Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 06:13 WIB | Senin, 18 Juli 2016

KontraS Sambut Baik Peringatan Hari Keadilan Internasional

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar. (Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan bahwa KontraS menyambut baik peringatan hari Keadilan Internasional yang diperingati setiap 17 Juli.

“Peringatan tahun ini bagi Indonesia, mengingatkan kita semua bahwa berbagai kejahatan yang berat, yang dilakukan oleh negara atau dibiarkan oleh negara, tidak ada yang diselesaikan,” kata Haris dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Minggu (17/7).

Menurut Haris bahwa hari Keadilan Internasional (International Justice Day) mulai diperingati sejak 1998, dimana pada tanggal tersebut merupakan pengesahan Statuta Roma, statuta yang menginisiasi Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court-ICC) untuk mengadili penjahat-penjahat kemanusiaan (Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Genosida, Kejahatan Perang dan kejahatan Intervensi/Agresi).

“Pendirian Pengadilan ini adalah mandat global sejak pasca perang dunia kedua dan pasca pengadilan Nurenberg dan Pengadilan Tokyo, yang rumusan awalnya disusun oleh Komisi Hukum PBB (International Law Commission) sejak era 40-an,” kata dia.

Sejak 2002, kata Haris empat tahun pasca disahkan, Statuta Roma mulai diberlakukan. Setiap 17 Juli diperingati sebagi simbol bahwa ICC didirikan untuk melawan impunitas (ketiadaan proses hukum dan penghukumannya) terhadap pejabat-pejabat militer dan sipil yang kerap lolos dari jerat hukum. Serta, menghentikan praktik serupa terulang.

“Sayang dan mengecewakan bahwa Indonesia belum meratifikasi (ikut serta menandatangani) Statuta Roma. Dengan sendirinya Indonesia tidak terikat dan tidak bisa mendapatkan keuntungan perlindungan hukum dari komunitas global,” kata dia.

“ICC bisa menjadi alat pelengkap jika terjadi kegagalan pengadilan nasional untuk menangani pelanggaran HAM berat yang berat. Menariknya, Indonesia mengambil berbagai ide dari Statuta Roma untuk dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ketika terdesak dari PBB atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur pada 1999. Atas dasar Undang-Undang Pengadilan HAM ini banyak penentang ratifikasi merasa bahwa Indonesia sudah memiliki UU Pengadilan HAM jadi tidak perlu menjadi bagian dari Statuta Roma (ICC),” dia menambahkan.

Haris mengatakan dalam catatan KontraS justru Undang-Undang Pengadilan HAM di Indonesia tidak berjalan, berhenti pada tingkat penyelidikan di Komnas HAM saja. Pernah ada beberapa kasus bisa menembus pengadilan (Timor Timur 1999, Tanjung Priok 1984, Abepura 2000) akan tetapi gagal menghukum pelakunya dan gagal menyentuh tingkatan pertanggung jawabannya. Saat ini berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat lainnya ditolak dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung.

“Di zaman pemerintah SBY, agenda ratifikasi pernah masuk dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) tapi tidak terpenuhi. Di zaman Joko Widodo, justru RANHAM (Perpres no. 75 tahun 2015) tidak mengagendakan sama sekali untuk meratifkasi Statuta Roma, alias menghapus rencana ratifikasi tersebut. semakin absurd,” kata dia.

Menurut Haris belum lagi kebijakan-kebijakan penanganan di sektor keamanan yang apabila dilakukan eksesif maka potensial masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, namun tetap tidak ada perhatian dari pemerintah untuk meratifikasi instrumen penting ini.

“Turut diketahui pula dimasa pemerintahan Joko Widodo, pemerintahpun pernah mengundang penjahat terhadap kemanusiaan, yang akhirnya masuk ke dalam yurisdiksi Indonesia, tanpa pernah ditanyai pertanggungjawabannya, seperti kehadiran Omar Al-Bashir pada acara KTT OKI tahun lalu,” kata dia.

Untuk itu, kata Haris  dari KontraS, mengingatkan dan merekomendasikan bahwa penting bagi bangsa Indonesia untuk turut serta dalam penguatan dan gerakan global penghormatan dan perlindungan HAM, dengan turut serta dalam ICC.

“Melalui ICC membantu Indonesia untuk terlindung dari kegagalan proses hukum. Mengingat saat ini pengadilan HAM di Indonesia buntu. Kebuntuan ini bisa ditindak lanjuti oleh ICC, karena salah satu syarat membawa ke Pengadilan Kriminal INternasional jika ditingkat nasional menglami kebuntuan. Secara lebih luas, Indonesia penting memastikan bahwa hukum berjalan mengingat demokrasi jika diisi oleh bandit-bandit kemanusiaan justru akan mencederai agenda demokratisasi di Indonesia, seperti yang terlihat sejauh ini, justru demokrasi dibajak oleh mereka yang tangannya berlumuran darah dimasa lalu,” kata dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home