Loading...
OPINI
Penulis: Lucia Ratih Kusumadewi 18:41 WIB | Rabu, 23 Oktober 2013

Ancaman Korporatisme Pendidikan

SATUHARAPAN.COM - Pendidikan kita dalam krisis. Dan salah satu tantangan yang paling berbahaya dewasa ini adalah korporatisme dalam dunia pendidikan terutama pada tingkat pendidikan tinggi. Inilah kurang lebih permasalahan yang diangkat dalam diskusi terbatas sejumlah akademisi dan penggiat pendidikan yang diadakan di kampus FISIP, Universitas Indonesia, Depok, pada hari Jumat, 20 September lalu.

Korporatisme pendidikan terobsesi untuk menjadikan sebuah institusi pendidikan seperti layaknya sebuah korporasi; sebuah organisasi bisnis yang berorientasi pada keuntungan (profit-making oriented) dan tidak lagi pada kepentingan publik (Ohmann, 2002). Beberapa contoh bentuk korporatisme pendidikan adalah penerapan ukuran-ukuran produktivitas dan performa dalam proses belajar mengajar, perencanaan berbasis kompetisi, pemotongan pengeluaran keuangan dengan berbagai cara, termasuk diantaranya memperkecil pengangkatan tenaga-tenaga pendidik tetap dan lebih memilih untuk mempekerjakan tenaga pendidik berstatus tidak tetap dan atau paruh-waktu.

Lalu untuk tenaga pendukung level bawah lainnya, institusi pendidikan yang telah terkorporatisasi biasanya lebih memilih penggunaan sistem kontrak pegawai melalui outsourcing. Tidak hanya itu, institusi pendidikan yang mengadopsi model korporasi biasanya juga mematok biaya pendidikan yang tinggi dan mengkreasikan berbagai program pendidikan dan penelitian yang dapat mendatangkan keuntungan yang besar.

Korporatisme dalam dunia pendidikan tinggi terutama telah terjadi secara masif di negara-negara maju yang mendukung kebijakan liberalisasi dalam pendidikan, seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Rata-rata biaya pendidikan tinggi publik di Amerika misalnya saat ini telah mencapai lebih dari 20.000 US dollar atau berkisar 220 juta per tahun. Sementara untuk biaya kuliah di perguruan tinggi swasta bisa mencapai dua kali lipatnya yaitu 40.000 US dollar atau 440 juta rupiah.

Tingginya biaya pendidikan itu lalu dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga keuangan untuk memberikan berbagai jenis pinjaman bagi mahasiswa yang harus dikembalikan dengan mencicil pada saat mereka selesai kuliah dan telah bekerja. Tentunya bersama dengan bunga pinjaman yang rata-rata mencapai lebih dari 8%.

Hal yang sangat berbeda terjadi di Eropa, dengan pengecualian Inggris. Biaya pendidikan publik di beberapa negara Eropa seperti Jerman, Italia, Spanyol dan Portugal tergolong murah, rata-rata dibawah 1500 euros atau 20 juta rupiah per tahun. Di Perancis mahasiswa sarjana malah hanya membayar sekitar 200 euros atau kurang dari 3 juta rupiah per tahun. Sementara itu, negara-negara seperti Austria, Finlandia, Denmark, Swedia dan Norwegia membebaskan biaya pendidikan di perguruan tinggi mereka.

 

Bahaya Korporatisme Pendidikan

Sosiolog pendidikan Henry Giroux, mengemukakan bahwa korporatisasi akan memberi dampak yang sangat negatif bagi dunia pendidikan, yaitu hilangnya tujuan dan budaya pendidikan yang sesungguhnya (Giroux, 2009). Sejak kelahirannya, institusi pendidikan memiliki tujuan luhur yaitu pembangunan kemanusiaan dan kehidupan publik. Institusi pendidikan tinggi secara khusus merupakan benteng pertahanan demokrasi dimana diskusi-diskusi bebas dan terbuka yang berfungsi bagi pengujian berbagai ide dimungkinkan. Untuk mencapai tujuan itu institusi pendidikan tinggi telah mengembangkan budaya berpikir kritis dan relasi sosial yang bersifat kolegial, saling menumbuhkan dan memerdekakan, sehingga pendidikan tinggi tetap dapat menjadi pusat dari produksi pengetahuan.

Tujuan luhur serta budaya pendidikan itu tentunya sangat berbeda dengan tujuan dan budaya korporasi. Di dalam institusi pendidikan yang bersifat korporatif, tenaga pendidikan diharuskan mengikuti sistem penyelenggaraan pendidikan berdasarkan asas efisiensi. Para akademisi lalu dihargai bukan atas pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat yang bermutu tetapi lebih karena melaksanakan proyek-proyek pengajaran dan penelitian yang menghasilkan banyak uang.

Dengan tuntutan itu, para akademisi dipastikan sedikit demi sedikit akan meninggalkan tujuan luhur dan budaya pendidikan karena kepentingan mencari keuntungan yang telah digariskan oleh para birokrat kampus. Proyek-proyek penelitian yang dilakukan sebagian besar akan dibiayai oleh korporasi-korporasi besar yang menitipkan berbagai kepentingannya. Para pemberi dana lalu dengan mudah ‘menyetir’ perguruan tinggi. Perguruan tinggi akhirnya hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kepentingan para pemilik modal besar itu. Pengetahuan tidak lagi bersifat independen dan terbuka serta bukan lagi diperuntukan bagi kepentingan publik, melainkan untuk kepentingan pemberi dana.

Yang tentunya juga terkena dampak yang besar dari korporatisme pendidikan adalah peserta didik. Mahalnya biaya pendidikan akan memperkecil kesempatan mereka dari kelompok ekonomi lemah untuk dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Bagi mereka yang bisa masuk ke perguruan tinggi karena mendapatkan pinjaman biaya pendidikan (student loan), akan terjebak pada pengembalian pinjaman setelah bekerja. Sebagian mahasiswa juga akan berusaha memilih hanya jurusan-jurusan yang menjanjikan penghasilan yang besar karena beban pengembalian pinjaman yang harus dibayar, selain juga memilih menyelesaikan studinya dengan lebih cepat supaya mengurangi pengeluaran untuk pendidikan.

 

Korporatisme di Perguruan Tinggi Indonesia

Di Indonesia, gejala korporatisme dalam pendidikan tinggi saat ini telah terlihat. Korporatisme di universitas-universitas swasta di Indonesia bahkan telah menyamai ciri korporatisme di banyak perguruan tinggi di Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Situasi ini juga dipicu oleh masuknya berbagai lisensi pendidikan tinggi swasta dari luar negri ke Indonesia yang mematok biaya pendidikannya dengan amat sangat mahal.

Lambat namun pasti, korporatisme juga telah menyasar pendidikan tinggi publik. Sejak pengalih-statusan tujuh PTN utama di Indonesia tahun 1999 menjadi PT-BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan beberapa diantaranya kini berstatus PTN-BH (Perguruan Tinggi Negri-Badan Hukum), karakter korporatisme telah dapat dideteksi. Walau tidak semua PTN yang telah dialih-statuskan itu mematok biaya kuliah yang tinggi namun salah satu universitas ungulan yang saat ini berstatus PTN-BH misalnya, telah mematok biaya pendidikan untuk jenjang sarjana hingga 10 juta rupiah per tahun atau mengalami kenaikan 10 kali lipat dibandingkan ketika masih berstatus PTN.

Ciri korporatisme lain yang dapat dideteksi antara lain adalah dibuatnya berbagai program tambahan yang tujuannya adalah menghimpun dana yang besar, seperti dibukanya kelas-kelas internasional serta program-program vokasi dan paralel. Selain itu, dalam hal kepegawaian, beberapa perguruan tinggi swasta dan PTN-BH telah menerapkan sistem kepegawaian non-tetap, paruh waktu dan outsourcing yang merupakan ciri korporatisme.

 

Menghindari Korporatisme Pendidikan

Bila bangsa ini tidak ingin institusi pendidikannya semakin bersifat korporatif, maka langkah antisipasi untuk menghindari korporatisme pendidikan harus dimulai. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa korporatisme tidak merangsek dalam dunia pendidikan. Bahkan untuk perguruan-perguruan tinggi yang dikelola swasta sekalipun, pendidikan seharusnya bukan merupakan lahan untuk mencari keuntungan karena pada dasarnya pendidikan adalah milik publik dan untuk publik. Pendidikan pada dasarnya juga bekerja untuk kepentingan masyarakat, bukan segelintir kelompok.

Untuk itu, sudah saatnya pemerintah benar-benar bekerja menata sistem pendidikan dengan benar dan tidak justru mendorong kebijakan liberalisasi pendidikan yang akan semakin merugikan masyarakat. Mungkin kita bisa mulai belajar dari negara-negara yang dapat mengelola institusi pendidikannya dengan baik sehingga dapat mengantisipasi korporatisme dalam dunia pendidikan kita.

Tentunya supaya ini berhasil, kontrol masyarakat selalu dibutuhkan, karena tanpa kontrol yang kuat, para pemangku kebijakan biasanya selalu tergiur untuk bekerjasama dengan pasar yang ingin merauk keuntungan dari pendidikan, dengan mendukung liberalisasi dan korporatisme dalam dunia pendidikan.

 

Penulis adalah pengajar di Departemen Sosiologi FISIP-Universitas Indonesia. Mahasiswa Doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS)-Paris. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home