahgunaan anggaran 38 perkara (11,0%). Masih tingginya perkara penyuapan tampak bahwa budaya suap ini sangat kuat berakar di Indonesia.

Penanganan KPK untuk kasus korupsi terbanyak masih pada penyelidikan sebanyak 578 perkara , kemudian penyidikan 342 perkara, yang berikutnya penuntutan 267 perkara dan inkracht sebanyak 228 dan yang terkecil adalah eksekusi 240 perkara.

Adapun penanganan perkara korupsi yang berkekuatan hukum tetap  terbanyak di Mahkamah Agung  yakni  111 perkara (48,6%), kemudian di Pengadilan Negeri  sebanyak 99 perkara (43,4%), dan yang terkecil di Pengadilan Tinggi 18 perkara (7,9%).

Prinsip dasar peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi adalah bagaimana menempatkan masyarakat berperan aktif dalam pemberantasan korupsi, khususnya sebagai pelapor kasus korupsi. Sepanjang tahun 2012, KPK menerima laporan pengaduan masyarakat sebanyak 6.344 laporan, dan telah selesai ditelaah sebanyak 6.327 laporan, serta masih dalam tahap penelaahan sebanyak 17 laporan.

KPK ke depan diharapkan dapat lebih baik lagi dalam melakukan pemberantasan  korupsi. untuk sampai ke tujuan tersebut, lembaga anti rasuah haruslah memiliki langkah-langkah prioritas.

Pertama, menjadikan kasus-kasus korupsi besar (megakorupsi) sebagai skala prioritas penindakan. Kasus korupsi sedang/kecil diserahkan ke penegak hukum lain (supervisi). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penumpukan kasus-kasus korupsi di KPK.

Kedua,  perekrutan penyidik independen. Perekrutan ini sangat penting dilakukan karena kondisi darurat penyidik KPK berimplikasi terhadap “kecepatan” kinerja pengungkapan kasus korupsi. Makin hari jumlah penyidik KPK dari unsur kepolisian makin berkurang (52 orang). Sehingga adanya penyidik independen/PPNS ke depan KPK lebih fokus ke penindakan, bukan lagi disibukkan persoalan penarikan penyidik ke instansi asalnya.

Ketiga, menjerat tersangka dengan pasal money laundry. Penerapan pasal-pasal UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam perkara korupsi, sangat dimungkinkan. Selain memberikan “efek jera” terhadap pelaku karena pidananya akan makin berat. UU Nomor 8 Tahun 2010 juga bisa menjerat parpol/korporasi. (Sumber: KPK .org dan berbagai sumber)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home