Loading...
INSPIRASI
Penulis: Drijanto Mestoko 05:30 WIB | Selasa, 25 Agustus 2015

Keluar dari Zona Nyaman

Relokasi sering menjurus ke tindakan anarkistis.
Kampung Pulo sebelum dibongkar (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – Setiap pelaksanaan pemindahan warga dari satu tempat ke tempat lain—karena tanah yang ditempati sebenarnya bukan hak milik mereka, tetapi milik Pemda atau milik BUMN/BUMD, bahkan mungkin milik seseorang atau perusahaan tertentu—selalu terjadi penolakan dengan banyak alasan. Kejadian yang terakhir adalah pemindahan warga yang menempati bantaran kali Ciliwung di Kampung Pulo yang berubah menjadi kericuhan dan menjurus ke tindakan anarkistis.

Anehnya, pada saat banyak pihak menuduh Pemda melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM, sebagian besar warga Kampung Pulo justru antre mengambil undian untuk menempati Rusunawa yang telah disediakan oleh Pemda.

Di tempat lain, sebelum dipindahkan warga dari daerah Waduk Pluit dan warga di sekitar waduk Pulo Mas mengeluhkan masalah angkot. Untuk itu Pemda segera membuka jalur angkot untuk melayani warga  rumah susun tersebut. Namun, belum genap satu bulan, ganti para pengemudi angkot yang mengeluh karena tidak ada penumpang dari dan ke kompleks rumah susun itu. Akhirnya mereka kembali ke jalur semula dan tidak masuk ke kompleks rumah susun. Sementara itu warga di rumah susun juga tidak perotes karena ternyata mereka memiliki sepeda motor, bahkan ada yang memiliki lebih dari satu motor. Mereka sebenarnya tidak membutuhkan sarana angkot.

Pertanyaannya, Apa yang sebenarnya diinginkan oleh warga yang dipindahkan? Dan siapa sebenarnya yang menolak relokasi tersebut?

Yang pasti mereka tidak ingin kebanjiran lagi seperti tahun-tahun lalu. Mereka menginginkan tempat yang layak dengan harga yang terjangkau sehingga mereka bisa membangun keluarga yang sejahtera dan anak-anak mereka tetap bisa sekolah.

Mereka telah bertahun-tahun menempati daerah tersebut sehingga mereka sangat mengenali karakter daerah tersebut. Mereka telah mengenal para tetangga yang berada di kiri kanannya. Mereka merasa nyaman dengan situasi yang ada saat ini, meskipun mereka tahu dan sadar bahwa sebenarnya tempat itu tidak layak huni dan ilegal. Tetapi, itulah zona kenyamanan mereka.

Ketidaksiapan dan ketidakberanian mereka menghadapi situasi yang baru itulah sebenarnya yang menolak relokasi tersebut. Bukan masalah angkot dan jarak antara tempat yang baru dengan tempat usaha mereka. Mereka tidak siap untuk keluar dari zona nyaman dan membangun norma pergaulan, kebersihan dan ketertiban lingkungan serta kebudayaan dan kebiasaan yang baru.

Pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa tersebut adalah kita harus senantiasa siap menerima perubahan dan berani keluar dari zona nyaman demi kemajuan dan kebahagiaan diri kita, keluarga, serta masyarakat luas.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home