Loading...
OPINI
Penulis: Iwan Pranoto 09:00 WIB | Rabu, 04 September 2013

Belajar dari Kurikulum 2013

SATUHARAPAN.COM - Beda dengan proses pembuatan kurikulum-kurikulum sebelumnya, kurikulum 2013 ini sarat dengan kehebohan  pro dan kontra. Yang pro umumnya berdasar “yakin dan nekat”. Sebaliknya, yang kontra berdasar “analisis”. Namun, seperti ditulis di Tajuk Rencana, Kompas (5 Juli 2013), walau “argumentasi kontra lebih masuk akal,” kurikulum ini tetap dijalankan. Karenanya, lebih baik belajar darinya.  

Berdasar ulasan di Tempo (1-7 Juli 2013, hal. 51-53), kurikulum ini terkesan dibuat tergesa-gesa dan tak taat tata kelola. Bahkan beberapa anggota tim narasumber mengungkapkan bahwa rumusan Kompetensi Inti (KI) itu masih mengambang. Namun, berita baiknya juga, justru karena penulisan ini kurang seksama, banyak kalimat yang sulit dipahami. Kemungkinannya kecil kurikulum ini akan berdampak buruk, karena para pendidik di lapangan sulit memahami makna pernyataan-pernyataan dari kurikulum ini. Praktiknya akan seperti biasa.  

Manajemen pembuatan Kurikulum 13 ini dihiasi berbagai keganjilan. Menurut laporan Tempo itu (hal. 52) disebutkan bahwa “praktis konsep kurikulum disusun hanya dalam tiga bulan.” Sepintar apapun pembuatnya, mustahil membuat kurikulum seluruh mata pelajaran dari kelas 1 sampai 12 dalam waktu 3 bulan. Terlebih lagi, pembuatnya adalah tim “artfisial” yang dibentuk bukan di bawah Puskurbuk. Walau tak tepat menghakimi orang-orang ini sebagai tak memahami pendidikan dasar dan menengah, rekam jejak penguasa serta anggota Tim Pengarah dalam menggagas pendidikan SD-SMP-SMA memang kurang tercatat.    

Lebih aneh lagi, menurut berita tadi, buku ajar dibuat bersamaan dengan perumusan kurikulum. Dan, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Puskurbuk Erry Utomo mengiyakannya, “Seharusnya kan kurikulumnya dulu, baru bukunya.” Ini tidak ideal dan sulit tak mengatakan bahwa cara pengerjaan kurikulum ini tidak tergesa-gesa.  

Pertanyaan orang awam: “Mengapa membuat kurikulum harus tergesa-gesa?” sulit dijawab. Membetulkan atap sekolah yang mau runtuh atau jembatan yang menggantung hanya pada seutas tambang memang harus segera, karena darurat. Tetapi menulis kurikulum dan buku tentu tidak darurat. Sangat penting, tetapi tidak darurat. Membuat buku ajar sekolah dasar dan menengah harus sangat seksama. Sayangnya, buku-buku ini dikerjakan dalam waktu 1,5 bulan (Sosok, Kompas, 7 Juni 2013) dan bukan oleh penulis buku ajar berpengalaman. 

Pengetahuan Ilmiah 

Kurikulum 2013 ini sangat unik, karena memasukkan atau mencantumkan agama ke dalam dokumen kurikulum. Menurut Asvi Marwan Adam (Koran Tempo, 8 Juli 2013), “Tidak ada masalah bila kompetensi ‘menghayati dan mengamalkan ajaran agama’ itu diberlakukan khusus untuk mata pelajaran agama.” Ungkapan senada disampaikan anggota Goenawan Mohamad (Tempo, 3 Juni 2013). Dikatakannya, “beberapa perumusan dalam dokumen ini memberi kesan keagamaan yang berlebihan.” Saya sepakat. Tetapi jika hanya kesan semata, tentu tak masalah. Yang runyam adalah penjaminan ketaatan logika dalam metode pembelajaran serta keterselenggaraan hakikat keilmiahan dalam kurikulum ini. 

Memasukkan unsur agama ke dalam dokumen ilmu pengetahuan alam, aljabar, geometri, statistika, dan yang lainnya berdampak luas pada metode pembelajaran serta penilaian. Sebagai contoh, coba cermati Kompetensi Dasar (KD) pada kurikulum Kimia dalam Salinan Lampiran Permendikbud No. 69 th 2013 tentang Kurikulum SMA-MA, hal. 165, berikut: 

“Menyadari adanya keteraturan struktur partikel materi sebagai wujud kebesaran Tuhan YME dan pengetahuan tentang struktur partikel materi sebagai hasil pemikiran kreatif manusia yang kebenarannya bersifat tentatif.”  

Tentu saja sangat mungkin seorang siswa sudah menyadari kebesaran Tuhan YME bahkan sebelum ikut pelajaran, seperti di KD tadi. Apakah kemudian siswa tersebut langsung dinyatakan menguasai KD itu? Masalah lainnya, KD di atas dapat dikuasai siswa dengan menggunakan common sense semata. KD ini obvious. Tanpa belajar formal satu semester pun seorang siswa paham bahwa dia diharapkan menjawab hal-hal bagus yang diharapkan oleh lingkungannya, walau mungkin dia sama sekali belum memahami atau meresapinya.  

Ditambah lagi, pengetahuan ilmiah sejatinya selalu berawal dengan pertanyaan. Jawaban dicari setelah pertanyaan terumus baik. Tetapi pada KD di atas, jawaban sudah ada, bahkan sebelum ada pertanyaan. Kebesaran Tuhan YME tentu jawaban yang mujarab untuk rangkaian pertanyaan siapa yang sanggup menciptakan sifat hidrokarbon, termokimia, atau lainnya. Ini jauh dari hakikat pengetahuan ilmiah. Saya mendukung pendapat anggota Tim Narasumber lain, Achmad Muchlis, bahwa KI tentang agama dan moral sebaiknya dituliskan di bagian awal dokumen saja, tak perlu dimatrikskan. 

Yang perlu direnungkan lagi adalah kemungkinan dampaknya pada budaya berpikir kritis. Setelah ada kata-kata Tuhan serta Agama, maka dokumen Kurikulum 13 ini menjadi dokumen “sakral”. Banyak akademisi dan pendidik yang segan memperkarakan atau mengkritisinya.  

Hikmah dan Harapan 

Isu Kurikulum 2013 ini membawa hikmah pula. Pada awal gagasan Kurikulum 2013 ini digulirkan di sekitar penghujung akhir tahun 2012, banyak pendidik dan pegiat mengingatkan bahwa pengembangan profesi guru lebih utama ketimbang kurikulum baru. Sekarang, setelah Kurikulum 2013 ini diterapkan secara terbatas, kebanyakan birokrat pendidikan menyadari bahwa memang mutu dan jumlah guru serta penyebarannya merupakan kunci utama. Pengembangan kepakaran guru dalam pemahaman keilmuan yang dibelajarkan serta metode dan gairah membelajarkannya adalah unsur-unsur utama dalam pendidikan kita. 

Semoga pemerintah mendatang lebih taat kelola kala mengembangkan kurikulum. Kemudian, Pemerintah mendatang sebaiknya merekacipta strategi rinci serta terprogram jelas guna meningkatkan mutu dan penyebaran guru. Tak lupa direkacipta sebuah kerangka utuh pemanfaatan teknologi digital guna penyebaran layanan pembelajaran bermutu ke seluruh penjuru Republik. 

 

Penulis adalah pengajar matematika di ITB 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home