Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 01:00 WIB | Senin, 25 April 2016

Kartini Tak Minta Perempuan Berkebaya

Didiklah perempuan Indonesia untuk membaca.
Lomba kebaya (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Alangkah cantiknya terlihat para siswa TK dan SD  ikut serta dalam lomba  busana tradisional dalam rangka hari Kartini.  Di  berbagai kantor pun  sejumlah karyawati menggunakan busana tradisional.  Semuanya untuk memperingati jasa ibu Kartini, pejuang perempuan Indonesia yang paling banyak disebut di tanah air. Memperingati hari Kartini berarti menghayati dan  mengikuti jejak langkahnya.  Tetapi, betulkah karya dan pemikiran ibu Kartini sedang dihayati dengan benar, saat orangtua, guru, masyarakat, saling mengajarkan: gunakanlah kebaya pada hari Kartini karena dengan demikian kita mengenang ibu Kartini yang tidak membatasi pikirannya maupun  dunianya hanya pada keperempuanan, yang terkekang oleh tradisi yang diterjemahkan dengan keterbatasan?

Ibu Kartini mungkin akan senang melihat nona dan nyonya cantik berkain kebaya berjajar rapi, gemulai dalam gerakannya, mencerminkan lemah lembutnya perempuan.  Tetapi, ibu Kartini pasti lebih berbahagia saat melihat Kartini-Kartini modern yang  tidak dibatasi oleh nilai yang mengekang. Perempuan-perempuan yang dengan penuh keberanian menembus batas tradisi. Dilarang orangtua, keluarga atau teman, dicerca oleh oposan,  itu bukan hambatan di mata mereka untuk melakukan kebaikan bagi masyarakat.

Tengoklah Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, yang keberaniannya untuk membenahi pengelolaan laut mengalahkan semua Menteri Perikanan yang pernah ada di negeri ini.  Atau ibu Sri Mulyani, mantan Menteri Keuangan Indonesia yang membuat gerah para pengemplang pajak.   Lihatlah Butet Manurung, perempuan yang memperjuangkan Suku Rimba sehingga mereka mau belajar baca tulis dan bersekolah.  Tengoklah juga Ibu Tri Rismaharini walikota Surabaya yang karyanya membuat kota Surabaya menjadi teratur, bersih dan nyaman telah menjadikannya sangat dicintai seluruh masyarakat Surabaya saat ini.  Lihatlah juga ibu Alberthina Ho, Hakim yang sangat gigih dalam menjalankan profesinya penuh integritas tanpa memikirkan risiko atas keselamatannya, dan berani berbeda dari banyak rekannya yang terpancing iming-iming memperkaya diri.  Atau  Indah, yang dengan hasrat kuatnya untuk menolong suku-suku terdalam di Papua telah membawanya melayani sebagai dokter muda di Kabupaten Lanny Jaya selama tiga tahun (baru-baru ini semua pengalamannya ia tuangkan dalam buku Kembali ke Timur). Masih banyak lagi perempuan yang dengan terbuka atau dengan diam, maju terus dalam memperjuangkan kebenaran, atau menolong mereka yang tak berdaya. Mereka semua menjadi inspirasi bagi banyak orang lain, dan bukan hanya perempuan, untuk berbuat hal yang sama.

Apa persamaan para perempuan itu? Mereka memegang erat nilai yang mereka yakini. Mereka hidup untuk menjalankan nilai itu. Apa pun risikonya. Dan hampir pasti nilai yang mereka pegang teguh itu adalah karena mereka banyak belajar dari luar, selain hasil pendidikan orangtua, atau juga pengaruh besar lingkungan yang positif.

Dari mana orang mempelajari nilai? Salah satu pengaruh sangat kuat adalah melalui membaca. Cobalah cari beberapa orang sukses dalam menerapkan nilai kehidupan yang unggul, tanyailah mereka, maka hampir pasti mereka adalah pembelajar melalui bacaan.

Ya, kawan, membaca bisa berdampak amat dahsyat. Sederhana saja: jika ada satu bidang yang ingin Anda perdalam, maka carilah buku mengenai bidang itu, bacalah 5 halaman sehari. Hanya 5 halaman saja sehari.  Jika setahun jumlah harinya 365, kurangilah dengan semua malam minggu dan hari libur saat Anda membebaskan diri  untuk membaca, sisakan 250 hari untuk membaca, maka dalam setahun Anda telah melahap 5 kali 250 halaman, atau 1250 halaman.  Jika tebal buku  rata-rata 150-200 halaman, maka dalam setahun telah diselesaikan antara 6 sampai 7 buku. Jika semua buku itu mengenai ‘strategi pemasaran’, misalnya, maka mustahil Anda tidak memiliki keahlian dalam menjalankan strategi pemasaran setelah 6-7 buku habis dibaca. Hanya dengan membaca. Tinggal dipraktikkan. Sederhana, namun berdampak dahsyat.

Ibu Kartini juga seorang pembaca. Dan penulis. Karena ia banyak membaca, ia mengembangkan nilai yang menembus batas. Dan karena ia menulis, pemikirannya yang menembus batas menjadi inspirasi bagi jutaan orang.

Didiklah perempuan Indonesia untuk membaca. Dengan itu, Kartini masa depan akan semakin mempengaruhi karakter dan keberhasilan bangsa. Bahkan, ketika Kartini itu ”hanya” menurunkan nilainya sebagai ibu yang setia mendidik anaknya.  Mutu generasi masa depan dan Kartini masa depan ada di tangan para ibu masa kini yang mendidik mereka menjadi warga masyarakat yang istimewa. Salah satunya melalui membaca.

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home