Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 17:09 WIB | Sabtu, 24 Agustus 2013

Cara Mengampuni Pembunuh Keluarga

Cara Mengampuni Pembunuh Keluarga
Ruth Pelke (kiri) dan pembunuhnya, Paula Cooper. (Foto-foto: bbc.co.uk)
Cara Mengampuni Pembunuh Keluarga
Ruth Pelke (kanan belakang) dan Bill Pelke (kiri depan).
Cara Mengampuni Pembunuh Keluarga
Bill Pelke.
Cara Mengampuni Pembunuh Keluarga
Paula Cooper, kini.
Cara Mengampuni Pembunuh Keluarga
Cathy White, sedang hamil anak kedua saat ia dibunuh.
Cara Mengampuni Pembunuh Keluarga
Ibu Cathy, Linda White.

INDIANA, SATUHARAPAN.COM - Momen ketika pembunuh dibebaskan dari penjara dapat menjadi saat yang traumatis bagi keluarga korban. Namun, bagi Bill Pelke, pembebasan pembunuh neneknya berbeda. Si pembunuh tahun ini mengakhiri masa hukuman. Bill tidak hanya mengampuninya, tetapi juga ingin menolongnya memulai hidup baru. Bagaimana ia bisa memaafkan kejahatan seperti ini?

Suatu sore Mei, 1985. Bill Pelke sedang bertandang ke rumah pacarnya ketika ia menerima panggilan telepon dari adik iparnya. "Nenek telah ditikam sampai mati," kata Pelke. "Rumah dirampok. Dan, ayah saya menemukan jenazah nenek." Neneknya, Ruth Pelke, (78) guru Alkitab dibunuh di rumahnya oleh empat perempuan remaja.

Hari berikutnya, saat Pelke bersiap-siap untuk pemakaman, ia mendengar berita penangkapan mereka. "Saya begitu terkejut. Empat gadis bisa terlibat," katanya. "Saya punya anak-anak sebaya mereka."

Tiga dari pembunuh itu divonis penjara, mulai dari 25 sampai 60 tahun. Salah satunya, Paula Cooper, dipandang sebagai pemimpin dan dijatuhi hukuman mati pada 11 Juli 1986. Pelke hadir di persidangan pembacaan vonis Paula Cooper. Saat itu, ia merasa hukuman mati itu setimpal.

Namun, 18 bulan setelah kematian neneknya ia mulai berpikir ulang. “Saya membayangkan Nana (panggilan sayang kepada neneknya) dibantai di lantai ruang makan. Ruang makan ini selalu digunakan acara kumpul-kumpul keluarga, misalnya Paskah, Thanksgiving, dan Natal. Dan, saya tidak tahan memikirkannya,” katanya.

Ia bertanya-tanya apa dampak hukuman mati bagi Cooper pada keluarganya, terutama kakek Cooper. Si kakek menghadiri persidangan dan Pelke melihat ia menitikkan air mata saat cucunya dijatuhi hukuman mati.

"Nenek saya pasti tidak ingin orang tua itu menyaksikan cucunya mati," katanya. "Namun, Semua orang di Indiana barat laut ingin Paula Cooper mati. Kematian Nana memicu kemarahan masyarakat."

Di sisi lain, Pelke menjadi makin yakin bahwa neneknya –seorang Kristen taat– akan mengasihi dan berbelaskasihan kepada Cooper. Dan, ia yakin neneknya pun ingin anggota keluarganya memberi kasih yang sama kepada Cooper.

"Saya merasa tanggung jawab seperti itu jatuh di pundak saya," katanya. "Ketika saya tersentuh oleh kasih dan pengampunan, saya tidak lagi menggambarkan Nana meninggal, tapi masih hidup. Sesuatu yang hebat telah terjadi di dalam diri saya." Pelke mengatakan keputusannya untuk memaafkan membawanya pada "penyembuhan yang luar biasa".

Namun, beberapa anggota keluarganya berjuang menerima keputusannya. Hal itu begitu sulit bagi ayah Pelke, yang telah menemukan mayat ibunya dan bersaksi di pengadilan. "Dia tidak senang," katanya. "Hal ini menyebabkan hubungan tegang selama bertahun-tahun."

Meskipun ada ketidaksetujuan, Pelke mengatakan ia tidak pernah berubah pikiran tentang hal mengampuni Cooper. "Saya tahu saya melakukan hal benar. Di kemudian hari, ayah saya memaafkan saya karena mengampuni Paula Cooper. Dia telah melangkah jauh."

Pelke memutuskan bertemu Cooper di penjara, tapi perlu delapan tahun sebelum pemerintah mengizinkan mereka bertemu, pada perayaan Thanksgiving 1994. "Saya mendatanginya dan memeluknya," kata Pelke. Lalu, ia menatap Cooper di matanya dan mengatakan ia telah memaafkannya.

Walaupun mereka tiap minggu saling berkirim surat dan 15 bertemu di penjara, Pelke tidak pernah menanyakan perihal tindakan kriminal Cooper. "Saya tahu tidak ada jawaban yang baik," katanya.

Mempertemukan pelaku dan korban punya manfaat bagi kedua belah pihak, kata Howard Zehr, Guru Besar Keadilan Restoratif di Universitas Eastern Mennonite di Harrisonburg, Virginia, yang telah memfasilitasi ratusan pertemuan tersebut.

Selain membuat pelaku melihat dampak pada orang-orang terdekat korban, pertemuan ini sering mengurangi trauma korban. “Korban kekerasan berat, secara reguler, melaporkan tingkat kepuasan yang tinggi,” katanya.

"Korban sering terjebak dalam peristiwa yang mereka," kata Zehr. "Pertemuan memungkinkan mereka untuk mendapatkan jawaban dan merelakan kenangan buruk atas peristiwa itu berlalu." “Manusia tidak bisa hanya dinilai dari sekadar tindakan jahatnya,” katanya.

Salah satu pertemuan yang paling mengesankan Zehr adalah ketika seorang pria, pelaku 14 serangan seksual pada perempuan berumur di bawah 18 tahun, bertemu korban terakhirnya. "Perempuan itu bertemu dengannya dan bertanya padanya 'Bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku? Kamu mencuri masa kecilku," kenang Zehr.

"Pelaku itu mengatakan bahwa ia untuk pertama kali menyadari tindakannya," katanya. "Perempuan itu tidak mengampuninya, tetapi itu tidak lagi menjadi pengalaman yang mendominasi hidupnya."

Namun, Zehr meminta korban yang ingin bertemu dengan pelaku untuk didampingi fasilitator untuk mempersiapkan mereka dan menjaga pertemuan itu sesuai tujuannya: rekonsiliasi. "Keberhasilan pertemuan itu tergantung pada tingkat persiapan di kedua sisi. Kadang, bisa memakan waktu hingga setahun," katanya.

"Sebagai fasilitator, saya berbicara kepada kedua belah pihak menjelang pertemuan. Saya berusaha membuat mereka sadar akan dinamika trauma, serta kemungkinan bahwa harapan mereka tidak mungkin dipenuhi. Pelaku mungkin tidak mampu menjawab pertanyaan."

Kisah Lain

Tujuh belas tahun setelah kematian brutal putrinya, Linda White, warga Texas, masih memiliki berbagai pertanyaan di hari ia terbunuh.

Pada November 1986, Cathy White, ibu (26) yang sedang mengandung anak keduanya, diculik, diperkosa, dan dibunuh dua remaja laki-laki. Seperti Pelke, White akhirnya bertemu dan mengampuni salah satu pembunuh putrinya, tapi proses itu memakan waktu lebih lama. Hampir 15 tahun.

Setelah kematian putrinya, White mengatakan ia tidak dilanda kesedihan mendalam, tetapi juga kehilangan rasa untuk bertanggung jawab atas hidupnya. "Bagi orangtua, kehilangan anak adalah hal yang paling tidak adil, tersalah di dunia. Kehidupannya seperti terjungkal. Dunia tidak lagi seramah seperti dulu. Saya merasa tak berdaya lagi."

Dia bergabung dengan kelompok pendukung korban, tetapi tidak menemukan solusi. "Di sana tidak ada perubahan, semua orang sama," katanya. "Mereka tetap marah dan saya tidak ingin menghabiskan waktu lima tahun dalam hidup dengan cara mereka: penuh kepahitan. Saya tidak ingin berduka selama sisa hidup saya."

White, ibu dua anak laki-laki dan sekarang harus mengasuh cucu perempuannya (5), ingin melanjutkan hidupnya. Dia bilang kalau dia menyerah, ini terasa seperti dia telah bunuh diri, tidak secara harfiah, tetapi dalam pikirannya.

Ia mulai mengajak cucunya mengikuti konseling. Itu adalah pengalaman yang mendorong cucunya untuk belajar psikologi. Kini, cucunya menjadi konselor dukacita.

White mengatakan bahwa dengan membantu orang mengatasi kehilangan dan kesedihan, ia berhasil mendapatkan kembali kendali dalam hidupnya. Pada Januari 1997, ia memutuskan untuk mulai mengajar di penjara. Ini pengalaman yang ia cintai, dan “menyembuhkan,” katanya.

"Saya percaya orang-orang tidak bisa dinilai dari sekadar tindakan terburuk yang pernah mereka lakukan. Mereka melampaui itu. Banyak tindakan kita kepada narapidana tidak manusiawi, merendahkan, dan menurunkan moral mereka," katanya. "Saya berusaha menempatkan kemanusiaan kembali dihargai."

Pengalamannya bekerja para narapidana menyebabkan ia mengambil keputusan yang lebih radikal. White memutuskan menemui salah satu pembunuh putrinya, Gary Brown. "Aku tidak tahu ia seperti apa. Aku tidak pernah melihat fotonya," katanya.

Ia meminta pertemuan untuk menguji apakah ia akan mampu berbelas kasih kepadanya. "Aku ingin orang itu apa adanya." White dan Ami, cucunya yang kini sudah 18 tahun bertemu Brown di penjara pada 2001. Mereka berbincang sepanjang hari.

"Saya heran dengan betapa ia tampak sangat muda dan rapuh. Itu peristiwa sangat menguras emosi," katanya.

Untuk White, salah satu momen tersulit dari pertemuan itu adalah saat mendengar cerita Brown tentang apa yang terjadi pada putrinya sebelum dia meninggal.

"Saya terpesona ketika dia mulai berbicara. Gary memberi tahu kami persis apa saja yang terjadi, bagaimana hal itu terjadi, dan perkembangannya. Bagian itu sulit didengarkan, tapi saya sudah siap."

Brown juga mengatakan kepada Whites kata-kata terakhir Cathy sebelum ia ditembak, "Aku memaafkanmu, juga Tuhan." "Aku tercenung ketika ia bilang begitu," kata White.

White telah menjalin kontak dengan Brown yang kini keluar dari penjara dan masa percobaan. Terakhir kali ia mendengar kabarnya adalah sekitar Natal, ketika ia mengirim sms padanya.

Walaupun dalam masa percobaan Brown tidak diperbolehkan menghubungi Whites, tapi sebelumnya ia meminta Linda untuk bersama-sama berbicara di depan publik. "Kami berbicara tentang menangani anak-anak dan remaja yang tersesat hidupnya," jelasnya. "Saya berharap di masa depan, ketika ia benar-benar bebas, kami dapat melakukannya bersama-sama."

Ada juga hal-hal yang masih ingin ia tanyakan kepada Brown tentang malam saat putrinya dibunuh. "Saya masih bertanya-tanya bagaimana bisa malam itu terjadi kekerasan. Mengapa mereka memperkosanya. Mereka tidak memiliki catatan kriminal," katanya. "Ketika siap bertemunya, saya ingin menanyakan itu langsung kepada Gary."

Meskipun akhirnya pertanyaan tidak keluar, White merasa pertemuannya dengan Brown telah membuatnya tetap waras. "Jika Anda membiarkan kesedihan mengambil alih hidup Anda, itu seolah-olah kejahatan itu terjadi terus berulang. Dan, itu membuat Anda terus marah dan merasakan kepahitan. Akhirnya, satu-satunya hubungan yang tersisa dengan orang-orang terkasih yang telah pergi adalah melalui kepahitan. Orang-orang terikat dengan itu. Karena, tentu saja mereka tidak ingin melepaskan kepahitan itu, "kata White.

"Kadang-kadang orang-orang merasa bahwa jika mereka bergerak menuju resolusi terhadap kesedihan mereka –atau penyembuhan dengan cara apa pun– adalah pengkhianatan terhadap orang yang meninggal. Tapi, itu salah."

Seperti Linda White, Bill Pelke ingin tetap berhubungan dengan Paula Cooper, yang dibebaskan Juni lalu. Hakim membebaskannya dari hukuman mati. Dan karena perilaku baiknya dipenjara, ia mendapat pengurangan masa hukuman.

Saat Cooper dipenjara, Pelke berkampanye baginya agar ia dibebaskan. "Saya sangat senang ia bebas. Bertahun-tahun saya menunggu-nunggu hari ia dibebaskan," katanya.

Pelke tahu ada banyak orang yang tidak memahami tindakannya. Namun, bagi dia keputusan untuk mengampuni mengubah hidupnya. Ia tidak pernah melihat ke belakang lagi.

Ia sekarang ingin membantu Cooper beradaptasi dengan kehidupan modern. "Cooper tidak pernah melihat ponsel atau komputer. Ia tidak pernah menulis cek, melamar pekerjaan, atau memiliki rekening bank. Ini akan menjadi sangat sulit baginya, bahkan dia bilang dia takut."

Cooper saat ini tinggal di rumah perlindungan sebagai bagian dari transisi dari penjara dengan kehidupan luar. Ia juga disarankan agar tidak menghubungi Pelke dulu. Tapi, Pelke mengatakan bahwa jika Cooper akhirnya diizinkan bertemu dengannya, ia akan membawanya keluar untuk makan dan belanja –untuk membeli komputer.

"Jika Anda bertahan pada kemarahan dan keinginan membalas dendam, akhirnya menjadi seperti kanker. Itu akan menghancurkan Anda," katanya. "Saya melakukan hal yang benar." (bbc.co.uk)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home