Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 06:47 WIB | Senin, 29 Agustus 2016

Kita Punya Masalah Besar dengan Kepatuhan

Mari kita belajar mematuhi aturan!
Menyelamatkan diri dari jerat hukum (foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM – ”Sudah lewat masanya ketika kita mengharapkan anak kita sepenuhnya patuh karena masa kini tampaknya kita menuntut segala sesuatu dari anak kita kecuali kepatuhan,” kata penulis dan kritikus Anatole Boyard (1920- 1990).

Kelihatannya bukan hanya di negeri kita kepatuhan menjadi masalah.  Boyard dilahirkan dan besar di New York. Itu berarti ketidakpatuhan juga banyak terjadi di negara maju.

Pasti semua penyimak berita, dalam beberapa minggu ini, merasa terganggu batinnya saat membaca atau mendengar dua berita orangtua yang mencederai guru yang menghukum muridnya karena ketidakpatuhan.  Satu di Makassar, satu lagi di Kalimantan Tengah. Banyak orang terkejut bahwa masalah ketidakpatuhan sudah sedemikian jauh diberikan toleransi oleh masyarakat hingga orangtua bisa membenarkan anaknya yang tidak patuh dan bahkan tidak bersedia guru mendisiplinkan anaknya.

Bagi banyak orang, situasi ini amat menyedihkan. Ketidakpatuhan dijumpai di mana-mana di sekitar kita. Kepatuhan pada aturan lalu lintas hanya  terjadi ketika ada polisi. Begitu polisi berlalu, ketidakpatuhan muncul lagi. Rambu dan marka hanya jadi pajangan.

Disiplin dalam menjalankan kebiasaan baik dan patuh pada aturan umum, misalnya membuang sampah di tempatnya, mudah sekali luntur karena orang di sekeliling juga tidak berdisiplin. Sehingga banyak orang berpendapat, ”Buat apa saya patuh sendirian”.

Cobalah ikuti kedisiplinan di tempat kerja: jam kerja harus dipantau dengan mesin kehadiran, itu pun masih banyak terjadi penyelewengan; deadline laporan tidak dipatuhi kecuali ada hukuman jika tidak dipenuhi; prosedur tidak diikuti karena ‘dianggap bikin ribet’, lebih enak pakai cara sendiri; dan pasti pembaca dapat menambahkan banyak hal lagi.

Anda dan saya melihat dan merasakan semua itu terjadi di sekitar kita. Sesungguhnya, mengapa begitu jauh kemunduran sikap patuh terjadi?

Ada beberapa alasan ketidakpatuhan: yang secara terus terang membangkang dan yang diam-diam. Ketidakpatuhan yang terus terang, dilakukan karena ada ketidaksetujuan dengan aturan.  Pelaku dan pembuat aturan sama-sama mengandalkan kemampuan dan kemauan beradu argumen, di mana aturan dipertanyakan dan digali kemaknaannya. Sebagai hasil adu argumen, aturan bisa diubah atau kepatuhan akan meningkat, karena ada kesamaan pengertian akan aturan.

Alasan ketidakpatuhan lain adalah ”Saya punya kepentingan yang tidak sesuai dengan aturan itu”, sehingga  kepatuhan hanya dilakukan ketika diawasi.  Ini biasanya dilakukan oleh mereka yang tahu bahwa ada aturan, juga tahu bahwa aturan itu wajib dijalankan karena sering kali menyangkut kepentingan orang banyak, namun tetap melanggar karena  kepentingan diri sendiri tidak terasa diakomodasi oleh aturan itu. Jadi, ada alasan untuk melanggar.

”Kenapa Bapak memilih melompati pagar untuk menyeberang padahal sudah ada jembatan penyeberangan tepat di atas Bapak?” ”Karena saya buru-buru.” ”Kalau ada polisi bagaimana, Pak.” ”Ya, saya naik jembatan penyeberangan” ”Meskipun buru-buru?” ”Ya”. 

Takut dihukum, dan dihukum itu menyakitkan dan memalukan.  Jika hukuman terasa jauh di mata, pelanggaran menjadi dekat di hati. Menurut Lawrence Kohlberg, seorang psikolog yang hidup di era yang sama dengan Anatole Boyard, pelaku macam begini bermental dasar seperti kanak-kanak, hanya menghindari hukuman yang menyakitkan. Jika tidak menyakitkan, pelanggaran tak dianggap suatu tindakan cemar. Tak terjadi proses mempertanyakan aturan karena makna aturan tak dijiwai. Jika aturan tidak mendukung kepentingan saya, maka saya boleh saja melanggarnya, asalkan tak ketahuan.

Ketidakpatuhan yang terjadi di sekitar kita saat ini lebih banyak terjadi karena alasan kedua: warga masyarakat yang masih bersifat kanak-kanak. Rhenald Kasali dalam bukunya Re-code Your Change DNA bercerita tentang fenomena ini: Manusia sering baru bersedia berubah ketika terancam kenyamanan atau keselamatannya.

Tentu saja, tak seorang pun suka disebut sebagai kanak-kanak ketika sudah mencapai usia dewasa. Namun, selama tingkah laku mental dasar kanak-kanak masih menempel, sulit bagi diri sendiri untuk berkata, ”Saya orang dewasa yang tahu membedakan hal baik dan benar, dan saya melakukan apa yang saya yakini benar.”

Mari kita belajar mematuhi aturan!

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home