Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 23:59 WIB | Rabu, 24 Agustus 2016

KontraS Apresiasi Putusan MK Terkait Pengadilan HAM

Ilustrasi. Ruang sidang Mahkamah Konstitusi. (Foto: Dok. satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi terkait permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diajukan korban penghilangan paksa 1997/1998 dan kerusuhan Mei 1998.

"Putusan MK memang menolak seluruh permohonan pemohon. Namun, kami sangat mengapresiasi karena Majelis memberikan pertimbangan dan penegasan norma hukum untuk penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu," ujar Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriani di Jakarta, Rabu (24/8).

Menurut Yati beberapa hal yang perlu disambut baik dari putusan MK yang diumumkan pada Selasa (23/8) adalah Majelis menegaskan bahwa pengembalian berkas hanya dilakukan jika berkenaan dengan ketidakjelasan tindak pidana, cara dilakukannya tindak pidana atau berkaitan dengan bukti-bukti.

Menurut KontraS, selama ini alasan yang dikemukakan MK tersebut tidak pernah disampaikan oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik ketika mengembalikan berkas ke Komnas HAM sebagai penyelidik.

"Alasan Kejaksaan Agung cenderung berubah-ubah, salah satunya mereka mempersoalkan belum adanya pengadilan HAM ad hoc," kata Yati.

Selain itu, KontraS menganggap putusan Majelis yang menyarankan kepada pembentuk undang-undang untuk melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU 26/2000 sebagai koreksi penting bagi pemerintah.

Dalam putusan Nomor 75/PUU-XIII/2015 MK memandang ada tiga hal penting yang perlu dilengkapi dalam pasal tersebut, yaitu pertama, tentang penyelesaian atau jalan keluar jika terjadi perbedaan pendapat berlarut antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (Jaksa Agung) mengenai dugaan adanya pelanggaran HAM berat, khususnya kelengkapan hasil penyelidikan.

Kedua, penyelesaian atau jalan keluar apabila tenggang waktu 30 hari seperti dalam Pasal 20 ayat (3) UU 26/2000 terlampaui dan penyelidik tidak mampu melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya.

Terakhir, tentang langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa dirugikan oleh pengaturan pada angka (1) dan angka (2).

Selain itu, KontraS pun mendukung pernyataan MK bahwa persoalan pelanggaran HAM berat seperti yang dialami pemohon sesungguhnya tidak lagi berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik.

"Oleh karena itu, sesuai dengan semangat UUD 1945, maka seharusnya semua pihak mengutamakan bekerjanya supremasi hukum di atas pertimbangan lainnya, sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat 3 UUD 1945," tulis MK dalam putusannya.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Ferry Kusuma menambahkan, putusan MK merupakan angin segar yang perlu diperhatikan dengan saksama oleh pemerintah karena penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat sudah dilakukan sejak tahun 2003.

Selama itu, Kejaksaan Agung dan Komnas HAM saling melakukan pengembalian berkas bahkan hingga sebanyak empat kali.

"Tidak ada satu sikap tegas sampai kapan batas waktu dan bagaimana proses selanjutnya," kata Ferry.

KontraS sendiri mencatat ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang sedang berproses dan belum diselesaikan, termasuk kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa 1997/1998, dan Talangsari 1989.

Sementara itu, Paian Siahaan, orang tua dari Ucok Munandar Siahaan yang hilang pada 1997, berharap pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, bersama Komnas HAM dapat menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat ini dan tidak membuatnya berlarut-larut.

"Putusan MK ini memberikan harapan agar Komnas HAM dan Kejaksaan Agung membuka diri, sebab seperti yang disampaikan MK, soal ini bukan lagi masalah yuridis tetapi politis," tutur Paian.

Adapun uji materil terhadap UU 26/2000 yang dilakukan oleh Paian Siahaan dan Ruyati Darwin, ibu dari Eten Karyana korban meninggal pada kerusuhan Mei 1998, dilakukan atas frasa "kurang lengkap" pada Pasal 20 ayat 3 dan penjelasannya pada undang-undang tersebut.

Kata "kurang lengkap" itu dianggap pemohon multitafsir dan mengakibatkan berkas pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM sebagai penyelidik ke Jaksa Agung sebagai penyidik hanya bolak-balik yang mengakibatkan penyelesaiannya menggantung. (Ant)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home