Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben Ezer Siadari 18:02 WIB | Minggu, 01 Maret 2015

Jokowi-JK Diberi Waktu Dua Minggu Turunkan Harga Beras

Jokowi-JK Diberi Waktu Dua Minggu Turunkan Harga Beras
Presiden Joko Widodo ketika menginspeksi gudang Bulog di Jakarta (Foto: setkab.go.id).
Jokowi-JK Diberi Waktu Dua Minggu Turunkan Harga Beras
Bustanul Arifin (Foto: perspektifbaru.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dalam beberapa hari terakhir sibuk blusukan ke gudang-gudang Bulog untuk memastikan ketersediaan beras stok Bulog. Tidak hanya itu, Jokowi juga blusukan ke pasar-pasar untuk mengetahui perkembangan harga beras.

Kemarin siang,  Jokowi meninjau Pasar Pagi Rawamangun untuk melihat perkembangan harga beras di pasar tersebut. Di sana ia menemukan harga beras masih berada di kisaran Rp 12.000 per liter, jauh dengan harga sebelumnya yang   Rp 9.000 per liter. Sementara itu pada hari yang sama, Jusuf Kalla melakukan inspeksi mendadak  di Gudang Bulog Panaikang, Makassar, untuk mengetahui persediaan beras Sulawesi Selatan sebagai daerah penyangga pangan nasional, menyusul kenaikan harga beras di pasaran.

Sejak pertengahan bulan lalu, Pemerintah telah berupaya menurunkan harga beras dengan melakukan operasi pasar Bulog.  Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, mencium ada upaya pedagang beras mengatur harga sehingga ia meminta Bulog mengubah sistem pendistribusian beras. Distribusi beras lewat operasi pasar, tidak lagi melalui pedagang-pedagang beras di pasar, melainkan dilakukan oleh satgas langsung ke masyarakat.

Faktanya, hingga hari ini harga beras di sebagian besar wilayah Indonesia masih relatif tinggi. “Harga beras belum mengalami penurunan, masih diatas Rp 10 ribuan,” kata Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin kepada satuharapan.com, hari ini (1/3).

Menurut penyandang gelar doktor ekonomi  University of Wisconsin-Madison, AS,ini, operasi pasar Bulog yang sudah dilakukan sejak pertengahan Februari tidak bisa dengan cepat menekan harga karena sudah sempat bereskalasi sejak November lalu.  Saat ini, menurut dia, adalah masa-masa krusial untuk menilai efektifitas operasi pasar yang dicanangkan oleh Jokowi-JK, yang sudah melipatgandakan volume beras operasi pasar dari hanya puluhan ribu ton sebelumnya menjadi lebih dari 300 ribu ton lebih.

“Sekarang adalah masa krusial. Dalam dua-tiga minggu ini kita lihat. Apakah harga akan turun. Kalau tidak, berarti ada yang tidak nyambung dalam kebijakan stabilisasi beras pemerintah, antara operasi pasar Bulog dengan skema-skema kebijakan yang lain. Dan pertanyaan orang bisa melebar kemana-mana termasuk mempertanyakan apakah memang betul gudang Bulog penuh dengan stok beras,” kata Bustanul.

Harga Bergerak Liar karena Lengah

Bustanul menengarai ada faktor kelengahan pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan harga beras. Ia mengatakan, sudah merupakan hal biasa setiap tahun di bulan Februari ada kemungkinan kenaikan harga beras. Oleh karena itu antisipasi terhadap kemungkinan kenaikan tersebut seharusnya dilakukan jauh-jauh hari. “Orang-orang di pemerintahan pasti tahu ini. Banyak diantara mereka yang sudah bergelar doktor, pasti tidak mungkin tidak tahu. Tetapi saya menduga mereka tidak menyangka bila pergerakan harga bisa seliar ini,” kata Bustanul.

Faktor lain yang menurut dia, membuat harga beras makin melambung ialah soal beras miskin atau raskin. Di bulan November-Desember, karena permasalahan administratif, pemerintah tidak menyalurkan raskin kepada masyarakat miskin. "Ini karena persoalan administrasi. Kalau pakai dana pemerintah harus pakai Kuasa Pengguna Anggaran. Surat KPA berlarut-larut tidak terbit karena kurang komunikasi antara Kemenko Kesra, Kemendag, Kemensos," kata dia. Raskin baru disalurkan pada bulan Januari. Dan dari ratusan ribu ton sebagaimana biasanya, yang disalurkan ternyata dipotong menjadi menjadi puluhan ribu ton. Itu pun harus mengambil stok beras cadangan pemerintah.

“Dari sinilah harga bereskalasi naik. Logikanya, orang miskin yang terbiasa mendapat beras jatah raskin, terpaksa pergi ke pasar untuk membeli beras. Itu lumayan mendorong kenaikan harga. Ini yang menggerus stok beras Bulog,” tutur dia.

Adanya pernyataan bahwa pemerintah tidak lagi akan membagikan raskin melainkan menyalurkan raskin dengan menggunakan e-money, menurut Bustanul, juga ikut mendorong kenaikan harga beras. Padahal, dari segi kesiapan pemerintah, saya meragukan apakah penyaluran dana raskin melalui e-money bisa berjalan dengan baik,” tutur dia.

Jokowi dan JK Turun Tangan

Melihat rawannya permasalahan kenaikan harga beras ini, Jokowi-JK akhirnya turun tangan. Rapat koordinasi yang membahas langkah-langkah untuk mengatasi kelangkaan beras yang sedianya dipimpin dan dilakukan di kantor Menko Perekonomian, dipindahkan dan dialihkan ke kantor Wapres. “Setelah rakor itulah baru keluar pernyataan bahwa operasi pasar Bulog ditambah menjadi  tigaratus ribu ton, bukan puluhan ribu ton seperti sebelumnya,” kata Bustanul.

Bustanul mengatakan ditambahnya volume operasi pasar Bulog memang merupakan langkah signifikan. Sebab jika operasi pasar dilakukan dalam jumlah kecil tidak akan mungkin mempengaruhi harga di pasar yang sudah terlanjur naik. Masalahnya sekarang, menurut Bustanul, operasi pasar yang dijalankan Bulog juga semestinya tidak hanya menjangkau rumah tangga-rumah tangga, melainkan harus masuk ke pasar.

“Sebab, yang teriak-teriak barang tidak ada selama ini adalah pedagang karena mereka tidak punya barang untuk dijual. Yang saya khawatir, jika operasi pasar hanya kepada rumah tangga, nanti jatah mereka bisa diborong oleh pedagang. Orang-orang disuruh antri. Dan ini sudah pengalaman. Jadi perlu perhatian penyalurannya,” kata Bustanul.

Masalah lain yang juga dalam hemat Bustanul belum dipecahkan, adalah koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan Bulog. Menurut peneliti senior pada  International Center for Applied Finance and Economics (InterCafe), IPB-Bogor, ini,  Bulog baru dapat melakukan operasi pasar ke daerah apabila Pemda mengajukan permohonan.

“Ini permasalahannya adalah administratif,  karena sudah otonomi daerah. Kalau untuk Jakarta pemerintah pusat bisa langsung operasi pasar. Kalau Lampung, misalnya,  tidak minta, mungkin tidak digrojokin beras operasi pasar dalam jumlah besar. Yang bisa dilakukan hanya  operasi pasar seperti biasa, yang ker karung lima kg. Tetapi itu tidak akan cukup signifikan menurunkan harga,” lanjut dia.

Tambal Sulam

Walau dengan turun tangannya Jokowi-JK menangani permasalahan beras memberi tambahan optimisme pada Bustanul Arifin, ia mengatakan bahwa operasi pasar yang dicanangkan pemerintah masih bersifat tambal sulam dan tidak masuk ke akar permasalahannya. “Tahun ini menjadi istimewa, karena berbagai masalah terakulumasi, mulai dari raskin yang tidak dibagikan, operasi pasar yang terbatas lalu sampai harus melibatkan TNI, itu merupakan gambaran permasalahan perberasan kita,” kata Bustanul.

Permasalahan beras semakin rumit karena tahun lalu produksi beras Indonesia turun. Tahun lalu, menurut dia, terdapat penurunan produksi sekitar tiga juta ton beras. Dan ini yang bagi Bustanul mengkhawatirkan.

“Kalau berkurangnya produksi tahun lalu itu berpengaruh pada  pengelolaan stok Bulog, maka hal itu pasti akan berpengaruh pada harga. Dan diskusi kita akan liar, karena pertanyaannya adalah apa betul beras masih ada di gudang Bulog? Mudah-mudahan sih ada. Karena hari Sabtu lalu Bulog mengatakan masih ada  1,4 juta ton cadangan beras Bulog, walaupun idealnya minimal  1,8  juta ton.

Di lain pihak, Bustanul tidak menyarankan pemerintah  melakukan impor kecuali oleh karena hal-hal yang sangat mendesak. Sebab, jika pemerintah melakukan impor beras saat ini, kata Bustanul, sama saja pemerintah menjilat ludah sendiri. Apalagi, menurut kebijakan pemerintah, impor beras tidak boleh dilakukan satu bulan sebelum, saat, dan dua bulan setelah panen raya. Sedangkan panen raya padi di Tanah Air diperkirakan sudah terjadi pada akhir Maret ini.

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home