Loading...
SAINS
Penulis: Equivalent Pangasi 15:55 WIB | Sabtu, 26 April 2014

HRW: 40 Persen Anak di India Putus Sekolah (1)

HRW: 40 Persen Anak di India Putus Sekolah (1)
Data tentang anak yang putus sekolah di India sebelum menyelesaikan kelas 8. (Foto: hrw.org)
HRW: 40 Persen Anak di India Putus Sekolah (1)
Seorang juru masak menyediakan makan siang di sebuah sekolah dasar yang dikelola pemerintah pada sebuah desa di sebuah negara di timur India, Bihar. (Foto: Reuters/hrw.org)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Lembaga hak asasi manusia (HAM) Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa lebih dari 40 persen anak di India putus sekolah sebelum menyelesaikan kelas 8 meskipun baru-baru ini sebuah undang-undang (UU) dirancang untuk memberikan pendidikan dasar wajib dan gratis bagi semua.

Dalam laporan berjudul They Say We’re Dirty (mereka bilang kami kotor) yang dirilis pada Selasa (22/4) tersebut, HRW mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa yang berhenti sekolah berasal dari tingkat sosial paling rendah di India.

Laporan setebal 77 halaman itu menunjukkan bagaimana diskriminasi yang dilakukan guru dan petugas sekolah telah gagal dalam memberikan lingkungan sekolah yang tebuka dan ramah bagi anak-anak.

Seorang peneliti asal India, Jayshree Bajoria mengungkapkan pada Amy Braunschweiger dari HRW mengenai konsekuensi dari diskriminasi berat yang terjadi serta hal-hal yang harus diubah untuk melindungi anak di sekolah.

Siapa yang Putus Sekolah

Bajoria mengatakan sebagian besar anak yang putus sekolah berasal dari komunitas paling miskin dan paling dipinggirkan seperti Dalit – komunitas ‘tak terjangkau’ pada bagian terendah sistem kasta di India – anggota kesukuan dan umat Muslim.

“Terkadang, anak-anak itu merupakan generasi pertama di dalam keluarga yang pernah menginjakkan kaki di ruang kelas. Dan hanya sedikit di antaranya yang berhasil mencapai kelas 8,” ujar Bajoria.

Menurutnya, ada sejumlah alasan mengapa anak-anak itu putus sekolah. Masalah pekerja anak dan pernikahan dini pada anak-anak perempuan adalah beberapa faktor penyebab.

“Namun penelitian kami menunjukkan dampak berbahaya dan sangat merusak dari praktik diskriminasi yang telah mendarah daging di sekolah,” Bajoria menjelaskan, “para guru akan memerintahkan para murid yang berasal dari komunitas marginal untuk duduk di bagian belakang kelas dan kemudian mengabaikan mereka.”

Lebih lanjut Bajoria memaparkan bagaimana anak-anak itu diperlakukan dengan tidak adil. Sekolah kerap menyediakan makan siang gratis pada anak-anak itu hanya setelah anak-anak lainnya mendapatkan makan siang. Sekolah bahkan meminta mereka mengerjakan tugas-tugas yang dianggap rendah seperti membersihkan toilet, sesuatu yang tidak pernah terjadi pada anak-anak istimewa.

Selain itu, para guru memberikan komentar yang menghina atau tidak menghentikan perilaku anak-anak istimewa yang mengasingkan anak-anak marginal itu.

“Lingkungan yang tidak ramah dapat membuat anak enggan menghadiri kelas, menempatkan mereka pada resiko putus sekolah,” ia menambahkan.

UU Pendidikan Anak

“Hak Pendidikan Dasar yang Wajib dan Gratis merupakah sebuah langkah penting, meskipun tentu saja tantangannya besar sekali, mengingat ketidakadilan yang dibangun di lingkungan India selama berabad-abad,” Bajoria mengungkapkan.

Sejak UU diberlakukan pada 2010, pendaftaran sekolah dasar telah meningkat hingga hampir 100 persen, dari 83 persen pada 2001. Hal tersebut menjadi pencapaian yang besar bagi negara yang enam dekade sebelumnya memiliki kasus buta huruf yang tinggi.

“Namun ketika UU itu berbicara tentang kelas yang ramah anak – di mana setiap anak diperlakukan sama – ini jelas tidak terjadi di banyak tempat. Dan tidak seorang pun yang dianggap bertanggung jawab atas terciptanya lingkungan yang tidak ramah itu,” kata Bajoria. (hrw.org)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home