Loading...
OPINI
Penulis: Nova Yulanda Putri Sipahutar 00:00 WIB | Senin, 25 April 2016

Habis Gelap Terbitlah Terang: Seberapa Cepat Kita Menuju Terang?

Mewujudkan kebebasan dan otonomi bagi perempuan dalam menentukan pilihan adalah impian Kartini bagi kaumnya. Kebebasan dan Otonomi adalah terang itu sendiri.

SATUHARAPAN.COM - Matahari adalah pusat jagat raya. Bumi berotasi mengelilingi matahari dalam 24 jam. Ketika bumi berputar ada bagian bumi yang terkena sinar matahari maka daerah tersebut terang. Tetapi ada juga bagian bumi yang sedang gelap. Bumi selalu berputar, tiba saatnya yang terang menjadi gelap dan giliran bagian bumi yang awalnya gelap menjadi terang. Begitulah prosesnya, manusia tidak perlu mengusahakan kedatangan terang di bumi. Bumi memiliki sistemnya sendiri untuk “berkomunikasi” dengan matahari.

Buku Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat Kartini. Dalam surat yang dikirimkan Kartini pada sahabat-sahabatnya di Eropa, Kartini menceritakan kegelisahannya tentang perempuan-perempuan pribumi. Masa di mana perempuan masih sangat dibatasi untuk menggapai pendidikan yang tinggi. Tradisi pingitan bagi perempuan menunggu kedatangan laki-laki untuk melamar. Bahkan tidak ada pilihan untuk mengatakan iya atau tidak untuk calon suami yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya, meskipun laki-laki itu sudah punya banyak isteri, umur sudah tua, dan berperilaku yang tidak baik.  Perempuan adalah mahluk pasif dan pasrah. Perempuan  hanya bisa pasrah dengan nasib yang sudah diputuskan oleh orang tuanya jika belum menikah dan pasrah pada suami jika sudah menikah. Eksistensi perempuan ada pada laki-lakinya.  Masa itu merupakan masa yang sangat gelap bagi perempuan pribumi.

Kartini sendiri sempat terjebak dalam kegelepan itu karena cintanya kepada sang ayah. Keinginan Kartini untuk melanjutkan sekolahnya ke Belanda harus kandas karena sang ayah tidak mengijinkannya. Dia harus dipingit setelah menyelesaikan pendidikannya di Europese Lagere School (ELS).  Sampai pada akhirnya pada tahun 1903 ada Bupati Rembang yang melamar Kartini dan dijadikan istri ketiga. Untunglah Kartini bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru bahkan mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan pribumi di Rembang pada waktu itu.

Pada tahun 1904 Kartini meninggal selang beberapa waktu lamanya setelah melahirkan anak pertamanya. Tetapi perjuangan yang dimulai Kartini terus dilanjutkan, termasuk sekolah perempuan yang dimulai Kartini malah semakin banyak dan berdiri di kota-kota lainnya seperti Semarang dan Surabaya.

Mewujudkan kebebasan dan otonomi bagi perempuan dalam menentukan pilihan adalah impian Kartini bagi kaumnya. Kebebasan dan Otonomi adalah terang itu sendiri. Perempuan juga bisa eksis sebagai dirinya sendiri, bukan karena putri dari seorang ayah atau istri dari seorang suami.

Tonggak perjuangan perempuan kemudian dilanjutkan pada bulan Desember 1928 melalui Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Pendidikan untuk perempuan merupakan isu yang dibahas pada saat kongres tersebut bersama dengan isu perkawinan dini dan solidaritas bersama janda dan anak yatim.  Tentulah pada masa itu, pernikahan dini masih marak terjadi. Begitu juga pendidikan, masih sangat sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan.

Semangat untuk mengeliminir perkawinan anak ini baru dilegalkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Tentu tujuannya adalah mencegah perkawinan anak terus terjadi. Pada pasal 7 Ayat 1 berbunyi "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun." Sementara Ayat 2 berbunyi "Dalam hal penyimpangan dalam Ayat 1, pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita."

Itu tahun 1974. Berarti lebih dari 70 tahun sejak Kartini meninggal, setelah menuangkan impian dan pikirannya tentang perempuan pribumi yang harus mendapatkan kebebasan dan otonominya.

Meskipun sudah diatur usia perkawinan, pernikahan anak di Indonesia memang mengkhawatirkan. Data Susenas 2012 menunjukkan sekitar 11,13% anak perempuan menikah pada usia 10-15 tahun. Sekitar 32,10 % menikah pada usia 16-18 tahun. Tentu dampak dari perkawinan anak ini adalah meningkatnya angka kematian ibu karena belum matang secara biologis. Meningkatnya angka perceraian karena tidak siapnya secara psikis. Dalam pendidikan Indonesia, usia 16 tahun itu masih berada di kelas X atau kelas 1 Sekolah Menengah Atas.

Saya mengingat saat saya usia 16 tahun masih ingin bermain dan berpetualang bersama teman-teman. Tanggung jawab utama saya pada usia itu adalah belajar. Dan anak-anak perempuan di usia 16 tahun seharusnya seperti saya, yang tanggung jawab utamanya adalah belajar!

Dinamika dunia yang berputar cepat, Undang-undang perkawinan masih tetap sama bunyinya. Undang-undang yang dirumuskan konteks abad 20 tidak berubah meskipun kita sudah hidup di abad ke-21. Upaya untuk menaikkan angka minimum perkawinan ini masih belum berhasil di tingkatan Mahkamah Konstitusi. Sangat menyedihkan!

Untuk menerbitkan terang kebebasan dan otonomi bagi perempuan tidak lah seperti bumi yang berputar mengelilingi matahari. Yang pada saatnya dari gelap menuju terang. Terang ini harus diperjuangkan. Kartini yang hidup di akhir abad 19  mampu berpikir maju. Anggota DPR dan MK kita yang hidup di abad 21 tapi masih berpikir ala abad 19.

Keluarga seperti Kartini yang konteksnya abad 19 juga masih ditemui di keluarga-keluarga saat ini. Saya masih sering mendengar: perempuan juga ujung-ujungnya ke dapur jadi tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Kalau sekolah terlalu tinggi nanti sulit dapat jodoh. Sulit dapat jodoh sampai akhirnya perawan tua. Perawan tua itu memalukan dan dicibir oleh masyarakat. Betapa kolotnya orang-orang yang mengasosiasikan sekolah tinggi yang berujung pada hal yang memalukan.

Seseorang bisa mengurungkan niatnya untuk bersekolah karena ujung-ujungnya ke dapur tadi. Seorang perempuan bisa batal bersekolah karena laki-laki yang dijodohkan orang tuanya lebih rendah pendidikannya dari dirinya atau tidak mau menunggu sampai si perempuan menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu. Seorang perempuan bisa memilih untuk berhenti sekolah karena tidak mau dicap perawan tua. Sangat konyol memang, tetapi itu adalah mitos yang masih akrab bagi masyarakat kita. Orang-orang tidak sadar ketika melontarkan mitos-mitos demikian berdampak signifikan pada orang lain.

Dampak positif pendidikan bagi perempuan untuk mencegah perkawinan dini ini harus digemakan. Dengan pendidikan perempuan bisa memiliki pengetahuan yang luas. Dengan pendidikan perempuan bisa memilih pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. Dengan pendidikan perempuan bisa membantu memperbaiki perekonomian keluarganya. Dengan pendidikan perempuan bisa menunda usia perkawinannya sampai dia benar-benar siap untuk menikah.

 

Penulis adalah Pengurus Pusat GMKI dan anggota Regional Women Committee World Student Christian Federation Asia Pasific

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home