Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 15:32 WIB | Rabu, 16 April 2014

Lima Kesalahpahaman Seputar Paskah

Lukisan "Penyaliban Yesus" karya Andrea Mantegna, dibuat pada 1457–1459, dengan cat minyak di atas panel. Dimensi 67 cm × 93 cm. Lokasi Museum Louvre, Paris. (Foto: wikipedia.org)

SATUHARAPAN.COM – Kisah Paskah sangat populer di kalangan orang Kristen sampai-sampai tidak menyadari ada kesalahpahaman. Jika menginginkan perspektif segar menyambut Paskah, tulisan guru besar Southeastern Baptist Theological Seminary, Andreas Köstenberger dan Justin Taylor dari penerbit Crossway, menarik Anda simak.

1. Yesus Meninggal Bukan Ketika Berusia 33 Tahun

Seperti yang dipercaya umum, tampaknya masuk akal jika Yesus “memulai pelayanannya” ketika ia “berumur sekitar tiga puluh tahun” (Luk. 3:23) dan terlibat dalam pelayanan tiga tahun (Kitab Yohanes menyebut tiga Paskah, dan mungkin ada yang keempat), maka ia berusia 33 tahun pada saat disalib. Namun, hampir tidak ada pakar Alkitab yang percaya Yesus benar-benar berumur 33 ketika ia mati. Yesus lahir sebelum Herodes Agung mengeluarkan perintah untuk mengeksekusi “Lalu ...  semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang ditanyakannya dengan teliti kepada orang-orang majus itu.” (Mat. 2:16) dan sebelum Herodes meninggal pada musim semi tahun 4 sM. Jika Yesus dilahirkan pada musim gugur tahun 5 atau 6 sM, dan jika kita ingat bahwa kita tidak menghitung “0“ antara sM dan Masehi, Yesus akan berusia 37 atau 38 tahun ketika ia meninggal pada musim semi tahun 33 (berdasarkan penelitian kami). Bahkan jika Yesus meninggal pada tahun 30 Masehi (satu-satunya tanggal alternatif yang serius), umurnya akan sekitar 34 atau 35, bukan 33 tahun. Tidak ada doktrin utama yang dipengaruhi oleh kesalahpahaman umum ini.

2. Saat Perjamuan Terakhir, Yesus dan Murid-murid-Nya Makan Daging Domba Paskah

Memang benar Yesus adalah “Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29), tetapi bukan berarti tidak ada domba Paskah secara fisik pada Perjamuan Tuhan. Bahkan, hampir pasti ada. Sebab, “Kemudian tibalah hari raya Roti Tidak Beragi, yaitu hari ketika orang harus menyembelih domba Paskah. Lalu Yesus menyuruh Petrus dan Yohanes, kata-Nya, ‘Pergilah, persiapkanlah perjamuan Paskah bagi kita supaya kita makan’”  (Luk. 22:7-8; Mrk. 14:12). Bahkan jika tidak secara khusus disebutkan dalam kisah Injil, makan domba Paskah adalah bagian penting dari setiap Paskah Yahudi (Kel. 12:3). Inilah sebabnya mengapa para murid makan makanan bersama-sama sebagai sebuah kelompok, pada malam hari, di dalam gerbang kota. Daging domba itu dimakan dengan anggur merah. Sesudahnya, Yesus memecahkan roti dan menyanyikan himne (lagu ucapan syukur). Meskipun ada perbedaan pendapat tentang sifat Perjamuan Terakhir, kami pikir itu jelas bahwa Yesus dan para murid merayakan Paskah malam sebelum penyaliban—dan Yesus membuat jelas bahwa ia melihat dirinya dalam tradisi pembebasan orang Israel dari perbudakan di Mesir oleh darah anak domba kurban.

3. Kerumunan di Minggu Palma Belum Tentu Sama dengan Kerumunan “Salibkan Dia!”

Sering orang memahami kerumunan yang berteriak “Hosana” pada saat Yesus masuk ke Yerusalem dan mereka yang berteriak “Salibkan Dia” adalah kelompok yang sama. Kalau benar, ini menjadi contoh betapa hati manusia bisa berubah-ubah cepat.  Namun, sebenarnya tidak sepenuhnya jelas bahwa dua kerumunan ini sama. (Mrk. 15:13,14; Luk. 23:21; Yoh. 19:6,15). Yang pertama tampaknya adalah peziarah dari Galilea yang datang bersama-sama dengan murid-murid Yesus. Yang kedua, tampaknya sebagian besar orang-orang dari Yerusalem.

Selain itu, kedua kelompok itu mengekspresikan ungkapan berdasarkan kesalahpahaman. Ketika Yesus naik keledai ke Yerusalem kegembiraan para peneriak “Hosana!” didasarkan pada konsepsi nasionalisme yang salah tentang Mesias. Dan, ketika Yesus berdiri di depan Pontius Pilatus dan orang-orang Yahudi di Yerusalem, para pemimpin mereka mengungkapkan dakwaan palsu kepada Yesus tentang penghujatan. Kemarahan orang-orang Yerusalem tersebut juga didasarkan pada kesalahpahaman identitas Mesias. Kesamaan di antara mereka bukan karena berubah-ubahnya isi hati mereka, melainkan pemahaman mereka tentang Mesias yang akan datang dalam kerendahhatian dan menjadi hamba.

4. Para Perempuanlah Saksi Pertama Kristus Bangkit

Jumlah dan identitas perempuan dalam kisah Kebangkitan Yesus bisa sulit dipastikan. Salah satu hal yang membingungkan, misalnya, adalah tidak kurang dari empat wanita berbagi nama Maria: (1) Maria Magdalena; (2) Maria ibu Yesus; (3) Maria ibu Yakobus dan Yoses/Yusuf; dan (4) Maria istri Kleopas (yang mungkin saudara Yusuf dari Nazaret). Selain itu, ada Yohana (suaminya, Khuza, adalah manajer rumah tangga Herodes Antipas), dan Salome (mungkin ibu dari para rasul Yakobus dan Yohanes).

Pada abad pertama, perempuan bahkan tidak memenuhi syarat untuk bersaksi di pengadilan Yahudi hukum. Yosephus—sejarawan Yahudi abad pertama— mengatakan bahwa bahkan kesaksian beberapa perempuan tidak dapat diterima “karena kesembronoan dan keberanian seks mereka.” Celsus, kritikus abad kedua kekristenan, mengejek gagasan Maria Magdalena sebagai saksi kebangkitan sebab, menurutnya, Maria seorang perempuan yang tak mampu mengendalikan emosi dan terpengaruh sihir.”

Latar belakang ini penting karena menunjuk pada dua kebenaran penting. Pertama, itu adalah pengingat teologis bahwa kerajaan Mesias ternyata membalik sistem dunia. Dalam budaya ini, Yesus secara radikal menegaskan martabat penuh wanita dan nilai penting dari kesaksian mereka. Kedua, itu adalah bukti kuat keakuratan secara historis kisah kebangkitan. Jika kisah ini adalah “mitos cerdik yang dirancang” (2 Pet. 1:16), wanita tidak akan pernah dihadirkan sebagai saksi mata pertama dari Kristus yang bangkit.

5. Injil Berfokus pada Kebangkitan Yesus, Bukan Penderitaan dan Kematian-Nya

Tradisi Kristen tertentu cenderung berfokus hampir secara sepihak pada penderitaan Yesus di kayu salib, pada rasa sakit yang luar biasa yang harus ia terima, dan pada penghinaan dan pemisahan dari Allah. Hal ini dapat dilihat dalam penggambaran sinematik seperti karya Mel Gibson dalam The Passion of the Christ, pemeragaan dari jalan untuk penyaliban di Via Dolorosa, dan dalam beberapa khotbah. Tentu saja, keempat Injil Alkitab, terutama Matius, Markus, dan Lukas, sepakat bahwa Yesus menderita banyak bagi kita karena ia memberikan hidup-Nya untuk keselamatan kita sehingga kita bisa diampuni dari dosa-dosa kita.

Namun, ada aspek lain cerita Paskah. Hal ini paling dirumuskan dalam pernyataan Yohanes bahwa Yesus, ketika Ia “...  telah tahu bahwa saat-Nya sudah tiba untuk pergi dari dunia ini kepada Bapa. Ia mengasihi orang-orang milik-Nya yang di dunia ini, dan Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya” (Yoh. 13:1). Ketika menuliskan adegan mencuci kaki dan seluruh kisah penyaliban Yohanes mengungkapkan sebagai berikut: “Yesus tahu bahwa Bapa telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.” (13:3-4; lih. 14:28).

Dengan kata lain, Yohanes menunjukkan bahwa salib bukan akhir, melainkan titik dalam perjalanan Yesus pulang ke Bapa! Inilah sebabnya Yohanes menulis catatan kemenangan sebelum mengawali kisah penyaliban: Dan sekarang, ya Bapa, muliakanlah Aku di hadirat-Mu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada (17:5, 24)! Hal ini, oleh penulis Ibrani diungkapkan sebagai, “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti suka cita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” (Ibr. 12:2).  (christianitytoday.com)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home