Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 18:03 WIB | Sabtu, 19 April 2014

Heavy Metal Suriah Bertahan dalam Suasana Perang

Heavy Metal Suriah Bertahan dalam Suasana Perang
Film dokumenter ‘Syrian Metal Is War’. (Foto: youtube.com)
Heavy Metal Suriah Bertahan dalam Suasana Perang
Monzer Darwish mempersiapkan film dekat lokasi ledakan. (Foto: theatlantic.com)
Heavy Metal Suriah Bertahan dalam Suasana Perang
Monzer Darwish dengan anggota band Chaos di Buzz Cafe di Aleppo pada 24 Desember. (Foto: theatlantic.com)

SURIAH, SATUHARAPAN.COM – Pemuda Suriah Monzer Darwish berbekal ponsel dan kamera pinjaman membuat dokumenter  tentang musik Heavy Metal di Suriah. Dia telah malang melintang di penjuru Suriah untuk memfilmkan setiap musisi metal yang dia dapat temukan pada tahun lalu. Seperti diberitakan pekan ini.

Film dokumenter garapan desainer grafis ini bertitel Syrian Metal Is War sedang diedit di Lebanon pada akhir musim semi.  Sebuah trailer diterbitkan pada youtube.com pada Januari 2014 lalu.

Heavy metal, dengan syair mengerikan, gemuruh elegi, dan tarian kekerasan, sering beresonansi dengan orang-orang muda . Musik ini membantu mereka mengungkap solidaritas satu sama lain selama periode ketegangan politik dan sosial. Tetapi Darwish ingin menunjukkan cara metal head Suriah dan alternatif bagi orang-orang muda, seperti rekan-rekan mereka di Irak dan Afghanistan yang beralih ke musik. Ini tidak hanya cara mengatasi trauma massa, tetapi juga sebagai sarana melakukan dialog jujur ​​tentang cara bertahan dalam situasi perang dan mereformasi masyarakat.

Misi Darwish sejalan dengan sejarah heavy metal. Ketika genre itu muncul di Barat, musisi keluar dengan musik, panggung, dan fisik keras untuk memprotes perang dan kebangkrutan moral. Black Sabbath , yang anggotanya sering salah sangka dianggap sebagai pemuja setan sebenarnya menyerukan perdamaian dengan lagu klasiknya tahun 1971 “Children of the Grave” (Anak-Anak Liang Lahat):  

Must the world live in the shadow of atomic fear?…  

If you want a better place to live in, spread the words today

Show the world that love is still alive; you must be brave

or you children of today are children of the grave.

(Harus dunia hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan atom? ...

Jika kamu menginginkan tempat yang lebih baik untuk hidup, sebarkan kata-kata ini sekarang

Tampilkan dunia bahwa cinta masih hidup; kamu harus berani

atau anak-anak hari ini menjadi anak-anak liang lahat.)

Sejarah Heavy Metal Suriah

Penggemar heavy metal Suriah sering merujuk pada penyanyi bergaya opera Jack Power. Dia yang membentuk band yang menampilkan musik metal pada 1980-an dan 1990-an. Dia mempelopori genre itu di Suriah. Pada tahun 2003, Nu.Clear.Dawn menggabungkan vokal paduan suara dengan keyboard dan heavy gitar dan menjadi band heavy metal pertama Suriah yang meluncurkan album asli. Pada tahun yang sama, gitaris Rawad Massih membentuk The Hourglass, band metal pertama Suriah yang tur ke luar negeri. Beberapa tahun kemudian, pemain utama seperti Gene Band dan Anas & Friends, yang bentuk musik mereka melampaui hard rock Barat, manggung dalam rangkaian acara di Damaskus. Sementara itu, musisi alternatif seperti Fadi Massamiri bereksperimen dengan pendekatan yang lebih gelap. Dia mengumpulkan ide-ide kematian Skandinavia dan doom metal dan thrash hard core Amerika. Segera, kafe di Aleppo dan Latakia menjadi pihak penyelenggara gerakan bawah tanah yang menampilkan band-band seperti Slumpark Correctional. Sedangkan di studio Damaskus yang dimiliki grup seperti Eulen bergejolak keluar keyboard bercampur lantunan penguburan yang tersebar lewat YouTube. Sementara beberapa dari kelompok-kelompok ini tetap bertahan di Suriah, pertempuran tersebar jauh ke tempat lain seperti Dubai, Yordania, dan Turki. Massih dari The Hourglass misalnya telah berangkat ke Beirut, tempat paling utama grup musik hard rock Tanjaret Daghet yang terkenal dengan musik rock pengungsi Suriah.

Darwish tumbuh dengan mendengarkan heavy metal Barat. Band-band metal Suriah seperti Nu.Clear.Dawn dan The Hourglass, dan musik Arab, telah menguji keahliannya pada piano, oud, dan gitar. Dia menemukan musik metal setelah mendengarkan ‘Battery’ dari Metallica untuk menenangkan saraf, dan sejak menemukan inspirasi dalam karya Samantha Escarbe dari Virgin Black, Mikael Akerfeldt dari Opeth, dan John Petrucci dari Dream Theater.

Bahkan sebelum perang Suriah pecah, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat bergerak untuk membubarkan band-band Heavy metal dan musik yang mereka sebarkan. Bukan hanya vokalis yang syairnya seputar mengecam perang dan korupsi saja. Pihak berwenang Suriah, seperti di banyak negara Timur Tengah lainnya, menuduh musisi metal dan penggemar mereka bejat dan pemuja setan.

Pada 2009 misalnya, produser musik heavy metal Suriah dan musisi Bashar Haroun meluncurkan lagu doom metal dengan band Orion-nya di Aleppo yang bertitel ‘Of Freedom and the Moor’ (Tentang Kebebasan dan Orang Moor). Tidak lama kemudian, pihak berwenang Suriah memenjarakannya karena diduga mendorong sebuah gerakan pemujaan Setan, dengan  mengutip sebagai bukti T –shirt tengkorak yang dipakainya dan poster musisi blackmetal Norwegia Burzum yang dimilikinya.

Sekarang pemerintah yang sama, sebelum perang, mengutuk, mengancam, dan memenjarakan musisi heavy metal. Pemerintah memberitahukan dengan keras perang mereka melawan ekstrimis. Hal itu termasuk pula melarang musik non-Islami  dan menyasar para musisi di beberapa bagian yang dikuasai pemberontak Suriah dalam konflik yang telah menewaskan 150 ribu orang. Apakah musik benar-benar lebih berdosa daripada kekerasan yang menghancurkan seperti itu? Darwish justru ingin filmnya terfokus pada permasalahan itu, bukan pada politik perang saudara di negara itu.

Film Monzer Darwish

"Kadang-kadang aku terpaksa menggunakan ponselku untuk pengambilan film di luar ruangan yang begitu berbahaya di negara itu karena ini lebih mudah disembunyikan di saat-saat aku dihentikan angkatan bersenjata," kata Darwish, "dan kadang-kadang kamera dipinjam seorang teman untuk wawancara dalam ruangan dan cuplikan konser."  Kebanyakan otodidak. Darwish mengumpulkan klip ponsel dari depan, klip DSLR dari jalan, dan klip SLR dari daerah yang lebih aman pada hard disk dan memotong film di laptop di rumah asalkan tetap listrik hidup. "Kurangnya listrik benar-benar menjengkelkan," tambah Darwish. "Untuk sementara saya bahkan menemukan diriku pergi dari satu kota ke kota lain hanya untuk mengikuti listrik... dan itu saja menempatkanku beresiko hancur berkeping-keping bersama dengan gear dan footage-ku."

Film Darwish mencakup pionir metal Suriah dari pusat budaya Aleppo ke studio pusat Damaskus hingga ke tempat pengungsian yang jauh di Beirut. Dia hidup berpindah dari kota ke kota dan tanpa pekerjaan lain dalam kehancuran ekonomi, dia harus mengorbankan hampir segala sesuatu untuk menutupi biaya film. "Saya harus menjual banyak barang," kata Darwish.

Pada 2013, Haroun menciptakan ‘Live Under Siege’ (Hidup dalam Kepungan). Sebuah rangkaian konser metal di Buzz Cafe dan tempat-tempat lain di Aleppo yang mendesak pemuda bawah tanah tidak untuk berperang satu sama lain ketika pertempuran sengit pecah di kota. Darwish datang tidak hanya memfilmkan pertunjukan itu tetapi berani juga bermain gitar. Salah satu acara berlangsung pada malam Natal, berlangsung di saat pengeboman terberat di Aleppo selama perang.

"Saya pikir (pembuatan film Darwish) adalah pekerjaan yang sangat penting," kata Massih. “Karena mencampurkan film dengan perang yang terjadi di tanah yang sama dan mempertemukan itu. Pertama , ada perang yang menjadikan musisi heavy-metal kecil, negara dunia ketiga seperti Suriah, dan masalah yang kamu hadapi di sini. Kedua, perang kedua adalah perang Suriah itu sendiri, yang menurutku perang kekuasaan, dan Suriah dari semua sisi hanyalah alat di dalamnya."

Darwish telah menempuh risiko begitu besar untuk memfilmkan musik heavy metal di Suriah yang paling berat dengan kota-kotanya terpecah belah. Dia beralasan bahwa hal itu layak untuk didokumentasikan. Ketika faksi-faksi di negara itu berteriak-teriak kepada pemudanya untuk bergabung dalam pertempuran, menyumbang kebiadaban, tetapi orang-orang muda Suriah malah memilih untuk berdamai dengan melestarikan kemanusiaan melalui seni.

"Keluargaku dan tunanganku khawatir tentang diriku dan kesejahteraanku," kata Darwish yang tidak berencana meninggalkan Suriah. "Saya sering menemukan mereka ketakutan aku mati, namun mereka cukup mendukungku melakukan hal terbaik yang kulakukan dalam hidup."

"Mereka masih mempercayaiku dan film," tambahnya. (artsfreedom.org/theatlantic.com)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home