Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 14:23 WIB | Sabtu, 02 Agustus 2014

Kritis Terhadap ISIS

Kompleks peninggalan Nabi Yunus di Mosul timur yang dihancurkan jihadis Negara Islam (IS), menyulut perlawanan warga Mosul. (Foto: EPA)

SATUHARAPAN.COM – Belakangan ini masyarakat dunia dikejutkan lagi dengan berita penghancuran lebih dari 20-an pusat keagamaan bersejarah di Irak Utara dan Suriah. Salah satunya, kompleks masjid dan makam nabi Yunus—dikenal di Alkitab dan Alquran sebagai nabi yang mempertobatkan penduduk Niniwe Asyur.

Selain itu, makam nabi-nabi lain dalam agama-agama abrahamik—yaitu Yahudi, Kristen dan Islam, gedung-gedung gereja sampai biara gereja Katolik Suriah yang dibangun pada abad ke-4 M. Alasan penghancuran itu adalah tempat-tempat itu telah digunakan untuk praktik ajaran sesat.

Pelakunya adalah ISIS (Islamic State in Iraq and Syria/Syam, atau disebut juga ISIL atau Islamic State in Iraq and Levant). ISIS sedang berusaha mendirikan negara Islam atau Khalifah Islamiyah dan hendak mengikis habis kelompok-kelompok dan tempat ibadah yang dianggap berbeda.

Di Mosul Irak Utara dan di Suriah, gedung-gedung gereja dihancurkan, umat Kristen dipaksa masuk Islam, atau boleh hidup tapi harus membayar pajak khusus, atau jika tetap Kristen dan tidak membayar pajak akan dibunuh atau mati. Ancaman ini telah membuat ribuan umat Kristen keluar dari Mosul dan mengungsi ke tempat aman. Kelompok Islam yang berbeda pun mengalami tekanan. Masjid-masjid mereka dihancurkan.

Tindakan ISIS itu tidak didukung oleh sebagian besar umat Islam baik di Irak dan Suriah apalagi dunia. Saat ini muncul gerakan perlawanan yang melibatkan anak muda bersenjata di Irak dan Suriah. Ini karena tindakan ISIS dinilai tidak sesuai ajaran Islam.

Umat Islam tentu tidak merusak atau menghancurkan masjid. Sikap terhadap Kristen juga menyalahi ajaran Islam. Umat Kristen di Irak Utara dan Suriah sudah ada sebelum Islam muncul, dan ketika Islam menguasai daerah-daerah itu di zaman para Khalifah (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) umat Kristen tetap tidak dipaksa masuk Islam, dibiarkan hidup dan beraktivitas; biara gereja Katolik Suriah yang dibangun pada abad 4 Masehi tidak dirusak. Jadi ISIS tidak mengikuti teladan para Khalifah.

ISIS, Taliban dan Kelompok Ekstrem Islam di Indonesia

Tindakan ISIS di Irak dan Suriah saat ini serupa dengan tragedi memilukan dalam sejarah dunia yaitu penghancuran dua patung Buddha raksasa di lembah Bamiyan Afghanistan oleh pasukan Taliban. Menyedihkan sekali menyaksikan satu demi satu patung Buddha yang terletak di dinding tebing Bamiyan itu diledakkan.

Peninggalan agama Buddha lebih seribuan tahun kebanggaan umat Buddha dan dunia runtuh hancur dalam beberapa detik. Masih teringat juga di awal 1980-an, Indonesia hampir saja mengalami tragedi pengeboman candi Borobudur tapi gagal.

Pelaku penghancuran tempat-tempat warisan peradaban keagamaan itu adalah kelompok-kelompok ekstrem dengan bendera Islam. ISIS dengan pembasmian kelompok yang berbeda dan Taliban menerapkan ajaran atau hukum Islam secara absolut. Penghukuman mati di depan umum seseorang yang dianggap melanggar hukum agama sering dilakukan.

Ekstremisme politik-agama ini tampak pula pada kelompok, seperti Boko Haram di Nigeria, Al-Shabaab di Somalia dan Kenya serta sebelumnya Al-Qaeda yang berpusat di Timur Tengah. Ektremisme ini juga sedikit banyak dianut dan dipraktikkan oleh pemerintah di negara-negara seperti Sudan, Afghanistan, Pakistan dan beberapa negara di Timur Tengah antara lain dibuktikan oleh pemaksaan terhadap warganya di dalam hal agama.

Di Indonesia aliran keagamaan ekstrem dan bersenjata pernah berwujud pada kelompok Laskar Jihad yang terlibat dalam kerusuhan dan peperangan antara Islam dan Kristen di Maluku dan Poso. Kelompok-kelompok garis keras lain masih sempat bermunculan, khususnya karena pengaruh atau dimotori oleh gerakan ekstrem Islam Jemaah Islamiyah (JI) yang berpusat di Malaysia dan melakukan perjuangannya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Ideologi perjuangannya anti Barat dan keinginan untuk mendirikan negara Islam atau Khalifah Islamiyah di Asia Tenggara (serupa dengan ISIS saat ini yang ingin dan berjuang mendirikan Khalifah Islamiyah di daerah Teluk dan Timur Tengah). JI kemudian bermanifestasi dalam tindakan-tindakan teroris di Indonesia. Tapi organisasi JI telah dilumpuhkan atau diminimalisasi.

Namun saat ini disinyalir, banyak pengikut dan simpatisan JI serta kelompok-kelompok radikal lain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang direkrut dan telah bergabung dengan ISIS.

Kelompok-kelompok dengan paham ekstrem yang memperkenankan kekerasan masih ada di Indonesia. Namun tampak mereka berjuang bukan untuk kepentingan politik; jadi bukan terutama anti Barat atau negara dan tidak menggunakan senjata api.

Mereka berjuang bagi moral agama dengan memobilisasi umat, melakukan razia minuman keras, tempat-tempat prostitusi serta mengintimidasi, menyampaikan ancaman kepada “minoritas” atau kelompok lemah secara sosial dan politik dalam masyarakat seperti Kristen, atau aliran keagamaan seperti Ahmadiyah dan Syiah.

Tindakan mereka itu tidak menimbulkan gejolak sosial-politik yang besar tapi tentu sangat berarti bagi kelompok-kelompok “minoritas” itu. Namun, sekecil apa pun efek sosial-politiknya, kelompok-kelompok yang berperilaku ekstrem dengan kekerasan tetap saja menjadi ancaman bagi masyarakat dan negara sehingga tetap perlu diwaspadai dan diawasi oleh masyarakat dan khususnya pemerintah.

Sikap terhadap Kelompok Ekstrem Agama

Terlepas dari perjuangan ideologis agama atau politiknya, kepuasan apa yang didapat dari perilaku kekerasan seperti intimidasi, penutupan atau pembongkaran gedung ibadah, pemerkosaan dan pembunuhan karena agama dan khususnya penghancuran tempat-tempat ibadah atau peninggalan peradaban agama seperti yang dilakukan oleh ISIS dan Taliban? Apakah itu sebuah cara perjuangan untuk mendapatkan kepuasan politik, atau kepuasan agama-kah? Atau itu adalah tindakan perjuangan dan pemuasan nafsu jahiliah, nafsu kebodohan dan kebiadaban manusia? Kekerasan agama adalah tragedi buruk bagi manusia dan semua agama itu sendiri.

Menyikapi dan mengatasi kelompok ekstrem agama dan sepak terjangnya, pertama, negara-pemerintah, lembaga-lembaga dan tokoh-tokoh agama perlu memberikan pendidikan berkualitas dengan pengetahuan dan wawasan keagamaan, kemanusiaan dan kemasyarakatan positif dan luas kepada masyarakat. Kedua, negara-pemerintah, harus tegas di dalam menyikapi perbuatan kelompok dan paham ekstrem ini.

Juga, jika ada kelompok ekstrem yang melakukan tindakan kekerasan dan apalagi menggunakan senjata. Ketiga, masyarakat harus kritis terhadap paham-paham ekstrem dan ajakan-ajakan seperti yang dilakukan ISIS saat ini.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home