Loading...
FOTO
Penulis: Dedy Istanto 18:31 WIB | Minggu, 29 Maret 2015

Jokowi Diminta Transparan Pilih Anggota Komisi Kejaksaan Agung

Jokowi Diminta Transparan Pilih Anggota Komisi Kejaksaan Agung
Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) (kanan) bersama dengan Dio Ashar Wicaksana (kiri) dari MaPPI Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan saat memberikan keterangan pers terkait dengan proses pemilihan komisioner Komisi Kejaksaan Agung yang dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik di kantor YLBHI Jalan Pangeran Dipoenogoro, Jakarta Pusat, Minggu (29/3) (Foto-foto: Dedy Istanto).
Jokowi Diminta Transparan Pilih Anggota Komisi Kejaksaan Agung
Koalisi Pemantau Peradilan saat memberikan keterangan persnya terkait dengan proses pemilihan komisioner Komisi Kejaksaan Agung periode tahun 2015 - 2019 yang harus tidak memiliki afiliasi dari partai politik (Parpol).
Jokowi Diminta Transparan Pilih Anggota Komisi Kejaksaan Agung
Dio Ashar Wicaksana (kiri) saat memberikan keterangan kepada para awak media terkait dengan proses pemilihan anggota Komisi Kejaksaan Agung periode tahun 2015 - 2019 yang dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Jokowi Diminta Transparan Pilih Anggota Komisi Kejaksaan Agung
Julius Ibrani dan Dio Ashar Wicaksana yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan saat memberikan keterangan pers terkait dengan proses pemilihan komisioner Komisi Kejaksaan Agung yang mendesak Presiden Joko Widodo untuk transparan dan melibatkan aspirasi publik.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koalisi Pemantau Peradilan menilai seleksi pemilihan komisioner Komisi Kejaksaan Agung tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik. Di akhir kepengurusan periode kedua kinerja Komisi Kejaksaan Agung dianggap tidak membawa hasil yang maksimal, salah satunya mengenai penanganan laporan pengaduan tahun 2013 dan 2014 yang hingga kini belum dipublikasikan kepada masyarakat.

Penilaian tersebut disampaikan oleh Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Dio Ashar Wicaksana (Peneliti Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dalam keterangan persnya di kantor YLBHI Jalan Pangeran Dipoenogoro, Jakarta Pusat, Minggu (29/3).

Ketiadaan transparansi Komisi Kejaksaan Agung mengakibatkan publik tidak mendapatkan informasi yang faktual terhadap kinerja lembaga tersebut yang dinilai tidak memuaskan karena terdapat beberapa catatan negatif. Julius mengatakan beberapa catatan negatif diantaranya adanya pemberhentian salah satu komisioner karena telah melanggar kode etik, kemudian beberapa kali ditemukan seorang komisioner yang absen kehadiran dalam rapat rutin serta penanganan Jaksa Urip yang hingga kini tidak tahu bagaimana proses kelanjutannya.

Buruknya kinerja d iinternal Komisi Kejaksaan Agung menjadi pertimbangan terhadap calon komisioner yang baru. Koalisi Pemantau Peradilan mengkhawatirkan pemilihan komisioner Komisi Kejaksaan Agung yang dilakukan dari unsur Pemerintah merupakan “titipan“ dari partai politik. Melihat dari pengalaman seperti penunjukan Menteri Koordinator Hukum dan HAM, serta Jaksa Agung, Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) serta pelaksana tugas (Plt) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai merupakan pemilihan secara “titipan“.

Melihat kondisi itu Koalisi Pemantau Peradilan yang terdiri dari YLBHI, KontraS, ICEL, PSHK serta lembaga lainnya menyatakan sikap terkait dengan pemilihan komisioner Komisi Kejaksaan Agung dengan mendesak Presiden Joko Widodo untuk mengutamakan pemilihan enam anggota harus berdasarkan kualitas peringkat atas sesuai hasil Pansel. Kemudian menolak calon komisioner yang memiliki afiliasi dengan partai politik (Parpol) dan terakhir mendesak Presiden untuk melakukan transparansi dan membuka aspirasi pubik pada proses pemilihan komisioner Komisi Kejaksaan Agung dari unsur Pemerintah. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home