Loading...
FOTO
Penulis: Trisno S Sutanto 08:59 WIB | Senin, 18 November 2013

Geliat Baru Kecamatan Johar Baru

Geliat Baru Kecamatan Johar Baru
Dosen Sosiologi UI ikut karnaval. Di depan dari kiri Linda Darmayanti, Evelyn Suleeman dan Debbie Indira Yasmine (Foto-foto: Trisno S. Sutanto)
Geliat Baru Kecamatan Johar Baru
Johar Baru: Semangat baru
Geliat Baru Kecamatan Johar Baru
Keceriaan festival
Geliat Baru Kecamatan Johar Baru
Bergaya bak Abang dan None Jakarta
Geliat Baru Kecamatan Johar Baru
Aksi marching band
Geliat Baru Kecamatan Johar Baru
Prof. Paulus Wirutomo dan istri ikut berjalan kaki

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Festival budaya kampung "Johar Baru" yang digelar seharian kemarin (17/11) terasa istimewa. Bukan saja karena kemeriahan dan antusiasme warga, tetapi karena di balik itu terselip semangat perubahan yang sangat didamba.

Kecamatan Johar Baru di wilayah Senen, konon, menjadi kawasan terpadat bahkan di Asia Tenggara: sekitar 44.000 penduduk menempati setiap kilometer perseginya! Tidak heran, dengan tingkat kepadatan penduduk setinggi itu, kecamatan Johar Baru terus dirundung masalah pelik. Hampir tidak ada ruang di mana warga mengekspresikan diri mereka, sehingga ketegangan hubungan sosial pun tinggi dan mudah meledak jadi tawuran.

"Boro-boro lahan bermain, bahkan untuk tidur pun warga harus bergantian," ujar Evelyn Suleeman, sosiolog UI dan aktivis Yayasan Lantan Bentala. "Di sini, kalau ayam hilang dicari warga; tapi kalau anak nggak pulang ya dibiarkan."

Berangkat dari keprihatinan itu, beberapa dosen sosiologi UI, di bawah koordinasi Prof. Paulus Wirutomo, sejak 2012 melakukan penelitian intensif dan merancang program intervensi sosial. "Kami mengajak partisipasi warga, khususnya anak-anak muda, untuk mengubah kecamatan Johar Baru dari kampung tawuran menjadi kampung pendidikan," kata Debbie Indira Yasmine, dosen sosiolog UI yang secara intensif melakukan penelitian dan menjadi fasilitator pendampingan di wilayah itu. "Sebagian besar mereka menjadi anggota geng sebagai usaha untuk mendapat pengakuan, sebab selama ini mereka terlupakan Melalui mereka itulah kami merancang program intervensi."

Dari pemetaan yang ada, ditemukan sekitar 58 geng yang mencakup hampir semua lapisan usia. "Bahkan anak-anak kecil pun punya geng sendiri," tambah Evelyn. Dan tawuran antar geng, perdagangan narkoba, maupun berbagai bentuk kriminalitas jadi menu sehari-hari di kecamatan Johar Baru. “Malah kalau lama tak ada tawuran, geng-geng itu janjian bikin tawuran,” lanjut Evelyn sembari tertawa.

Setelah beberapa bulan, upaya intervensi itu mulai menampakkan hasil dengan berdirinya SKJB (Sekolah Komunitas Johar Baru) bulan November tahun lalu yang bermarkas di rumah Paulus, yang kerap dipanggil warga sebagai “profesor” itu. Di sanalah berbagai pembinaan kreatif, mulai dari seni grafis, musik, gerak, sampai forum bertukar gagasan dan pengalaman dilakukan. Di situ pula gagasan mengadakan karnaval dan festival budaya muncul dan didiskusikan.

Festival budaya kampung "Johar Baru" digagas sebagai bentuk ekspresi warga untuk melukiskan semangat baru itu. Dengan menggalang kerjasama berbagai komunitas di luar Johar Baru, mulai dari Departemen Sosiologi UI, Rumah Budaya Yayasan Lantan Bentala, Institut Kesenian Jakarta maupun pemerintah daerah DKI, festival ini melibatkan 4 kelurahan: Galur, Tanah Tinggi, Kampung Rawa dan Johar Baru.

Sekitar 400 peserta dengan berbagai atribut mengikuti karnaval sejak pagi, mulai dari pom bensin Galur, menyusuri Pangkalan Asem sampai berujung di kantor Kecamatan Johar Baru. Di situ, rangkaian musik, tari, puisi, maupun bazaar berlangsung meriah sampai malam hari menampilkan berbagai kreativitas warga. “Ini untuk pertamakali bisa terjadi di sini, empat kelurahan bekerjasama tanpa tawuran,” kata seorang warga.

Ini baru Johar Baru!


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home